Dia tersenyum
kearahku bersamaan dengan sinar jingga menerpa wajahnya. Aku menghela napas,
bukan ini yang kuinginkan. Suasana canggung menyelimuti hingga sang surya
benar-benar muncul ke permukaan. Sunrise yang indah, tetapi senyumnya
mengacaukan. Dia mendekat, duduk di sampingku dengan senyum yang masih terukir
di bibirnya. Aku benci dia yang mengajakku ke tempat ini. Aku merapatkan jaket
yang kukenakan, hawa di puncak bukit begitu dingin. Demi mengajakku ke tempat
ini, dia rela menjemputku pukul tiga dini hari.
“Senyum dong, kan kamu sudah melihat
fajar yang begitu indah di tempat ini.”
“Kenapa harus di sini?”
“Aku tahu, kamu membenci tempat ini.
Tapi, tidak salah kan mencoba untuk menghilangkan rasa benci itu?”
“Ini ulang tahunku, Rel. Seharusnya
aku bisa bahagia hari ini. Tapi, kenapa kamu mengacaukannya dengan mengajakku
ke tempat ini?”
Tak membutuhkan jawaban, aku
langsung bangkit dan meninggalkan tempat itu. Aku tak tahu arah, Tetapi aku
harus terus melangkah. Menjauh dari Farel dan bukit ini. Aku tak bisa
berlama-lama di sini. Kenangan buruk itu selalu terngiang di kepalaku. Aku
menoleh ke belakang, Farel tak mencoba mengejarku. Aku tak peduli dengan hal
itu. Yang terpenting, aku harus pergi dari tempat ini.
Napasku tak teratur, aku sudah
berjalan sejauh yang aku bisa. Aku tak tahu aku berada dimana sekarang. Aku
duduk di atas batu, menangis. Menangisi kejadian dua tahun lalu. Dulu, aku
sangat ingin mengunjungi tempat ini. Berkemah, menikmati fajar dan senja di
sini. Tapi, kejadian dua tahun lalu membuatku tak ingin sama sekali mengunjungi
tempat ini.
“Rinda…”
Suara itu membuatku menoleh.
“Aku tahu kamu tak akan bisa pergi
jauh.”
Aku
memalingkan wajah, aku tak ingin melihatnya.
“Kalau kamu terus ngambek seperti
ini, nanti aku tak mau mengantarmu pulang. Aku akan membiarkanmu di tempat
ini.”
“Aku bisa naik ojek.”
Dia mendekatkan
mulutnya ke telingaku. “Ojek di sini menyeramkan loh,” bisiknya.
“Terserah.”
“Rinda.” Dia memanggilku, lembut
Aku hanya bergumam menjawab
panggilannya.
“Aku tidak bermaksud membuatmu sedih
di hari ulangtahunmu.”
Aku hanya diam, menyimak. Dia melanjutkan perkataannya. “Kamu harus
belajar mengikhlaskan, Rinda. Itu semua takdir Tuhan yang sudah direncanakan.”
“Seharusnya kamu mengerti aku,
Farel. Kamu sahabatku. Lalu kenapa kamu membuatku kembali mengingat lagi
bagaimana kakakku pergi meninggalkanku untuk selamanya. Kamu tak mengerti. Kamu
tak mengerti rasanya ditinggal oleh kakak yang sangat menyayangimu.”
Air mata terus mengalir dari mataku.
Aku sudah tak bisa menahan gemuruh amarah di dadaku.
“Aku memang tak mengerti rasanya.
Tapi tak bisakah kamu berhenti membenci apa yang sebenarnya kamu tak benci. Aku
tahu, kamu sangat mencintai pemandangan di bukit ini. Kamu harus tahu, Rinda.
Kecelakaan yang menimpa kakakmu bukan salah bukit ini, bukan kehendak bukit ini
juga. Lalu apa alasanmu membenci bukit ini?”
Aku terdiam, tak bisa menjawab. Aku
juga tak tahu apa alasanku membenci bukit ini. Kakakku pergi saat menuju bukit
ini. Kendaraannya jatuh ke jurang dekat bukit ini dua tahun lalu.
“Itu semua takdir Tuhan, Rinda.
Sudah ketetapan dari-Nya. Kamu harus ikhlas. Kita tak pernah tahu kapan dan
dalam keadaan apa ajal akan menjemput kita. Jangan pernah membenci tempat ini.
Itu sama saja dengan kamu membenci takdir Tuhan.”
Apa yang dikatakan Farel benar, aku
tak seharusnya bersikap seperti itu. Itu semua adalah takdir Yang Maha Kuasa.
Dia adalah pemilik segalanya, bahkan nyawa pun berhak untuk diambil kembali
oleh-Nya.
···
Langit sudah mulai menjingga saat
aku dan Farel tiba di kaki bukit. Pemandangan yang sangat indah. Akhirnya, aku
menyadari bahwa rasa benciku tak sebanding dengan keindahan yang diberikan
bukit ini. Aku juga mulai sadar bahwa kesedihanku tak sebanding dengan takdir
indah yang diberikan Tuhan selama aku hidup. Sekarang, aku mengerti kenapa sahabatku
mengajakku kesini. Agar aku sadar bahwa selama ini aku melakukan hal yang salah
dengan membenci tempat yang indah ini. Sekarang mataku telah terbuka, menyadari
betapa bodohnya aku membenci apa yang harusnya aku cintai. Ternyata benar,
benci dan cinta jaraknya hanya setips benang. Pemandangan yang disuguhkan bukit
ini benar-benar membuatku jatuh cinta. Akhirnya, aku bisa menikmati senja di
tempat ini. Tempat yang dulunya aku benci.
Ini adalah kado yang sangat spesial dari sahabatku.