Langsung ke konten utama

YANG TAK TERPANTUL DALAM CERMIN

 

         Ketika senja datang menggeser sinar mentari perlahan ke ufuk barat, meninggalkan sinar kemerah-merahan, seolah langit sedang merona dibuatnya. Aku termenung. Memandang kosong kapas-kapas halus yang terbendung di langit. Suasana mulai meredup. Menyambut sang kegelapan menguasai semesta dan mulai menyelimuti bumi dengan begitu tenang dan dingin. Hari ini aku teringat lagi akan semua memori lama yang kucoba pendam jauh di dasar ingatan. Semua itu berkelebatan dengan cepat di dalam pikiranku seolah menyaksikan cerita yang tak ada habisnya. Pikiran ini benar-benar membunuhku. Mengingat yang seharusnya tak pernah kuingat lagi untuk selamanya, membuatku mati berkali-kali. Tatapan kosongku masih terarah ke langit senja yang berganti malam. Masih setia dengan pikiran akan luka yang bersarang di relung hati. Ada banyak luka terpendam yang tak bisa untuk disembuhkan, terus menempel di angan hingga kini. Kenangan akan masa kecil yang seharusnya tak pernah kualami.

Sejak kecil aku harus menghadapi betapa kejamnya kehidupan. Hidup ditengah keluarga yang tak pernah memberikan kasih sayang membuatku tak henti-hentinya menangis di tiap malam. Ayahku selalu menyiksaku saat aku tak sesuai kehendaknya. Bukan cuma aku, ibuku juga. Dia selalu menatap tajam, memukul atau menyiksa dengan cara yang tak biasa. Ia bahkan tak peduli pada darah segar yang telah membanjiri tubuh. Diam, meratap, memohon ampun dan menangis adalah hal yang bisa kulakukan. Tentu saja aku tak bisa melawan seorang pria dewasa dengan tubuh kecilku yang lemah. Bagian yang paling tak bisa kumaafkan adalah kematian ibuku yang disebabkan olehnya. Sejak saat itu aku harus menghadapinya sendiri. Tak ada lagi yang membelaku ataupun memelukku disaat ketakutan melanda. Terkadang aku berpikir bahwa Tuhan itu tak pernah ada. Kenapa ia tak pernah menolongku saat aku disiksa seperti ini. Seandainya Tuhan tak mempertemukan ayah dan ibu, maka aku takkan pernah ada. Begitu pula dengan ibu, ia tak perlu merasakan penderitaan yang teramat dalam. Sayang, takdir telah tertulis dan realita telah berbicara. Aku tak mampu melawan kuasa Sang Pencipta.

 Penyiksaan itu terus berlangsung hingga aku berumur 12 tahun. Saat itulah ayah meninggal secara misterius. Dia tewas dibunuh oleh perampok yang masuk rumah katanya. Menurut laporan, saat itu rumah benar-benar berantakan seperti sudah diobrak-abrik oleh perampok. Namun anehnya, tak ada satupun barang yang hilang. Hingga kini tak diketahui siapa pelakunya. Aku pun tak ingat apa-apa. Saat itu yang bisa kulakukan hanyalah menangis, meringkuk gemetaran melihat sesuatu yang seharusnya tak pernah kulihat seumur hidupku. Kini aku benar-benar sendiri. 

Langit gelap telah menguasai sepenuhnya. Angin malam ini sedikit lebih kencang dibanding biasanya. Mungkin dunia ikut merasakan badai yang memporak-porandakan pikiranku sejak tadi. Namun apalah daya, semua itu hanya dapat kupendam hingga kini. Aku tak dapat menceritakan masa lalu yang menyakitkan itu pada siapapun. Yang bisa kulakukan hanyalah diam tak berdaya atas apa yang telah terjadi. Biarkan semuanya menjadi memori kelam yang terus menerus menghantui di setiap tidurku. Meskipun aku sungguh ingin melupakannya.

***

Sejak kematian ayah, aku telah resmi menjadi anak yatim piatu. Kemudian aku tinggal di sebuah panti asuhan yang berada di pinggiran kota. Meski tinggal di panti asuhan, aku harus tetap berusaha agar aku menjadi anak yang mandiri. Mengamen dari bis satu ke bis yang lain sudah menjadi rutinitas keseharianku. Kehidupan terasa begitu sulit hingga kemudian aku bertemu seorang malaikat yang bersedia membantu seluruh anak di panti asuhan dengan memberikan janji masa depan yang lebih baik. Ia datang mengunjungi kami hampir tiap hari, menyalurkan bantuan-bantuan, mengajar kami hingga menyekolahkan kami semua. Segara namanya. Kami biasa memanggilnya kak Gara. Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan perasaan yang berbeda setiap kali melihat malaikat kehidupanku. Ya, dia adalah malaikat kehidupanku. Aku tak pernah merasakan kasih sayang yang teramat tulus selain darinya. Namun, aku terus berusaha memendam perasaanku karena aku sadar bahwa ia hanya menganggapku sebagai anak kecil malang yang harus ia bantu. Ia tidak mungkin menyukaiku, usia kami berbeda terlalu jauh, 10 tahun lebih tua dariku. Kurasa, ia hanya menganggapku sebagai seorang adik tak lebih.

Usiaku kini sudah menginjak 18 tahun. Semakin bertambah usiaku, semakin bertumbuh besar pula harapanku. Aku tahu ini seharusnya tak pernah terjadi. Aku pun tahu bahwa aku adalah gadis yang akalnya cukup dangkal untuk berjuang seorang diri mencintaimu. Aku menghela nafas panjang. 30 menit telah kulewatkan hanya dengan berdiam diri disini. Berdiri menghadap kaca di lantai 2 perpustakaan kota. Di luar sana hujan semakin menggila saja. Bulir-bulirnya menghujam bumi tanpa ampun, membasahi setiap sudut kota kecil ini. Sebenarnya aku sedang menunggunya. Kami telah berjanji untuk bertemu di salah satu restoran yang letaknya dekat dari sini. Masih satu jam lagi sebelum waktu perjanjian itu, tapi aku terlalu bersemangat untuk bisa bertemu dengannya setelah sekian lama. Dia selalu sibuk dengan pekerjaannya di luar negeri. Jadi aku jarang sekali bisa melihatnya, tak sama seperti dulu. Aku senang mendapat kesempatan untuk bertemu dengannya. Dia datang untuk merayakan keberhasilanku karena telah mendapatkan beasiswa LPDP. Beasiswa yang memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di luar negeri. Ya, Arunika seorang gadis kecil yang lemah kini telah berubah menjadi gadis dewasa dan cerdas. Ibu pasti bangga padaku, pikirku.  Itu semua berkat bantuannya. Dia yang menyarankanku untuk mengikuti program beasiswa tersebut. Aku hanya menurut saja. Aneh, entah kenapa setiap kata-katanya seolah-olah menghipnotis setiap pemikiranku dan membuatku selalu optimis dan percaya diri. Oh, Tuhan, apa yang terjadi padaku?

Tak seperti dugaan, dia datang 30 menit lebih awal. Dia terlihat menawan seperti biasanya. Namun, hei, siapa gadis yang berdiri di belakangnya itu. Gadis cantik  dengan tubuh proporsional dan rambut hitam legam nan panjang. Benar-benar cantik, apakah dia seorang artis? Dia tersenyum manis kearahku sambil menggamit erat lengan kak Gara. Mereka terlihat begitu mesra. Apa mereka.. tidak! Aku tidak ingin memikirkannya. Aku meremas bajuku. Air mataku mengalir perlahan membasahi pipi. Aku berlari sekuat tenaga menjauh dari tempat itu. Samar-samar kudengar suaranya memanggil namaku, namun tak ku hiraukan. Sakit sekali rasanya. Cintaku yang telah kupendam selama bertahun-tahun tak terbalas. Langit malam kini telah gelap sempurna. Aku tak bisa melihat apa-apa lagi. Kehilangan semua kesadaran yang kumiliki. Gelap.

***

Gara berlari kesana kemari untuk mencari Arunika. Ia bahkan meninggalkan Dhena dan menyuruhnya untuk pulang demi mencari Arunika. Lelah, ia sudah tak kuat lagi. Gadis itu telah pergi entah kemana. Gara sungguh tak mengerti dengan apa yang terjadi. Kenapa ia menangis? Kenapa ia berlari menjauh? Apa salahnya hingga gadis itu pergi meninggalkannya? 

Ia berjalan kembali ke perpustakaan kota. Ke tempat tadi ia berjanji untuk bertemu, berharap Arunika mau kembali dan menjelaskan alasannya. Tentu saja, apa yang diharapkannya terkabul. Arunika kembali kesini. Namun, ia terkejut bukan main melihat apa yang terjadi pada gadis itu. Gadis yang dia kenal dengan penampilan yang sangat berbeda. Rambutnya yang biasa dikuncir kini dibiarkan tergerai di kedua sisi, poni depannya menutupi kening serta pakaiannya yang tak lagi feminim. Ia benar-benar terlihat seperti orang asing dimata Gara, namun dengan wajah yang sama persis seperti Arunika.

“Kamu..” Gara tak melanjutkan kalimatnya. Ia masih sangat terkejut dengan apa yang dilhatnya.

“Perkenalkan, namaku Anne. Kamu baru melihatku, kan?” ucap gadis itu disertai dengan senyuman yang lebih terlihat seperti seringaian.

“Apa yang terjadi padamu, Arunika?” tanyanya masih tak percaya.

“Tidak ada Arunika disini! Gadis bodoh itu sedang tertidur pulas. Yang ada hanyalah Anne!” 

Gadis itu tersenyum dingin. Begitu pula dengan tatapan matanya yang tajam dan dingin.

“Siapapun yang menyakiti Arunika akan berakhir seperti pria tua bedebah tak tahu diri itu!” matanya menatap nyalang. Penuh dengan nafsu untuk membunuh.

Keringat dingin mengucur deras membanjiri tubuh Gara. Ia tak tahu harus berbuat apa. Lidahnya kelu, tak mampu mengeluarkan sepatah katapun.

“Bersiaplah, kau akan menyusul ayahku ke neraka!” gadis itu lagi-lagi tersenyum. Senyuman yang mengerikan.

***

Di dalam ruangan putih yang berukuran tidak terlalu besar ini, aku terbangun. Kepalaku pusing sekali. Rasanya aku sudah tidur begitu lama. Aku juga terus-terusan dihantui oleh mimpi buruk. Tentang ayahku. Tentang kak Gara. Aku melihat mereka mati mengenaskan. Itu sungguh mimpi yang mengerikan. Aku tak sanggup harus melihatnya. Tunggu dulu, dimana aku sekarang. Ruangan ini terlihat asing bagiku. Ruangan ini terlihat seperti rumah sakit yang didominasi oleh warna putih.  Aku turun dari ranjang tempatku terbangun. Menapakkan kakiku di lantai keramik yang terasa begitu dingin.  Aku menatap sekitar, berusaha mengenali tempat ini, tapi nihil, aku bahkan tak tahu dimana aku berada sekarang. Tatapanku tertuju pada meja yang terletak di samping ranjang tadi. Disana ada beberapa tumpukan koran yang tertera. Aku meraihnya, kemudian membacanya. Di bagian paling atas tertera judul dengan huruf yang besar serta dicetak tebal, ‘seorang laki-laki terbunuh oleh gadis pengidap gangguan jiwa.’ Ada pula judul yang lain, ‘pengidap D.I.D mengamuk, seorang pria tewas terbunuh.’  Oh tidak! Bukankah ini kak Gara?  Dia tewas dibunuh oleh gadis bipolar? Tidak mungkin! Badanku gemetar tak percaya. Ini persis seperti di mimpiku. Aku melangkahkan kakiku lagi ke ranjang tempatku tidur tadi. Disana tertulis nama ‘Anne’ kemudian tulisan ‘Dissociative identity disorder (DID).’ Apa lagi ini? aku tambah tak mengerti. Namaku Arunika, bukan Anne. Kalian salah menulis nama! Kalian pasti salah orang! Aku menghembuskan nafasku kesal. Kemudian kulangkahkan kakiku kearah lain lagi. Di sudut ruangan ini terdapat sebuah cermin besar. Aku berdiri tepat di depan cermin itu. Disana aku bisa melihat gadis dengan rambut hitam yang tergerai lurus. Itu aku. Cermin itu memantulkan wajahku. 

Tentu saja ini aku, Arunika, bukan Anne. 

Lalu kenapa nama yang tertera disana adalah Anne? 

Apa cermin ini telah membohongiku?

Siapa Anne itu?

Siapa aku sebenarnya?

 


Postingan populer dari blog ini

Teks Ceramah

 A. Definisi dan Ciri-Ciri Ceramah     1. Definisi Ceramah          Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ceramah adalah pidato oleh seseorang di hadapan banyak pendengar mengenai suatu hal atau pengetahuan. Ceramah juga berarti penuturan bahan pembelajaran secara lisan. Ceramah merupakan pidato yang bertujuan untuk memberikan nasihat dan petunjuk mengenai suatu permasalahan kepada audiensi yang bertindak sebagai pendengar. Secara umum, ceramah mempunyai pengertian tentang suatu kegiatan berbicara di depan umum dalam situasi tertentu untuk tujuan tertentu dan kepada pendengar tertentu.         Pada dasarnya, pidato, ceramah, dan khotbah memiliki persamaan, yakni pengungkapan pikiran di hadapan banyak orang. Namun, dalam pelaksanaannya, antara pidato, ceramah, dan khotbah memiliki perbedaan. Pidato sering kita ikuti dalam acara-acara resmi, misalnya seminar, rafat pleno,. Ceramah diadakan untuk acara-acara tert...

Teks Laporah Hasil Observasi

            Sebuah laporan hasil observasi dapat disajikan dalam bentuk teks tertulis maupun teks lisan. Kamu sering melakukan observasi atau pengamatan, tetapi belum memahami cara menyusun teks laporannya dengan baik. Untuk itu, kamu perlu memerhatikan penyusunan laporan hasil observasi yang kamu dengar atau kamu baca dari media televisi, koran, majalah, atau internet. A. Pengertian, Ciri-Ciri, Sifat, dan Contoh Teks Laporan Hasil Observasi 1. Pengertian Teks Laporan Hasil Observasi          Teks laporan hasil observasi adalah teks yang berisi penjabaran umum mengenai sesuatu yang didasarkan pada hasil kegiatan observasi/pengamatan. Kegiatan observasi merupakan kegiatan pengumpulan data atau informasi melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat di lapangan atau lokasi. 2. Ciri-Ciri Teks Laporan Hasil Observasi     Teks laporan hasil observasi memiliki ciri-ciri yang membedakann...

ANEKDOT

A. Definisi. Ciri, dan Jenis Anekdot   1. Definisi Teks Anekdot     Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau orang terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Orang-orang penting yang diceritakan dalam anekdot bermacam-macam, seperti tokoh politik, sosial, dan agama.  Sementara itu, peristiwa yang diceritakan dalam anekdot merupakan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun seiring perkembangan zaman anekdot juga digunakan untuk menceritakan tokoh dan peristiwa fiktif.     Anekdot mengandung humor. Humor dalam anekdot dibentuk dengan kelucuan atau kekonyolan tokoh. Tindakan ataupun ucapan tokoh menimbulkan humor karena adanya peristiwa ganjil yang mendasarinya. Humor juga dapat diciptakan melalui permainan kata, makna, ataupun pelesetan terhadap suatu kata ataupun frasa.     Humor dalam anekdot bukan hanya bersifat menghibur. Bia...