Hari ini Wisnu pulang. Ia kembali ke desanya. Ia sudah tak tahu
lagi kemana Ia akan pergi. Ia hanya mengikuti kata hatinya untuk belajar agama
kepada Om Amin di desa. Wisnu duduk di mobil dengan pikiran yang kabur, Ia
teringat bahwa dulu Ia pernah bersikap tak baik pada Mama. Otaknya mengulang
kembali momen itu, saat usianya baru genap 16 tahun. Tangannya yang keras
menghantam meja.
Pakk..
“Ma, aku pengen beli IPhone terbaru!” bentak Wisnu
“Harganya mahal Wisnu. Mama lagi gak punya uang! Nanti aja ya,
kalau hasil jualan Mama banyak untungnya. Wisnu banyakin doa. Mama ke pasar
dulu” kata Mama lembut.
Wisnu sebenarnya sadar, Ia sudah terlalu banyak meminta dan Mama
selalu memenuhinya. Tapi rasa keinginannya begitu besar dan kokoh. Tak ada
satupun anggota keluarga yang berani menentangnya.
Sepulang dari pasar, Mama langsung menemui Wisnu di kamar.
“Wisnu!” panggil Mama sembari mengetuk pintu
“Apa Ma?” suara Wisnu menggelegar. Ia berjalan dengan malas kearah
pintu. Setelah pintu terbuka, betapa terkejutnya Wisnu melihat kotak berisi
IPhone yang ia inginkan.
“Alhamdulillah tadi ada rezeki lebih!” kata Mama menyodorkan kotak
itu. Wisnu mengambilnya dengan antusias.
“Yeeaaayy!IPhone baruuuu. Hahahayy!” ungkapnya sambil menutup
pintu. Mama mematung. Tak ada rasa terima kasih yang keluar dari bibir Wisnu. Padahal
hari ini Mama tak begitu beruntung. Ia terpaksa menjual kalung emas pemberian
Papa untuk membeli IPhone.
Entahlah apa yang membuat
Mama selalu sabar menghadapi anaknya yang satu itu. Segala keinginan
Wisnu ia sanggupi, kecuali saat itu.
“Ma, aku capek tiap hari jalan kaki mulu! Aku pengen motor!”kata
Wisnu
“Iya Wisnu, tapi nanti kalau uangnya sudah cukup ya! Kamu tahu
sendiri kita bukan orang kaya. Buat makan sehari-hari aja setengah mati. Mama
harap kamu sabar. Untuk sementara ini kamu naik ojek aja kalau capek.” Ucap
Mama.
“Aku gak mau Ma! Aku maunya sekarang! Temen-temen aku udah punya
motor semua. Masa aku enggak sih?” suara Wisnu mulai meninggi.
“Iya kalau kalau kamu capek kan kamu bisa nebeng sama temen kamu!
Ya?” kata Mama
“Gak! Pokoknya aku mau motor! Kalau gak, aku pergi dari rumah ini!”
Wisnu bersikeras kemudian pergi.
Mama selalu berharap Wisnu sadar suatu saat. Ia ingin Wisnu menjadi
anak yang sholeh. Ia ingin Wisnu menjadi seorang hafidz Qur’an. Mama tak ingin
terburu-buru mengambil keputusan untuk menuruti keinginan Wisnu kali ini.
Siang itu Wisnu kembali dengan pipi lebam dan wajah yang masam. Ia
langsung menemui Mama.
“Mana motorku ma?”tanyanya
“Kamu baru pulang setelah hilang dua hari dan sekarang masih
mikirin motor? Lihat mukamu nak! Apa yang udah kamu lakuin?”tanya Mama
“Itu gak penting, Ma! Mana motorku?” tanyanya lagi
“Sana! Cuci muka dan Wudu! Habis itu buka Al-Quran!” kata Mama.
Suara terdengar tegas
“Ogah lah! Ngapain aku baca yang begituan? Emang isinnya apa sih!
Males banget!” kata Wisnu
“Yaudah sih buka aja!” Mama setengah memaksa
“Males! Udahlah ngapain aku di rumah. Mendingan seneng-seneng
bareng temen!”kata Wisnu kemudian pergi.
Mama tak menyusulnya. Wisnu kembali menghilang bersama Rizal, adiknya.
Tapi kali ini tak hanya sehari dua hari. Teman Wisnu yang bernama Kaka
mengabari Mama bahwa Wisnu pergi ke kota. Ia bilang Wisnu baik-baik saja. Wisnu
juga sering mengirimkan uang dengan jumlah cukup besar. Mama menggunakan uang
itu untuk membangun rumah.
Sementara itu keadaan sebenarnya.
“Ayo, Kak. Kita pergi dari sini! Aku pengen berhenti!” Rizal
memohon
“Loe gimana sih? Mama aja
gak pernah komplen. Justru Mama seneng setiap bulan kita kirimin uang yang
banyak.”
“Tapi kan Mama gak tau kalau itu uang hasil jual beli narkoba!”
“Ya gue mah bodo amat ya. Tapi gue sering kok ngirim kabar ke Mama.
Gue udah berubah. Gue nyaman disini!”
“Tapi kakak bohong ke Mama. Kakak gak berubah!” bentak Rizal
“Udah deh, loe kalau mau pergi ya pergi aja sana! Hus! Sana!” usir
Wisnu. Ia mengeluarkan botol kecil berisi cairan dari saku dan meminumnya.
Perdebatan mereka membuat Wisnu terpisah cukup jauh dari adiknya.
Tapi ia tahu dimana Rizal berada. Kabar burung mengatakan kalau sekarang
adiknya telah hijrah. Rizal tak sama seperti yang dulu dan karena itulah ia
enggan menemui adiknya.
Sebulan berlalu. Wisnu kembali ke rumahnya di desa. Tapi, yang ia
temui kemudian hanyalah kepulan debu dan bongkahan kayu hangus.
“Wisnu!” panggil seseorang. Wisnu menoleh. “Akhirnya kamu pulang
juga, Nak!”
“Ini beneran rumah gue kan? Nyokap gue mana?”tanya Wisnu panik
“Aku harap kamu tabah, Wisnu. Tepat sepekan yang lalu rumah ini
terbakar. Itu terjadi di malam hari. Kami tak dapat berbuat apapun. Ibu dan
kedua saudaramu tidak dapat diselamatkan!”
Bak belati menghujam, tubuh Wisnu seketika melemas. Ia menangis.
Ini pasti karena segala barang haram itu. Pikirnya. Andai ia mengikuti
perkataan adiknya. Andai ia pulang lebih cepat. Andai.. .Ia hanya bisa
mengandai. Yang dikatakan adiknya itu benar. Sekarang ia harus kembali ke kota
ia harus menemui Rizal. Hanya dia keluarganya yang tersisa.
Wisnu tiba menjelang malam, ia langsung pergi ke tempat dimana
adiknya berada. Sekujur tubuh Wisnu dipenuhi keringat dingin begitu melihat
bendera kuning tertancap.
“Tadi siang, beberapa orang berbadan kekar datang kemari. Hanya
sebentar. Aku tak dapat menanyakan apapun karena yang kudapati berikutnya Rizal
sudah tak bernyawa!” pemilik kos tempat Rizal tinggal berbaik hati menjelaskan.
“Aaaaaaaggghhh! Kenapa semua jadi gini!? Sekarang gue udah gak
punya siapa-siapa lagi! Maafin gue, Zal! Maafin aku Ma, Pa!” tangis Wisnu
menyesakkan dada semua orang disekelilingnya.
“Sabar nak Wisnu. Ini ujian. Inget Allah, nak!” pemilik kos
menasehati. Jantung Wisnu berdetak lebih kencang. Ia ingat kata itu. Allah.
Wisnu mengejanya dalam hati. Ya, dulu Papa pernah mengajarkan Wisnu tentang-Nya
sebelum Papa benar-benar pergi.
Tiiiitt… tiiiit…
Suara klakson membuyarkan lamunan Wisnu. Ia melihat sekeliling.
Tujuannya sudah tampak dekat.
Wisnu tiba di rumah Om Amin pukul 6 tepat. Paman langsung
mengajaknya bicara empat mata.
“Ini Al-Qur’an peninggalan Mamamu. Dia pengen banget kamu jadi
penghafal Al-Qur’an. Dulu dia cerita kalau kamu sama sekali gak pernah mau
disuruh buka Al-Qur’an! Bener?” tanya Om Amin
“I..iya Om! Tapi aku janji gak bakal gitu lagi, Om! Aku pengen
berubah Om! Aku sadar aku salah! Aku pengen jadi hafidz Qur’an, Om!” Wisnu
memelas
“Yaudah kalau gitu sana wudhu! Habis itu baru kamu boleh pegang
AlQur’an ini!” perintah Om Amin.
Wisnu menuruti perkataan Om Amin. Ia kembali beberapa menit
kemudian. Ia duduk kemudian mulai membuka Al-Quran itu. Wisnu sangat terkejut
ketika menemukan sebuah kunci motor terselip didalam Al-Qur’an itu. Inikah
alasan Mama menyuruhnya membuka Al-Qur’an. Ia termenung. Setetes air jatuh di
pipinya. Ia menyesal.
“Maafkan aku, Ma!” bisiknya dalam hati
Andai ia dulu mau sebentar saja membuka Al-Qur’an itu.,
keinginannya pasti terpenuhi. Andai ia dulu mau sebentar saja membuka
Al-Qur’an, tak mungkin ia terjerumus dalam pergaulan yang salah. Andai ia dulu
mau sebentar saja membuka Al-Qur’an, mungkin keluarganya masih hidup saat ini.
Andai ia dulu mau sebentar saja membuka Al-Qur’an, mungkin semua akan lebih
indah.