Saat ku bangkit dari Kasur ku yang empuk,
lalu ku ambil posisi duduk mengarah keluar jendela menyaksikan kejadian saat
embun bertetesan. Mentari pun mulai meninggi, lalu diam - diam membasahi seluruh
tubuhku dengan cahaya kuningnya yang bersinar lembut. Kemudian kugerakan
seluruh ototku. Kuajak tubuhku berolahraga.
Putar kanan… putar kiri… hadap kanan…
hadap kiri…melakukan pemanasan yang biasa kulakukan. Aliran darah segar
kemudian membanjiri pembuluh darahku. Aku terbuai keseruan. Di tengah keseruan
itu, seolah-olah kudengar orang bercakap-cakap. Kuajak kakiku untuk melangkah
mencari asal suara. Di ruang tamu kudapati dua orang tengah terlibat
perbincangan yang sangat serius. Kemudian aku intip dibalik pintu belakang. Ayah
tiriku serta temannya. Aku tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.
Bahasa sunda adalah penghalangnya, karena aku kurang mengerti bahasa itu.
Diam - diam kuberanikan untuk duduk
disamping bapak tiriku. Setelah ku duduk di sebelah Ayah tiriku. Aku pun kini
terpaut dalam pembicaraan yang sudah mereka mulai sejak tadi. Dengan pembahasan
mengenai pekerjaan mereka masing – masing, aku bertanya, menjawab serta
menanggapi apa saja yang terjadi pada saat diskusi pagi itu. Ternyata masalah
pekerjaan yang menjadi perdebatan sejak tadi. Ayah tiriku seorang pedagang dan
beliau menekuni pekerjaan tersebut, kemudian temannya seorang guru yang tengah
menjalani profesi yang dimilikinya.
“Saya heran kenapa kamu tidak capek bolak
- balik dari rumah ke pasar tiap hari?” Pertanyaan konyol yang temannya
lontarkan. Bagaimana tidak, jika aku bisa bertanya padanya mengapa juga dia tak
pernah lelah bolak - balik dari rumahnya ke sekolah?.
“Kata siapa saya tidak capek!” Ayah
menanggapinya singkat.
“Hmm… tidak, maksud saya apakah kamu tidak
bosan?” pertanyaan lanjutan untuk Ayah
Suasana ruangan membisu. Kulirik Ayah tiriku.
Ayahku diam. Bukan diam biasa. Ada kebijaksanaan serta wibawa tercipta
diwajahnya dan aku baru tahu itu. Perkenalanku dengan Ayah tiriku belumlah
lama, baru seminggu lebih lima hari. Sejauh ini aku lihat Ayahku orangnya
humoris, lucu, suka bercanda serta jarang sekali untuk serius. Tapi pagi ini ia
beda sekali.
Ayahku menghela napas, mengisi ruang
kosong didadanya. Perlahan mengalir nasihatnya lewat lisannya. Diwejangkan
jawaban buat pertanyaan temannya.
“Kamu tahu matahari bukan?” Retoris Ayah
bertanya.
Temannya mengangguk. Begitu juga aku.
“Matahari bersinar disiang hari. Muncul
ditimur lalu tenggelam dibarat. Dia bertugas menerangi bumi, memberi kehidupan
untuk makhluk yang ada di dunia ini.”
Kembali ayah diam. Kemudian kulihat teman
ayah diam menyimak perkataan ayah. Lalu aku ikut menunggu apa yang akan
disampaikan ayah selanjutnya.
“Kalau matahari berhenti sejenak saja dari
tugasnya, apa yang akan terjadi?”
“Kacau…” Jawab teman ayah. aku mengiyakan. Ayah, aku
dan temannya tertawa. Suasana kembali tak tegang.
“Bagaimana jadinya kalau matahari ikut
bosan serta meninggalkan tugasnya?”
Pertanyaan retosis ayah muncul kembali.
“Begitulah, bagaimana juga saya akan
bosan bolak - balik ke pasar. Nah.. saat saya bosan lalu berhenti bekerja,
pastinya anak istri saya tidak akan makan. Bukannya begitu Mon?”
Temannya tersenyum dan menganggukan
kepalanya. Lalu Ayahku memberi semangat ke temannya “Ayo… semangat bekerja Mon,
mendidik serta mengajar siswa-siswamu..”
Aku
terharu mendengar untaian petuah bapak barusan. Aku sungguh tidak menyangka
sedikitpun kalau dari lisan lelaki yang tidak sempat menyelesaikan sekolah menengahnya
ini mampu memberikan motivasi serta pencerahan pada temannya, meskipun
profesinya hanyalah sebagai seorang pedagang.