Langsung ke konten utama

Pejuang Lomba Terakhir


Mentari bersinar terang di angkasa. Seorang gadis setinggi kira-kira satu setengah meter terlihat gembira berjalan ke sekolah menyambut hari barunya. Di jilbabnya tertambat sebuah name tag bertuliskan Zinnia Patma yang berkilau tertimpa cahaya matahari. Gadis kelas 12 itu menggandeng sebuah tote bag yang terisi penuh oleh buku-buku di tangan kanannya, dengan punggung yang sudah membawa tas ransel sebelumnya. Seseorang tiba-tiba menghampirinya dari sebelah kanan dan menawarkan diri untuk membantu membawa tote bag itu.

“Zin, sinikan tote bag-mu, biar aku bawakan. Kamu sudah seperti unta saja membawa bawaan yang berat sekali.”

“Tidak perlu, Vi. Aku sudah biasa membawa ransel seberat ini. Kamu tahu, kan? Lagipula, kamu juga membawa ransel.”

“Hei, kamu tak lihat seberapa ringan ransel ini? Kelihatannya akan sama dengan kenyataannya. Percayalah padaku,” ungkap gadis itu sambil menyambar tas selempang dari tangan kanan Zin.

"Di mana kamu taruh buku-bukumu?"

"Aku sudah membawanya ke sekolah saat pelajaran terakhir." Ia menyengir.

“Baiklah. Terima kasih, Viola.” Ucap Zin sambil tersenyum dan sedikit menghela napas melihat kelakuan temannya.

Zinnia dan Viola adalah dua sahabat baik. Mereka saling mengenal sejak duduk di bangku kelas 7 sekolah menengah. Mungkin dulu tak ada yang menyangka mereka akan bersahabat sedekat sekarang. Dulu, mereka adalah rival dalam meraih juara umum di sekolahnya. Sekarang pun masih sama. Namun, sampai sekarang di sekolah menengah atas yang sama, Viola belum bisa menyalip posisi Zinnia sebagai peraih juara umum satu di sekolahnya. Hal ini tak membuat Viola membenci Zinnia. Malah, mereka yang duduk di ruang kelas yang berbeda menjadi semakin dekat setelah saling mengenal rival mereka.

Di sekolah mereka yang sekarang--sebuah sekolah bertaraf nasional yang menyeimbangkan ilmu agama dan dunia—MAN Insan Kamil, mereka berjuang sungguh-sungguh untuk merealisasikan cita-cita mereka. Salah satu caranya adalah dengan mengikuti lomba di bidang akademis sesuai bidang mereka masing-masing. Viola tergabung dalam kelas tambahan Fisika, sedangkan Zinnia mengikuti kelas tambahan Biologi. Mereka adalah siswi berprestasi di sekolahnya. Namun, tanpa informasi tentang suatu lomba, mereka tak akan mampu mengikuti lomba tersebut. Sebab itulah, mereka rajin melihat mading (majalah dinding) utama di sekolah mereka setiap pagi. Kali ini pun mereka melakukannya. Setiba mereka di bangunan sekolah, mereka bergegas menuju mading utama untuk memeriksa informasi lomba yang dapat mereka ikuti. Mading utama sekolah cukup besar dan panjang. Mungkin membutuhkan beberapa menit untuk mencerna informasi yang tercantum di sana. Setelah beberapa lama menelusuri mading utama itu, tiba-tiba Zinnia berteriak pada Viola.

“Vio! Ada lomba baru!” teriak Zinnia yang kegirangan sambil mengerjapkan bola matanya yang berbinar pada Viola.

“Wah, wah! Lomba apa? Pasti bidangmu, ya?” Viola heran melihat temannya yang pertama kalinya terlihat sangat bersemangat saat melihat informasi di mading. Namun, dia masih berkutat dengan informasi pada mading di depannya.

“Bukan. Lihatlah! Aku jamin reaksimu akan sama sepertiku saat melihatnya.”

Viola yang penasaran bergegas menghampiri Zinnia. Setelah membaca judul sebuah informasi bertuliskan MEDSPIN, International Medical Science and Application Competition for High School Students, ia langsung berteriak,

“Ayo kita ikuti lomba itu, Zin!” Matanya tak kalah berbinarnya daripada mata Zinnia tadi. Di sisi lain, mata Zinnia menelusuri guideline lomba tersebut. Lomba itu adalah seleksi yang diadakan oleh Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya untuk memilih tim siswa SMA sederajat sebagai perwakilan Indonesia di tingkat internasional—se-Asia Tenggara. Satu tim terdiri dari tiga orang, masing-masing di bidang Biologi, Fisika, dan Kimia.

“Tunggu,” sanggah Zinnia. Viola yang kebingungan menaikkan alis kanannya. “Lomba ini membutuhkan tiga orang dalam satu tim. Kita butuh satu orang lagi.”

“Itu hal yang kecil. Serahkan padaku. Kamu kira aku hanya diam di kelas sepertimu saat jam istirahat? Mungkin hanya butuh sedikit bujukan untuk mengajaknya.” Viola mulai berlagak.

“Siapa? Dia “orang” Kimia?” Zinnia yang penasaran mencoba menerka.

“Ya. Nanti kamu akan tahu siapa dia.”

“Siapa, Vi?” Zinnia tak bisa membendung rasa penasarannya.

Teet teet...

Tiba-tiba bel berbunyi. Mereka harus ke lapangan untuk mengikuti doa pagi sesuai kelas mereka. Terpaksa mereka harus berpisah.

“Zin, nanti saja, ya.” Viola yang tadinya ingin menjelaskan kepada Zinnia terpaksa menunda penjelasannya. Mereka bergegas ke barisan kelas mereka masing-masing.

Setelah doa pagi, Viola tidak sempat berbicara lagi dengan Zinnia. Mereka memasuki kelas dan mengikuti pelajaran sampai waktu istirahat. Mereka baru bisa bertemu di kantin. Viola bersama seorang gadis yang tak asing di mata Zinnia, tetapi dia tak tahu namanya. Sepertinya dia adalah “orang” yang dimaksud oleh Viola tadi.

“Sst... Vi, dia siapa?” Zinnia yang penasaran bertanya kepada Viola dengan berbisik. Ia bukan penasaran namanya. Namanya sudah tertera di papan nama di jilbabnya, Felis Aulina Bestari. Ia penasaran dengan kelas yang ditempati gadis itu.

“Tak perlu berbisik begitu. Lagipula, bisikanmu bisa didengar olehnya, tahu.” Viola memutar bola mata melihat tingkah temannya yang bisa dibilang agak sok pemalu itu.

Zinnia menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil berkata, “Hehe, maaf. Jadi, bisakah kamu memperkenalkanku padanya?”

“Dengan senang hati,” ucap Viola dengan senyum merekah di wajahnya. “Zin, perkenalkan, orang yang di sebelahku bernama Felis. Dia kelas XII MIA 3. Dia adalah orang yang aku maksud tadi pagi,” Viola mengambil sedikit jeda sebelum memperkenalkan Zinnia kepada Felis. “Felis, perkenalkan, ini Zinnia, teman baikku dari kelas XII MIA 1. Jadi kita lengkap kan, XII MIA 1, XII MIA 2, dan XII MIA 3?” ujar Viola dengan senyum yang semakin mengembang.

“Assalamu’alaikum. Salam kenal, Felis. Senang berkenalan denganmu.” Ucap Zinnia sambil tersenyum dan mengulurkan tangan kanannya.

Felis menerima uluran tangan Zinnia lalu membalas, “Wa’alaikumussalam, Zinnia. Aku juga senang berkenalan denganmu.” Ia memberikan senyum yang tak kalah manis daripada senyum Zinnia.

Sebuah perkenalan yang hambar baru saja terjadi dalam kelompok tiga orang tersebut. Entah Zinnia lupa akan tujuan awalnya, namun setelah perkenalan itu, mereka terdiam selama beberapa puluh detik hingga akhirnya Viola memecah kesunyian dalam keramaian di kantin itu.

“Jadi, Felis mengatakan padaku bahwa dia setuju tentang rencana kita.” Viola memulai diikuti anggukan Felis.

Zinnia yang tadinya setengah melamun mulai mengembalikan kesadarannya. “Ah! Ya, aku sampai lupa hal itu. Viola sudah menjelaskan padamu? Ini keinginanmu sendiri, kan? Jika kamu terpaksa, aku tak akan segan memaksamu keluar dari tim ini.” Zinnia tak main-main merekrut seseorang menjadi timnya. Ia tak ingin anggota timnya bekerjasama dengannya tanpa keikhlasan.

Setengah takut dan kaget, Felis menjawab, “Benar, ini kemauanku sendiri, kok. Aku juga sudah lama memantau lomba ini, ‘tapi aku belum memiliki tim.” Zinnia dan Viola mengangguk mendengar jawaban Felis.

“Sekarang kita tinggal menyusun strategi, baik itu saat belajar atau menjawab soal. Kita tahu sendiri kalau sekolah kita jadwal terbangnya sangat padat. Aku tahu saat mendekati hari H babak penyisihan pun, akan ada evaluasi harian yang kita hadapi,” kata Viola.

“Aku rasa kamu melupakan guru pendamping dan izin sekolah,” Felis menimpali.

“Oh iya, ya. Aku lupa. Hehehe...” Viola memiringkan kepala sambil tertawa ringan.

“Bagaimana kalau Bu Kartini yang menjadi pendamping kita? Beliau sudah berpengalaman menjadi pendamping siswa yang ikut lomba. Ya, alasan utamanya tentu karena kemampuan di bidangnya,” usul Zinnia.

Bu Kartini adalah seorang guru Biologi di sekolahnya. Namun, ia juga bisa mengajar pelajaran lain yang terkait, seperti Kimia dan Prakarya. Tak butuh waktu lama bagi Viola dan Felis untuk memutuskan.

“Setuju!” Viola dan Felis berteriak serempak.

Teeet teeet….

Teriakan mereka disambut oleh bel masuk.

“Kita lanjut besok, ya!” seru Zinnia sebelum beranjak dari kursi kantin. Anak yang lain pun beranjak ke kelas mereka. Kantin itu sudah sepi oleh para siswa beberapa menit kemudian.

Di kelas, Zinnia belajar dengan semangat hingga bel kedua berbunyi. Ia melaksanakan sholat Zuhur lalu kembali ke kelas. Ia mengikuti pelajaran hingga akhirnya bel pulang berbunyi.

Esok hari, sesuai yang telah mereka rencanakan, mereka membahas lomba  itu lagi di kantin. Kali ini mereka membawa print out yang berisi informasi tentang lomba tersebut untuk diperlihatkan kepada Bu Kartini. Setelah merencanakan strategi awal, mereka memberanikan diri untuk meminta Bu Kartini menjadi pendamping mereka. Dengan harap-harap cemas, mereka memasuki ruang guru. Di sudut ruangan, mereka melihat seorang wanita paruh baya mengenakan kacamata dengan laptop yang menyala di depannya. Ia terlihat sibuk. Mereka sedikit enggan untuk mengganggu guru mereka itu. Zinnia yang melangkah paling depan sempat ragu melangkahkan kakinya, tetapi Viola yang di belakangnya menahan punggungnya untuk terus melangkah. Viola dan Felis mengangguk memberi semangat kepada Zinnia. Zinnia balas mengangguk seolah-olah mengatakan “Baiklah.” Sesampai mereka di depan meja Bu Kartini, mereka mulai mendiskusikan hal ihwal mereka.

“Assalamu’alaikum, Bu Guru.” Ucap mereka serempak.

“Wa’alaikumussalam, Nak. Ada apa, ya?” tanya Bu Kartini dengan mimik ramah di wajahnya.

Zinnia mulai berbicara. “Begini, Bu. Kami bertiga; saya, Viola, dan Felis berniat mengikuti sebuah lomba yang diinformasikan di mading sekolah. Lomba ini bernama MEDSPIN yang diselenggarakan oleh UNAIR Surabaya.” Zinnia menjeda penjelasannya untuk memperlihatkan print out yang sudah mereka siapkan. “Lomba ini diikuti oleh tim yang berisi tiga orang dengan seorang pendamping. Tujuan kami ke sini adalah untuk meminta Ibu menjadi pendamping tim kami.” Zinnia melanjutkan.

Bu Kartini membaca print out tersebut sekilas lalu menjawab, “Kalian bertiga berarti memegang tiga bidang yang berbeda, ya? Zinnia; Biologi, Viola; Fisika, dan Kimia; murid pindahan, Felis, ya? Begitu pembagiannya?” Zinnia terlihat sedikit kaget mendengar penggalan kalimat kedua terakhir Bu Kartini. Ia baru tahu bahwa Felis adalah murid pindahan.

“Benar, Bu.” Mereka menjawab serentak.

“Insya Allah, Ibu akan mengusahakan yang terbaik sebagai pendamping kalian. Masalah biaya jangan dipikirkan. Ibu akan mengajukan kepada sekolah agar biaya lomba ditanggung sekolah. Kalian berusahalah yang terbaik juga.” Bu Kartini menuturkan kemudian tersenyum.

“Terima kasih, Bu Guru. Insya Allah, kami juga akan mengusahakan yang terbaik,” ucap Felis. Mereka bertiga membalas senyum Bu Kartini.

“Sama-sama, Nak,” balas Bu Kartini.

“Kalau begitu, kami pamit kembali ke kelas, Bu Guru. Jam pelajaran selanjutnya akan segera dimulai.” Kali ini Viola yang berbicara.

“Iya, Nak. Belajar yang rajin,” tutur Bu Kartini.

“Iya, Bu. Assalamu’alaikum...” Mereka mengucapkannnya serentak lalu mencium tangan Bu Kartini bergiliran.

“Wa’alaikumussalam...” Jawab Bu Kartini.

Mereka keluar dari ruang guru dengan perasaan lega. Fakta bahwa Felis adalah murid pindahan hampir tersingkir dari otak Zinnia.  Mereka berjalan bersama ke kelas mereka masing-masing-masing. Kebetulan jalan kelas mereka searah. Saat berjalan melewati lorong, ia sempat menanyakan masalah kepindahan Felis, namun Felis tidak merespon. Mungkin tak harusnya ia menanyakan hal itu sekarang. Lagipula, mereka harus belajar dengan giat dan mengabaikan hal yang tak penting.

Hari selanjutnya, mereka berkumpul lagi di gazebo sekolah untuk belajar bersama. Bu Kartini datang sesekali untuk mengontrol dan menjawab pertanyaan mereka. Gazebo itu memang setiap hari ramai oleh para siswa. Kecil kemungkinan bagi mereka untuk bisa mendapat tempat di sana. Namun, salah satu dari mereka yang paling cepat keluar dari kelas akan bergegas ke sana setiap harinya. Alhasil, mereka berhasil mendapat tempat di sana.

Gazebo itu terletak di samping kantin sekolah mereka. Mereka bisa memilih tempat antara di kantin atau di gazebo untuk menghabiskan makanan ringan yang mereka beli di kantin. Hawa sejuk di gazebo itu pun mendukung proses belajar mereka.

Mereka mendalami bidang mereka masing-masing. Artinya, ada kemungkinan untuk mereka belajar mandiri di tempat yang mereka inginkan. Namun, mereka bertiga sepakat untuk belajar bersama di gazebo agar dapat membahas soal medis bersama. Selain itu, tak ada salahnya bagi mereka untuk mengenal lebih dekat satu sama lain.

Hari demi hari berlalu, tak terasa waktu penyisihan lomba semakin dekat. Semua persyaratan telah mereka penuhi. Mereka semakin sering belajar bersama di gazebo sekolah saat jam istirahat. Bu Kartini datang menyambang di awal waktu istirahat. Mereka hanya absen beberapa kali, kadang saat mereka ada ulangan yang agak susah ditoleransi. Atau beberapa kali Felis mendapat telepon melalui ponsel guru yang mengharuskannya undur diri lebih dulu.

Di gazebo, mereka kadang bercanda sebagai selingan. Mereka juga saling bercerita tentag kehidupan masing-masing. Mereka bertiga semakin dekat. Namun, Zinnia dan Viola merasa Felis agak menutup diri dari mereka. Sebenarnya, pikiran Zinnia masih terganggu oleh beberapa hal tentang Felis yang misterius. Misalnya masalah kepindahannya, telepon masuk ke ponsel guru yang ditujukan untuknya, dan Felis yang jarang terlihat bersama anak lain selain Zinnia dan Viola.

Beberapa hari sebelum seleksi dilaksanakan, ketika Bu Kartini tidak sempat mendatangi mereka karena suatu urusan, Viola mencoba memberanikan diri membahas kehidupan Felis. Saat itu, Zinnia sedang izin ke kamar kecil. Viola memulai dengan menceritakan sepenggal kisahnya. Tentu saja dengan diselingi candaan. Ia juga mulai bertanya tentang kehidupan Felis mulai dari hal-hal umum, tentang kehidupan sekolahnya di MAN Insan Kamil, pendapatnya tentang sekolah itu, dan lain-lain yang tidak sampai ke masalah pribadinya.

“Omong-omong, apa alasan kamu pindah ke sini, Fel? Kamu terlihat misterius sekali. Seharusnya kamu lebih banyak bergaul dengan siswi di sini. Ups!” Ia segera menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia keceplosan melontarkan pertanyaan yang harusnya ia hindari. Atmosfer yang tadinya ringan menjadi lebih berat. Ia pernah mendengar Zinnia menanyakan hal yang sama kepada Felis, namun ia tak dijawab sama sekali.

Jeda yang panjang terbentang antara pertanyaan Viola dan jawaban yang akan dikatakan Felis. Akhirnya Felis membuka mulut, “Ada beberapa hal yang tak bisa dikatakan orang kepada orang lain. Dan itu adalah hal yang tak bisa aku ungkapkan pada kalian. Maaf, aku harus pergi.”

Setelah menyelesaikan penuh kalimat itu, Felis mengambil tasnya lalu pergi ke arah toilet. Di sana, ia berpapasan dengan Zinnia yang baru saja kembali dari toilet. Viola tak mengejar, justru ia hanya berteriak, “Felis, kamu mau ke mana?! Jangan keluyuran lagi kamu!” Viola yang geram membuat asumsi yang tak enak didengar.

“Ada apa, Fel? Kamu mau ke mana?” tanya Zinnia pada Felis. Namun Felis tak melihatnya sama sekali, apalagi merespon. Ia hanya berjalan terus melewati toilet, sepertinya menuju gerbang depan sekolah. Entah ia akan pergi ke mana.

Zinnia berbalik kepada Viola. “Apa yang terjadi saat aku tak ada, Vi?”

“Yah, kami membicarakan beberapa hal, lalu ia jadi seperti itu.” Ia mengatakannya dengan gugup, keringat mulai bercucuran melewati keningnya.

“Kamu tak seharusnya membuat masalah saat mendekati lomba seperti sekarang ini.” Ujar Zinnia.

“Apa katamu? Aku tak pernah membuat masalah. Dia yang terlalu sensitif. Aku tak suka orang yang sensitif.” Viola membalas.

“Seseorang akan menjadi sensitif jika masalah sensitifnya diungkit,” Zinnia menghela napas. “Sudahlah, sekarang kita biarkan dulu dia menenangkan diri. Besok kita harus minta maaf padanya,” pinta Zinnia.

Viola hanya mendengus mendengar perkataan sahabatnya. Ia memang harus melakukan apa yang dipinta Zinnia. Ia tahu bahwa sahabatnya itu tak ingin mengacaukan lomba yang akan mereka ikuti. Mereka berdua kembali ke kelas masing-masing meninggalkan gazebo teduh yang sekarang sama sekali tak menunjukkan adanya bekas pertengkaran beberapa saat lalu di sana.

Keesokan harinya, mereka pergi mencari Felis di kelasnya, XII MIA 3. Kelas itu sangat berisik dan ramai pada jam istirahat. Tak terbayangkan bagaimana Felis yang pendiam beradaptasi dengan keadaan kelas itu. Mereka mencari Felis untuk minta maaf, namun mereka tak menemukan Felis. Teman kelasnya berkata bahwa ia tidak masuk sejak jam pelajaran ke lima kemarin. Itu berarti setelah insiden di gazebo.

Mereka berdua akhirnya belajar di gazebo tanpa Felis. Ketika Bu Kartini datang mengontrol mereka, mereka menceritakan masalah yang kemarin kepada Bu Kartini. Bu Kartini pun tidak tahu di mana Felis sekarang. Felis tidak masuk tanpa keterangan. Bu Kartini menyarankan mereka untuk mencari Felis ke rumahnya. Mereka memang berencana mencari Felis ke rumahnya sepulang sekolah. Mereka meminta alamat Felis kepada Bu Kartini. Bu Kartini memberikan mereka alamat Felis yang tertera di biodata Felis.

Sepulang sekolah, mereka mencari alamat Felis. Alamatnya cukup susah ditemukan, namun mereka berhasil menemukannya. Rumahnya cukup besar. Mungkin paling besar di lingkungannya. Rumah itu jauh dari keramaian. Namun sayang sekali, mereka tak menemukan siapapun di rumah itu. Mereka berencana mencari Felis esok hari lagi.

Sepulang sekolah keesokan harinya, mereka kembali ke rumah Felis, tetapi tetap tak ada siapapun di sana. Tetangganya mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat Felis selama beberapa hari. Tetangga yang lain mengatakan bahwa ia melihat Felis kembali hanya saat pagi hari. Setelah itu ia segera pergi lagi entah ke mana.

Besok adalah pelaksanaan lomba dan mereka belum menemukan Felis. Mereka memberitahu Bu Kartini apa yang mereka dapatkan dari tetangga Felis. Sekarang, mereka hanya dapat melaksanakan rencana terakhir mereka. Mereka berencana menjemput Felis pada pagi hari sebelum ia pergi lagi dan membawanya ke tempat lomba. Mereka bisa saja mengganti posisi Felis, namun mereka telah berjuang bersama. Mereka pun harus bertanding bersama.

Benar saja, esok harinya, menggunakan mobil sekolah dan ditemani Bu Kartini, mereka ke rumah Felis pagi-pagi sekali. Mereka menunggu di dalam mobil yang terparkir di tempat yang agak jauh dari rumah Felis. Setelah menunggu sekitar lima belas menit, mereka hampir tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Itu memang Felis! Zinnia langsung turun menghampiri Felis, disusul Viola dan Bu Kartini. Felis yang menyadari kehadiran mereka langsung berlari ke arah rumahnya. Untunglah Zinnia berhasil meraih tangan Felis.

“Felis! Ke mana saja kamu selama ini? Kami mencarimu,” ungkap Zinnia.

 Zinnia hanya mendengar isak tangis dari Felis. Felis berusaha melepas genggaman Zinnia, namun sia-sia. Zinnia telah bertekad membawa Felis mengikuti seleksi hari ini. Viola dan Bu Kartini akhirnya sampai di depan rumah Felis, tempat Zinnia dan Felis berada.

“Nak, apa yang terjadi padamu?” Bu Kartini membuka mulut. Felis hanya terdiam mendengar pertanyaan itu.

“Felis, maafkan aku. Aku tak sengaja mengatakan hal seperti itu waktu itu. Aku benar-benar menyesal, Felis.” Viola terlihat penuh penyesalan.

“Felis, maafkan kami. Jika kamu punya masalah, ceritakanlah kepada kami. Kami bersedia mendengarnya.”

“Mengapa kalian tak pergi saja? Sekarang hari seleksinya, kan?” Akhirnya Felis membuka suara dengan sedikit getaran pada suaranya.

“Kami tak akan pergi tanpamu,” ucap Viola.

“Mengapa kalian tak mencari penggantiku? Bukankah kalian sangat ingin mengikuti lomba itu?”

“Kami memang ingin mengikutinya. Mungkin sekarang adalah kesempatan terakhir kami mengikuti lomba di jenjang ini, mungkin kamu juga. ‘Tapi, kami sudah bersamamu dari awal. Kami pun harus bersamamu sampai akhir. Maka dari itu, ikutlah bersama kami.”

“Maaf. Aku tak bisa. Nyawa seseorang yang berharga bagiku akan dipertaruhkan hari ini. Aku harus berada di sampingnya,” ungkap Felis.

“Bisakah kamu menceritakannya pada kami, Fel? Kami tak akan mengerti jika kamu tak menceritakannya.” Viola memohon.

“Ibuku akan dioperasi hari ini. Beliau terkena kanker hati. Tak ada yang menemaninya di rumah sakit.”

“Begini saja. Kalian bertiga pergi lomba, biar Bu Guru yang menjaga ibumu.” Bu Kartini menawarkan.

“Tapi, apa tidak merepotkan Bu Guru?”

“Tentu tidak. Ibu melakukannya dengan senang hati.”

“Fel, terimalah tawaran Bu Guru. Setelah pengumuman hasil penyisihan, kita pasti akan mengunjungi ibumu,” bujuk Zinnia.

Felis diam beberapa saat sambil mempertimbangkan. Setelah kurang lebih 10 menit, ia akhirnya membuka suara, “Baiklah, aku akan melakukannya. Tapi aku tidak yakin aku mampu, sudah berapa hari aku tidak belajar bersama kalian.”

“Tidak apa, percaya pada kemampuanmu, Fel. Kita sudah mempersiapkannya dari jauh hari, kan? Yakinlah kita bisa.” Viola memberi semangat.

“Bailklah. Berikan Bu Guru alamat rumah sakit tempat ibumu dirawat. Ibu akan ke sana sendiri. Kalian berangkatlah ke tempat penyisihan,” pinta Bu Guru.

Mereka berpamitan dan meminta doa kepada Bu Kartini setelah Felis memberikan alamat rumah sakit tempat ibunya dirawat ke Bu Kartini. “Assalamu’alaikum, Bu Guru,” ucap mereka serentak.

“Wa’alaikumussalam. Jangan lupa berdoa, Nak.”

“Iya, Bu.” Setelah mengucapkan kalimat itu, mereka segera masuk ke mobil sekolah. Sopir sekolah membawa mereka ke tempat seleksi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah Felis.

Setelah sampai di lokasi tes, tes akan segera dimulai. Mereka segera memasuki ruang tes. Mereka mengerjakan tes dengan lancar. Sebelumnya, ketika masih di perjalanan, mereka sudah menyusun strategi menjawab soal. Ada empat tipe soal yang mereka kerjakan, soal Biologi, Fisika, Kimia, dan medis. Waktu mereka mengerjakan tes adalah 120 menit. Mereka berencana mengerjakan soal Biologi, Fisika, dan Kimia sesuai bidang masing-masing selama 70 menit pertama, soal medis secara bersama-sama selama 30 menit setelahnya, dan waktu yang tersisa akan mereka gunakan untuk mengisi jawaban di lembar jawaban.

Sesudah keluar dari ruang tes, mereka menunggu kurang lebih 3 jam hingga hasil tes diumumkan. Hasilnya, mereka berhak maju ke babak selanjutnya. Mereka sangat bahagia sampai menangis terharu akan kebahagiaan mereka.

Mereka segera beranjak ke rumah sakit tempat ibu Felis dirawat setelah hasil diumumkan. Setiba di kamar tempat ibu Felis dirawat, mereka melihat ibu Felis yang masih terbaring di ranjang rumah sakit setelah operasi dilaksanakan. Bu Kartini berkata bahwa operasi berhasil dilaksanakan. Ibu Felis tidak sadarkan karena efek obat bius. Mereka akan menunggu di sana sampai ibu Felis sadar. Sekitar setengah jam menunggu, akhirnya ibu Felis siuman. Felis menangis bahagia menceritakan keberhasilan mereka ke babak selanjutnya.

Felis menceritakan semua kejadian yang menimpanya. Saat ayahnya selingkuh, saat ibunya dirawat di rumah sakit. Saat ayahnya akhirnya menceraikan ibunya. Semua itu mengalihkan pikirannya dari tanggung jawab di sekolah. Itulah yang membuat ia menutup diri terhadap orang lain. Ia pun pindah ke MAN Insan Kamil yang sedaerah dengan rumah ibu Felis. Pertemuan Felis dengan Zinnia dan Viola memberikan sedikit harapan dalam hidupnya. Namun, ia masih belum dapat terbuka kepada sekitarnya. Kejadian hari inilah yang mengubah sebagian besar hidupnya.

Sekarang, Zinnia, Viola, dan Felis harus berjuang menghadapi kelanjutan lomba yang mungkin akan menjadi lomba terakhir mereka di jenjang sekolah menengah atas sederajat ini. Mereka bertekad memenangkan lomba terakhir ini. Mereka akan berjuang dengan sungguh-sungguh demi merealisasikannya.

 

 

 

 

 

 

Postingan populer dari blog ini

Teks Ceramah

 A. Definisi dan Ciri-Ciri Ceramah     1. Definisi Ceramah          Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ceramah adalah pidato oleh seseorang di hadapan banyak pendengar mengenai suatu hal atau pengetahuan. Ceramah juga berarti penuturan bahan pembelajaran secara lisan. Ceramah merupakan pidato yang bertujuan untuk memberikan nasihat dan petunjuk mengenai suatu permasalahan kepada audiensi yang bertindak sebagai pendengar. Secara umum, ceramah mempunyai pengertian tentang suatu kegiatan berbicara di depan umum dalam situasi tertentu untuk tujuan tertentu dan kepada pendengar tertentu.         Pada dasarnya, pidato, ceramah, dan khotbah memiliki persamaan, yakni pengungkapan pikiran di hadapan banyak orang. Namun, dalam pelaksanaannya, antara pidato, ceramah, dan khotbah memiliki perbedaan. Pidato sering kita ikuti dalam acara-acara resmi, misalnya seminar, rafat pleno,. Ceramah diadakan untuk acara-acara tert...

Teks Laporah Hasil Observasi

            Sebuah laporan hasil observasi dapat disajikan dalam bentuk teks tertulis maupun teks lisan. Kamu sering melakukan observasi atau pengamatan, tetapi belum memahami cara menyusun teks laporannya dengan baik. Untuk itu, kamu perlu memerhatikan penyusunan laporan hasil observasi yang kamu dengar atau kamu baca dari media televisi, koran, majalah, atau internet. A. Pengertian, Ciri-Ciri, Sifat, dan Contoh Teks Laporan Hasil Observasi 1. Pengertian Teks Laporan Hasil Observasi          Teks laporan hasil observasi adalah teks yang berisi penjabaran umum mengenai sesuatu yang didasarkan pada hasil kegiatan observasi/pengamatan. Kegiatan observasi merupakan kegiatan pengumpulan data atau informasi melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat di lapangan atau lokasi. 2. Ciri-Ciri Teks Laporan Hasil Observasi     Teks laporan hasil observasi memiliki ciri-ciri yang membedakann...

ANEKDOT

A. Definisi. Ciri, dan Jenis Anekdot   1. Definisi Teks Anekdot     Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau orang terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Orang-orang penting yang diceritakan dalam anekdot bermacam-macam, seperti tokoh politik, sosial, dan agama.  Sementara itu, peristiwa yang diceritakan dalam anekdot merupakan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun seiring perkembangan zaman anekdot juga digunakan untuk menceritakan tokoh dan peristiwa fiktif.     Anekdot mengandung humor. Humor dalam anekdot dibentuk dengan kelucuan atau kekonyolan tokoh. Tindakan ataupun ucapan tokoh menimbulkan humor karena adanya peristiwa ganjil yang mendasarinya. Humor juga dapat diciptakan melalui permainan kata, makna, ataupun pelesetan terhadap suatu kata ataupun frasa.     Humor dalam anekdot bukan hanya bersifat menghibur. Bia...