Pada saat jam pelajaran ketujuh setelah isoma akan segera dimulai,
tepatnya pukul 12.45 aku segera bergegas ke sekolah. Terlihat pemandangan yang
berbeda di jalanan menuju sekolah. Banyak pak tukang yang sedang bekerja tanpa
kenal lelah dibawah teriknya mentari “Assalamualaikum Pak, permisi,” ucapku
ketika melewati salah satu pak tukang yang terlihat sudah cukup berumur dan
beliau menjawab salamku dan tersenyum, aku pun tersenyum dan berkata “Semangat,
pak !” Aku sangat bahagia ketika melihat orang tersenyum. Setelah itu aku
melanjutkan perjalananku menuju sekolah. Aku mulai menaiki anak tangga satu
demi satu untuk menuju kelasku XI MIA 2.
Terlihat sepasang sepatu berwarna hitam di rak sepatu di depan
kelas dan seperti yang kuduga pasti Haidar, dia adalah sahabatku, aku
menganggapnya seperti abangku sendiri. Saat aku memasuki kelas lantunan
ayat-ayat al qur’an yang dia baca langsung bergema indah ditelingaku. Dia tidak
menyadari kedatanganku. Mataku tertuju pada Haidar yang sedang duduk di kursinya.
Di tangannya terdapat al qur’an kecil berwarna hitam. Ia kini sedang membaca
surat al isro’, aku memperhatikannya dalam diam, tidak ingin mengganggunya.
Tubuhku seketika membeku, hatiku berdesir sakit saat tiba-tiba
bacaan al qur’an Haidar terdengar gamang. Suara yang sebelumnya terdengar tegas
berubah menjadi lirih. Haidar menangis, dia menutup wajahnya dengan al qur’an.
Bacaannya belum selesai. Haidar berusaha menghentikan tangisnya. Dia kembali
berusaha menyelesaikan bacaan surah al isro’nya, namun gagal. Dia semakin
menangis (dia masih belum sadar kalau aku berada tepat di bangku kedua di belakangnya).
Tidak sanggup melihat Haidar yang terus menangis, aku pergi keluar dengan
perlahan. Untuk pertama kalinya aku melihat Haidar seperti itu, biasanya dia
selalu tersenyum, dan pandai menyembunyikan perasaan sedihnya. Apa yang membuat
Haidar menangis ? sebenarnya apa yang terjadi ?
Saat bel pulang telah berbunyi. Afzam (sahabat Haidar) memanggilku
“Syaikhah, tunggu !” “Kenapa Zam ?” jawabku, dan setelah itu Afzam
menceritakanku tentang masalah yang sedang dialami Haidar dan dia memintaku
untuk membantunya mengembalikan semangat Haidar lagi. Malam harinya aku menulis
sebuah surat diatas kasur lembut kesayanganku.
Assalamualaikum
Akhi ! Jangan
nangis lagi kayak kemaren. Akhi kenapa ? ada masalah ? cerita akhi ! ana sama
Afzam sedih ngeliat akhi kayak gini, bingung mau ngelakuin apa, karena nggak
semua rasa dan ekspresi harus selalu di sembunyikan akhi. Nggak bisa jadi
orang munafik terus-menerus, nggak mesti selalu jadi orang yang bermuka dua
terus-menerus. Akhi disini nggak sendiri , akhi punya Afzam, Nafisa, ana, dan
yang lain. Jangan nyakitin diri dengan diem dan mendem. Karena sama aja itu
nyakitin orang yang peduli sama akhi. |
Pagi ini aku berangkat lebih pagi dari biasanya, dan saat aku
sampai di kelas tas Haidar sudah ada di tempat duduknya, aku memasukkan surat
yang telah aku tulis semalam ke dalam tasnya. Setelah beberapa hari Haidar
membalas suratku.
Assalamualaikum Adek ! Makasih suratnya, makasih banyak udah peduliin ana. Tapi emang ana
kepengennya kayak gini, nggak cerita ke siapa-siapa. Ana nggakpapa kok Dek,
anti sama Afzam nggak perlu khawatirin ana. Ana nggak mau nanti kalo ana
cerita, malah jadi beban buat anti dan Afzam, ana nggak mau anti dan Afzam
sedih dan sakit gara-gara ana. Sekali lagi makasih banyak. Selow ana
nggakpapa kok Dek. Ana kuat karena anti dan Afzam. Tetep jadi adek ana ya
Kah! |
Saat aku menerima balasan surat ini dari Haidar, jantungku terasa
seperti dihujani oleh milyaran kupu-kupu. Aku terkejut karena sedetik pun aku
tidak pernah berharap dia membalasnya. Aku sangat bahagia dan membacanya berulang
kali, aku pun selalu membawanya kamana pun aku pergi dan masih menyimpannya
sampai detik ini.
***
Udara pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya karena semalam
rintik hujan baru saja mengunjungi bumi. Aku melangkahkan kakiku menuju sekolah
dengan iringan senyuman mentari dan nyanyian burung-burung kecil yang merdu.
Tepat pada pukul 07.00 bel sekolah pun berbunyi dan itu berarti jam pertama
untuk hari ini akan segera dimulai, aku segera bergegas munuju kelas. Detik
demi detik telah ku hitung dan akhirnya saat yang dinanti oleh para siswa telah
tiba, bel istirahat berbunyi. Aku langsung menarik tangan Aisyah dan pergi menuju kantin.
Ketika kami hampir tiba di depan pintu kantin aku secara tiba-tiba
melepaskan genggamanku dari Aisyah. Aisyah menatapku heran, dan dia mengikuti
arah pandanganku. Pandanganku terpaku pada dua orang yang sedang berdiri di
dekat meja kantin. Disana ada sepasang remaja sedang bercanda dan tertawa
bersama. Remaja laki-laki itu memberikan sari roti dorayaki coklat kepada
remaja perempuan yang bersamanya, aku menggigit bibir bawahku dan sejak saat
itu aku tidak suka sari roti dorayaki. Aisyah dapat melihat raut sedih di
wajahku. Namun dalam sesaat, raut sedih itu cepat-cepat ku ganti dengan raut
gembira. Aku menarik tangan Aisyah untuk segera masuk ke kantin, Aisyah
tersenyum miris menatapku, saat aku tersenyum kepada dua orang remaja itu
Haidar dan Nafisa. “Kenapa sih berlagak sok kuat gitu Ikah ?” tanya Aisyah
lirih. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Siang ini Haidar datang ke mejaku dan bertanya “Ikah, Nafisa baik
ya ? ” rasa sakit kembali muncul setiap kali mendengar nama itu keluar dari
mulut Haidar. Namun aku justru memaksakan seulas senyum riang demi menutupi
kenyataan bahwa hatiku baru saja kembali terluka. “Iya, akhi” jawabku, “Ana
suka Nafisa, gimana ?” masih dengan senyum “Kok nanya ana ?” “Ya, ana cuma
pengen tau pendapat anti aja, kan anti deket sama Nafisa terus kita kan juga
sahabat, Ikah udah ana anggap kayak adek ana sendiri.” Jujur hati ana sakit
Dar. Aku mengangguk dengan senyum semakin lebar. “Nafisa itu orangnya baik,
sabar, udah gitu insyaallah salehah, jadi nggak papa kalo akhi suka sama dia, itu
wajar.” “Tapi ana takut ini dosa.” “Akhi perasaan itu datangnya dari Allah, itu
rahmat, sekarang tinggal akhi nya gimana menyikapinya.” “Oke, kalo itu pendapat
Ikah, makasi banyak.” “Iya, ana balik duluan ya akhi, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam Kah, sekali lagi makasih.”
Aku langsung pergi dan mempercepat langkahku menuju asrama,
Jantungku berdesir begitu kuat, rasa sakit yang menghantamku membuat dadaku
sesak, aku langsung pergi ke kamar Aisyah dan memeluknya dengan erat,
Butiran-butiran air mataku tidak bisa kutahan lagi. “Ikah ? kenapa ?” tanya
Aisyah, namun bibirku tidak sanggup lagi untuk mengucapkan sepatah kata pun.
Aku mempererat pelukanku kepada Aisyah. “Udah jangan nangis lagi, Kah. Berhenti
menggali luka sendiri. Sekarang kita fokus sama tujuan awal kita disini, inget
orang tua kita. Jangan sampai kita ngebiarin diri kita diatur sama hati kita,
tapi kita yang harusnya ngendaliin hati kita. Kan anti pernah bilang
Muslimah tangguh nggak boleh baper!” Aisyah adalah sahabat terbaikku,
tolong jaga persahabatan kami agar terus bertahan sampai jannahMu Ya Allah.
***
Tepat pukul 02.00 alarm ku berbunyi dan aku langsung pergi ke kamar
mandi untuk berwudhu’ dan melaksakan sholat tahajjud, aku bercerita kepada
Allah. Ya Allah, ana pengen cinta ana seindah kisah Fatimah. Yang
tidak mengumbar cintanya. Fatimah menyimpan cinta itu dalam diam. Hanya Engkau
yang Fatimah jadikan tempat untuk berkeluh kesah tentang cintanya. Hingga akhirnya
Engkau mempersatukannya dengan Ali. Ana pengen mendapatkan cinta suci seperti
itu. Ana memang tidak sesalehah Fatimah yang dengan beraninya membela sang
ayahanda dalam menyebarkan agamaMu. Namun, ana berharap Engkau mengirimkan ana,
seseorang yang memiliki sifat seperti Sayyidina Ali, pada waktunya nanti.
Hari ini adalah langkah awal untuk ku memulai kembali semuanya,
meluruskan niat, dan menata serta menjaga hatiku. “Syaikhah ! tunggu ana.”
Aisyah berlari mengejarku “Kenapa sih Ai?” “Kebiasaannya ninggalin ana mulu,” ucapnya
dengan nafas yang terengah-engah “Ya maaf Ai, anti sih lama banget.” “Kan..”
“Udah-udah berhenti masih pagi ana males debat. Iya ana yang salah.” “Nah, itu
bener. O ya kuat kan Kah entar di kelas ketemu Haidar sama Nafisa ?” “Selow Ai,
ana kan strong!” sebenarnya ana ragu Ai tapi insyaallah ana kuat, tenang ada
Allah.
“Ikah, ana pergi dulu ya, ana lupa kalo hari ini giliran ana piket !
semangat !” ucap Aisyah sambil berlari menuju kelas. Aku pun segera menuju kelas
menyusul Aisyah yang sudah lari duluan, namun langkah ku terhenti saat suara Haidar
memanggil namaku. “Syaikhah !” “Iya, kenapa akhi ?” “Jadi gini Kah kata Afzam,
Nafisa nggak masuk sekolah, katanya dia sakit, anti tau nggak dia sakit apa ? ”
Lagi-lagi jantungku terasa seperti ditusuk oleh ribuan jarum. Luka yang sudah
berusaha keras ku jahit dirobek dengan mudahnya oleh perkataan Haidar. Aku
sudah tidak bisa menahannya lagi namun harus ku paksakan untuk tetap tegar. “Maaf
akhi ana kurang tau.” Dar ana udah nggak kuat lagi nahan rasa sakit yang
berkali-kali dihujankan ke ana. Setelah itu aku langsung berlari sambil
menangis meninggalkan Haidar dan dia pun kebingungan melihatku.
Saat jam istirahat Haidar datang ke bangku ku, “Ikah, maafin ana,
kenapa anti tadi ninggalin ana sambil nangis ?” Ucap Haidar. Namun, aku hanya
diam, dan tidak memperdulikannya. “Ikah kenapa nggak ngasi tau ana, kalo anti
kayak gini, gimana ana bisa ngerti.” “Akhi, hati perempuan itu kayak air.
Terlalu sulit buat digenggam. Untuk tau akhi harus berani menyelam, cari apa
yang paling dia inginkan dan apa yang nggak dia sukai. Disana semua disimpan.
Karena nggak semua perempuan mau numpahkan masalah mereka, sesekali mereka
bakalan simpan sendiri di dasar terdalam. Dan saat itu terjadi, akhi harus
menyelam kedalamnya buat nyari dan ngebuang beban itu. Assalamualaikum.” Ucapku
dengan nada tegas, lalu langsung pergi dari kelas. Sejak kejadian itu aku
jarang berinteraksi lagi dengan Haidar. Kami hanya berbicara jika ada hal-hal
penting saja, tentang tugas sekolah, kelas, organisasi, dan hal lainnya yang
memang penting dan mengharuskan kami untuk berbicara. Hal ini memang susah, tapi
ini harus aku lakukan agar aku bisa cepat melupakannya.
***
Malam ini aku dan Aisyah duduk di depan asrama, aku melihat Haidar
yang tengah dijenguk orang tuanya, dan aku merasa sedih karna itu membuatku
semakin rindu dengan kedua orang tuaku. Aisyah disampingku, sedang sibuk dengan
buku diary silver kesayangannya. Aku pun mengalihkan pandanganku pada
langit, menatap langit malam dengan
taburan bintang-bintang. “Waktu itu
cepet banget ya Ai. 10 tahun lalu ana kayak gini dengan umi dan abi, natap
langit dengan taburan bintang. Kemarin juga kita disini berempat. Kalau aja dulu
ana itu lebih kuat pasti ana bisa nyelamatin umi sama abi. Kalau aja kemaren
ana bisa nahan rasa sakit karena Haidar, mungkin sampai sekarang ana masih bisa
ngehitung bintang dengan umi, abi, dia, anti, afzam, berenam.” Aku tidak
melanjutkan kalimatku, tenggorokanku tersekat. Sekuat mungkin ku tahan air mata
yang akan turun. Di luar dugaan, Aisyah bangkit dari posisinya, lalu telapak
tangannya menutupi mataku. Lembut, suara Aisyah terdengar diantara hening
malam. “Kalau ngeliat langit malam buat Ikah ngerasa sakit, jangan diliat.”
Aisyah menghela nafas sejenak, sebelum kembali berujar. “Ana tau Ikah suka liat
langit malam. Tapi, kadang apa yang paling kita cintailah yang melukai paling
dalam. Ikah udah cukup kesakitan selama ini, Ikah butuh istirahat.” Kalimat
Aisyah membuat tenggorokanku tersekat. Ada gumpalan yang terjebak di
kerongkonganku. Aku benci mengakuinya, tetapi Aisyah benar. Sakit selalu menghantam
tiap kali mataku jatuh pada langit malam. “Menyimpan rasa sakit sendirian itu
bikin capek, tapi lebih capek lagi kalau pura-pura baik-baik saja.” Tepat
setelah Aisyah mengucapkan kalimat yang terakhir, setetes air mata luruh dari
sudut mataku. Air mata keduaku yang disaksikan orang lain, setelah lebih dari
10 tahun aku menangis sendirian, sejak kepergian ayah dan ibuku ke syurga. Ya
Aisyah adalah satu-satu orang yang mengetahui bahwa orang tuaku telah pergi,
sejak kepergian mereka bibi dan paman lah yang menemaniku. Malam ini, untuk
kali pertama, ada orang yang
mendengarkan kisahku. Mengerti kelelahanku, tetapi tidak lantas
memintaku menjadi pribadi yang kokoh. Malam ini, untuk kali pertama, aku
membagi lukaku secara utuh. Aku membiarkan seseorang melihat kekalahanku atas
masa lalu. Merekam segala bentuk kerapuhanku. Aisyah melakukannya, tanpa
kata-kata, hanya diwakilkan oleh air mata.
***
Sore ini aku sudah berjanji dengan Afzam, Haidar, dan Nafisa untuk
mengerjakan laporan biologi di sekolah. Saat tiba di sekolah hanya ada Afzam
yang tengah duduk di bangku taman. “ Assalamualaikum, Zam Nafisa sama Haidar
mana ?” Tanyaku pada Afzam. “Waalaikumsalam, mereka lagi belanja buat keperluan
acara OSIS minggu depan, mungkin baliknya masih lama.” “Oh ya udah kalo gitu,
kita kerjain aja dulu berdua.” Jawabku “Afwan ya Kah, mungkin kalo ponsel ana
nggak lowbatt mungkin anti nggak perlu denger ini.” Mendengar kalimat
Afzam aku bingung “Maksudnya ?” Afzam tertawa renyah. “Ikah, ana bisa ngeliat,
cara anti natap Haidar itu bukan sebagai sahabat.” Aku tersenyum miris, “Tapi
Haidar nggak liat.” “Karena memang kadang semenyedihkan itu saat kita jatuh
cinta sama seseorang. Semua orang mungkin bisa sadar, kecuali orang yang kita
jatuhi cinta.” “Kadang antum puitis juga ya Zam ?” gumamanku dibalas Afzam
dengan senyum manis.
Saat kami mengerjakan laporan, Afzam sempat ragu, tetapi akhirnya
memberanikan diri bertanya. “Ikah, anti nggak mau coba nyatain perasaan anti ke
Haidar ?” mendengar itu aku terdiam sesaat, menghela napas lelah. “Nggak Zam,
ana kan perempuan.” “Kenapa ? Sayyidatina Khodijah perempuan tapi beliau yang
lebih dulu menyatakan cintanya kepada Rasululloh.” “Ana nggak bisa seperti
Sayyidatina Khodijah yang dengan berani menyatakan cintanya kepada Rasulullah.”
“Kenapa ? anti kan perempuan yang tangguh, menurut ana.” tanya Afzam lagi. Aku
menoleh, mengembangkan sedikit senyumnya, lantas berujar dengan gamang. “Ana
nggak setangguh Sayyidatina Khodijah Zam, kalau ana nyatain perasaan ana,
keadaan diantara kami mungkin berubah. Haidar mungkin bakalan jaga jarak, dan
ana belum siap untuk kehilangan.” Aku berhenti berujar sebentar, menggantungkan
kalimat demi menemukan oksigen bersih untuk melepas sesak. “Saat ini, dia
sedang jatuh cinta. Walaupun ana nggak berharap dia bakal ngerasain sakit, tapi
sejauh yang ana tau, jatuh cinta selalu berpasangan dengan patah hati. ana
nggak mau ketika dia patah hati nanti dia nggak punya siapa pun untuk lari. Ana
nggak mau dia sedih sendirian. Maka dari itu, ana ada. Kalaupun ana nggak bisa
ngebahagiain dia, ana berharap ana bisa jadi tempat dia lari setiap kali dia
jatuh.” Afzam menggigit bibir bawahnya, sedikit perih tiba-tiba menyebar di
dadanya. Dia pikir, perasaan sukanya hanya sebatas kagum. Namun, ketika mata
cokelat ku meredup, ada gumpalan yang terjebak dalam kerongkongannya. Afzam
menyadari kekalahannya atas sebuah bayangan, dan aku bisa melihatnya, tapi aku
berpura-pusa biasa saja. “Sekalipun anti cuma jadi sahabat Haidar selamanya ?”
ujarnya lagi. Aku terdiam sebelum mengangguk yakin. “Meskipun ana hanya sebatas
sahabat buat Haidar, selamanya. Karena cinta itu bukan gini (aku menggenggam
tanganku) tapi gini (membuka genggamanku), kalo terlalu kita genggam itu bukan
cinta tapi nafsu, cinta itu ikhlas, biarin dia bebas untuk bahagia walaupun
bukan kita yang jadi alasan buat dia bahagia. Ikhlasin aja. ” ucapku diiringi
senyum. Maafin ana Zam, ana tau perasaan antum ke ana.
***
Tak terasa akhirnya 356 hari telah berlalu, dan tibalah hari dimana
kami semua harus berpisah dan pergi untuk mengejar mimpi masing-masing. Aku
terdiam di sudut panggung depan pintu kelas menatap teman-temanku, aku
bertanya-tanya di dalam hatiku, bisakah kita bertemu lagi ? bagaimana wajah
kita nanti ? dan banyak lagi pertanyaan yang berputar di hatiku, sampai tiba-tiba
suara seseorang mengejutkanku. “Adek !” Aku selalu menjadi orang pertama yang
Haidar cari, kala dia senang ataupun sedih. Matanya berkilat-kilat, ada
kebahagiaan yang terpancar jelas di sana.
“Ikah ana udah ngungkapin perasaan ana ke Nafisa !”
Deg
Dalam sedetik aku merasa jantungku berhenti berdetak. Langit seolah
runtuh diatas kepalaku. Hancur. Haidar tidak menyadari sepucat apa wajahku, aku
berpegangan pada bingkai pintu, berusaha menopang tubuhku sendiri. Ada sesuatu
yang diambil paksa dari diriku. Menghantam-hantam dadaku. Merampas seluruh
oksigenku. Dan, “sesuatu” tersebut, orang panggil sebagai harapan.
“Terus..terus kata Nafisa apa bang ?” tanyaku antusias dengan
senyuman yang kuukir sebahagia mungkin. “Ternyata perasaan dia ke ana juga sama
seperti ana ke dia Kah.” Jawab Haidar dengan wajah yang berseri. “Selamat ya
Abang ! semoga bisa sampai Jannah.” “Iya dek, amiin.”
Setelah acara perpisahan selesai, ada suara memanggilku, “Syaikhah,
adek.” Ucap orang itu, “Iya Abang.” Jawabku “Ana mau ngomong sesuatu sama
Ikah.” “Ya, ngomong aja.” “Ana minta maaf
Dek, kalau ana selama ini ana belum bisa jadi abang ya baik.” “Iya abang,
ana juga minta maaf ya !” “Semoga semua mimpi Ikah tercapai ya! pokoknya besok
kalo kita ketemu lagi di depan nama anti harus udah ada huruf ‘d’ sama ‘r’ ya
Kah. Jaga hafalan anti baik-baik dan jangan pernah berhenti ngafal sampek anti
selesain tiga puluh juz.Tetep jaga hati. Kalo ada apa-apa jangan sungkan, Ana
uhibbuki fillah. Anti bakanal selamanya jadi adek ana, kita sodara. Dan Ikah selalu
ada dalam hati dan doa ana.” Tubuhku membeku, jantungku berdesir kencang, waktu
ini terasa terhenti seketika. Butiran-butiran hujan turun membasahi pipiku, aku
tidak tau mau berkata apa lagi. “Syaikhah ? kenapa nangis ?” aku hanya
menggelengkan kepalaku sambil tersenyum, “Ana nggakpapa akhi, ana bersyukur
banget sama Allah karena mengirimkan abang kayak akhi.” Jawabku,
butiran-butiran hujan kembali membasahi pipiku dengan deras.
Dalam perjalanan ke kampung halamanku di pulau dewata aku ditemani
oleh rasa rindu dan sakit atas apa yang telah terjadi beberapa ribu detik yang
lalu. Aku mengambil buku coklat yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi dan
mulai menggoresnya dengan tinta warna-warni untuk mewakilkan perasaanku saat
ini.
Satu hari di 2021 (perpisahan)
Bolehkah ana bertanya
pada waktu, kapan akhi akan menyadari perasaan ana?Bolehkah ana bertanya pada
rindu, apa akhi juga merasakannya? ana berjuang sendiri di tengah sepi. Tanpa
ada seorang pun yang menyadari, mungkin hanya denyut nadi dan degupan jantung
yang mengerti. Ditambah keheningan malam yang selalu menemani. Menunggu di
tengah sunyi. Sulit ana mengerti. Kenapa perasaan semacam ini datang
menghampiri? Ana cari alasan, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Ana terus
menunggu tanpa kepastian. Menunggu dengan beralaskan luka, bermandikan air
mata. Pertanyaan ana hanya satu, kapan akhi peka ?
Alam menjadikan kita sebagai abang dan adek, sebagai sodara, sebagai
sahabat. Mungkin menurut akhi ini biasa, tapi menurut ana ini adalah sebuah
anugrah yang luar biasa. Akhi tau, nggak ada persahabatan yang murni antara
laki-laki dan perempuan. Hanya kata-kata
saja ‘bersahabat’ tapi perasaan nggak. Ana, akhi, Azfam realitanya
sebagai bukti dari itu semua. Ana tau tentang akhi dan perasaan akhi. Ana
benar-benar sayang akhi. Tapi semakin ana sayang ana semakin sakit dan bimbang
dengan perasaan ana, dan benar Allah nggak nempatin ana buat akhi sebagai yang
lain, kecuali adik bagi akhi. Karna Allah udah ngirim Nafisa buat akhi. Ana
minta maaf karna udah berharap lebih atas perhatian yang akhi kasi. Hati ana
udah dibolak-balik dan ana nggak punya kuasa buat ngubah itu dengan sesuka ana,
karna ana bukanlah pemilik sebenarnya.
***
Di sebuah taman di pulau dewata, aku duduk
disalah satu kursi taman dengan sebuah buku coklat di tanganku, dan segerombolan
pulpen warna-warni, seperti yang selalu dibawa Haidar dulu. Jari jemariku mulai
mengukir huruf demi huruf yang ada di hatiku sore ini.
12 februari 2023 (kedua
puluh kalinya tanggal ini terulang)
Setiap tanggal ini muncul ana semakin sakit karena ana semakin mengingat
dan merindukan antum Dar. Ana ngebiarin sesuatu yang seharusnya nggak usah ada.
Ana ngebiarin itu semua tumbuh. Ana ngebiarin itu semua ngalir. Dan ana selalu
berusaha mempertahanin itu semua, tapi waktu yang ana punya menghartarkan ana
kepada sesuatu yang berbeda. Ana milih buat mempertahanin sesuatu yang lain,
walaupun ana sendiri yang kesakitan. Ana seperti ombak yang terlihat kuat,
namun rapuh saat bertemu tepian. Ana jaga perasaan orang lain sampai ana lupa
perasaan ana sendiri. Tapi ana tau dibalik semua itu ada sesuatu istimewa yang nggak
pernah kita bayangkan sedang menunggu.
Ana nggak bisa nyalahin apapun. Karena hidup adalah perjalanan, dan dalam
perjalanan kita pasti akan sering meninggalkan atau ditinggal dan ana nggak mau
keduanya, tapi ia hanya bisa terus berputar, perjalan, mempertemukan, dan memisahkan.
Dan ana hanya bisa berharap untuk dipertemukan kembali, walau persentasenya
hanya sedikit. Menunggu tapi tak ditunggu. Bertahan tapi tak ditahan, itulah yang
ana rasakan sampai detik ini.