Langsung ke konten utama

Hasa


Pada saat jam pelajaran ketujuh setelah isoma akan segera dimulai, tepatnya pukul 12.45 aku segera bergegas ke sekolah. Terlihat pemandangan yang berbeda di jalanan menuju sekolah. Banyak pak tukang yang sedang bekerja tanpa kenal lelah dibawah teriknya mentari “Assalamualaikum Pak, permisi,” ucapku ketika melewati salah satu pak tukang yang terlihat sudah cukup berumur dan beliau menjawab salamku dan tersenyum, aku pun tersenyum dan berkata “Semangat, pak !” Aku sangat bahagia ketika melihat orang tersenyum. Setelah itu aku melanjutkan perjalananku menuju sekolah. Aku mulai menaiki anak tangga satu demi satu untuk menuju kelasku XI MIA 2.

Terlihat sepasang sepatu berwarna hitam di rak sepatu di depan kelas dan seperti yang kuduga pasti Haidar, dia adalah sahabatku, aku menganggapnya seperti abangku sendiri. Saat aku memasuki kelas lantunan ayat-ayat al qur’an yang dia baca langsung bergema indah ditelingaku. Dia tidak menyadari kedatanganku. Mataku tertuju pada Haidar yang sedang duduk di kursinya. Di tangannya terdapat al qur’an kecil berwarna hitam. Ia kini sedang membaca surat al isro’, aku memperhatikannya dalam diam, tidak ingin mengganggunya.

Tubuhku seketika membeku, hatiku berdesir sakit saat tiba-tiba bacaan al qur’an Haidar terdengar gamang. Suara yang sebelumnya terdengar tegas berubah menjadi lirih. Haidar menangis, dia menutup wajahnya dengan al qur’an. Bacaannya belum selesai. Haidar berusaha menghentikan tangisnya. Dia kembali berusaha menyelesaikan bacaan surah al isro’nya, namun gagal. Dia semakin menangis (dia masih belum sadar kalau aku berada tepat di bangku kedua di belakangnya). Tidak sanggup melihat Haidar yang terus menangis, aku pergi keluar dengan perlahan. Untuk pertama kalinya aku melihat Haidar seperti itu, biasanya dia selalu tersenyum, dan pandai menyembunyikan perasaan sedihnya. Apa yang membuat Haidar menangis ? sebenarnya apa yang terjadi ?

Saat bel pulang telah berbunyi. Afzam (sahabat Haidar) memanggilku “Syaikhah, tunggu !” “Kenapa Zam ?” jawabku, dan setelah itu Afzam menceritakanku tentang masalah yang sedang dialami Haidar dan dia memintaku untuk membantunya mengembalikan semangat Haidar lagi. Malam harinya aku menulis sebuah surat diatas kasur lembut kesayanganku.

Assalamualaikum Akhi !

Jangan nangis lagi kayak kemaren. Akhi kenapa ? ada masalah ? cerita akhi ! ana sama Afzam sedih ngeliat akhi kayak gini, bingung mau ngelakuin apa, karena nggak semua rasa dan ekspresi harus selalu di sembunyikan akhi. Nggak bisa jadi orang munafik terus-menerus, nggak mesti selalu jadi orang yang bermuka dua terus-menerus. Akhi disini nggak sendiri , akhi punya Afzam, Nafisa, ana, dan yang lain. Jangan nyakitin diri dengan diem dan mendem. Karena sama aja itu nyakitin orang yang peduli sama akhi.

 

Pagi ini aku berangkat lebih pagi dari biasanya, dan saat aku sampai di kelas tas Haidar sudah ada di tempat duduknya, aku memasukkan surat yang telah aku tulis semalam ke dalam tasnya. Setelah beberapa hari Haidar membalas suratku.

Assalamualaikum Adek !

Makasih suratnya, makasih banyak udah peduliin ana. Tapi emang ana kepengennya kayak gini, nggak cerita ke siapa-siapa. Ana nggakpapa kok Dek, anti sama Afzam nggak perlu khawatirin ana. Ana nggak mau nanti kalo ana cerita, malah jadi beban buat anti dan Afzam, ana nggak mau anti dan Afzam sedih dan sakit gara-gara ana. Sekali lagi makasih banyak. Selow ana nggakpapa kok Dek. Ana kuat karena anti dan Afzam. Tetep jadi adek ana ya Kah!  

 

Saat aku menerima balasan surat ini dari Haidar, jantungku terasa seperti dihujani oleh milyaran kupu-kupu. Aku terkejut karena sedetik pun aku tidak pernah berharap dia membalasnya. Aku sangat bahagia dan membacanya berulang kali, aku pun selalu membawanya kamana pun aku pergi dan masih menyimpannya sampai detik ini.

***

Udara pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya karena semalam rintik hujan baru saja mengunjungi bumi. Aku melangkahkan kakiku menuju sekolah dengan iringan senyuman mentari dan nyanyian burung-burung kecil yang merdu. Tepat pada pukul 07.00 bel sekolah pun berbunyi dan itu berarti jam pertama untuk hari ini akan segera dimulai, aku segera bergegas munuju kelas. Detik demi detik telah ku hitung dan akhirnya saat yang dinanti oleh para siswa telah tiba, bel istirahat berbunyi. Aku langsung menarik tangan  Aisyah dan pergi menuju kantin.

Ketika kami hampir tiba di depan pintu kantin aku secara tiba-tiba melepaskan genggamanku dari Aisyah. Aisyah menatapku heran, dan dia mengikuti arah pandanganku. Pandanganku terpaku pada dua orang yang sedang berdiri di dekat meja kantin. Disana ada sepasang remaja sedang bercanda dan tertawa bersama. Remaja laki-laki itu memberikan sari roti dorayaki coklat kepada remaja perempuan yang bersamanya, aku menggigit bibir bawahku dan sejak saat itu aku tidak suka sari roti dorayaki. Aisyah dapat melihat raut sedih di wajahku. Namun dalam sesaat, raut sedih itu cepat-cepat ku ganti dengan raut gembira. Aku menarik tangan Aisyah untuk segera masuk ke kantin, Aisyah tersenyum miris menatapku, saat aku tersenyum kepada dua orang remaja itu Haidar dan Nafisa. “Kenapa sih berlagak sok kuat gitu Ikah ?” tanya Aisyah lirih. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

Siang ini Haidar datang ke mejaku dan bertanya “Ikah, Nafisa baik ya ? ” rasa sakit kembali muncul setiap kali mendengar nama itu keluar dari mulut Haidar. Namun aku justru memaksakan seulas senyum riang demi menutupi kenyataan bahwa hatiku baru saja kembali terluka. “Iya, akhi” jawabku, “Ana suka Nafisa, gimana ?” masih dengan senyum “Kok nanya ana ?” “Ya, ana cuma pengen tau pendapat anti aja, kan anti deket sama Nafisa terus kita kan juga sahabat, Ikah udah ana anggap kayak adek ana sendiri.” Jujur hati ana sakit Dar. Aku mengangguk dengan senyum semakin lebar. “Nafisa itu orangnya baik, sabar, udah gitu insyaallah salehah, jadi nggak papa kalo akhi suka sama dia, itu wajar.” “Tapi ana takut ini dosa.” “Akhi perasaan itu datangnya dari Allah, itu rahmat, sekarang tinggal akhi nya gimana menyikapinya.” “Oke, kalo itu pendapat Ikah, makasi banyak.” “Iya, ana balik duluan ya akhi, Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam Kah, sekali lagi makasih.”

Aku langsung pergi dan mempercepat langkahku menuju asrama, Jantungku berdesir begitu kuat, rasa sakit yang menghantamku membuat dadaku sesak, aku langsung pergi ke kamar Aisyah dan memeluknya dengan erat, Butiran-butiran air mataku tidak bisa kutahan lagi. “Ikah ? kenapa ?” tanya Aisyah, namun bibirku tidak sanggup lagi untuk mengucapkan sepatah kata pun. Aku mempererat pelukanku kepada Aisyah. “Udah jangan nangis lagi, Kah. Berhenti menggali luka sendiri. Sekarang kita fokus sama tujuan awal kita disini, inget orang tua kita. Jangan sampai kita ngebiarin diri kita diatur sama hati kita, tapi kita yang harusnya ngendaliin hati kita. Kan anti pernah bilang Muslimah tangguh nggak boleh baper!” Aisyah adalah sahabat terbaikku, tolong jaga persahabatan kami agar terus bertahan sampai jannahMu Ya Allah.

***

Tepat pukul 02.00 alarm ku berbunyi dan aku langsung pergi ke kamar mandi untuk berwudhu’ dan melaksakan sholat tahajjud, aku bercerita kepada Allah. Ya Allah, ana pengen cinta ana seindah kisah Fatimah. Yang tidak mengumbar cintanya. Fatimah menyimpan cinta itu dalam diam. Hanya Engkau yang Fatimah jadikan tempat untuk berkeluh kesah tentang cintanya. Hingga akhirnya Engkau mempersatukannya dengan Ali. Ana pengen mendapatkan cinta suci seperti itu. Ana memang tidak sesalehah Fatimah yang dengan beraninya membela sang ayahanda dalam menyebarkan agamaMu. Namun, ana berharap Engkau mengirimkan ana, seseorang yang memiliki sifat seperti Sayyidina Ali, pada waktunya nanti.

Hari ini adalah langkah awal untuk ku memulai kembali semuanya, meluruskan niat, dan menata serta menjaga hatiku. “Syaikhah ! tunggu ana.” Aisyah berlari mengejarku “Kenapa sih Ai?” “Kebiasaannya ninggalin ana mulu,” ucapnya dengan nafas yang terengah-engah “Ya maaf Ai, anti sih lama banget.” “Kan..” “Udah-udah berhenti masih pagi ana males debat. Iya ana yang salah.” “Nah, itu bener. O ya kuat kan Kah entar di kelas ketemu Haidar sama Nafisa ?” “Selow Ai, ana kan strong!” sebenarnya ana ragu Ai tapi insyaallah ana kuat, tenang ada Allah.

“Ikah, ana pergi dulu ya, ana lupa kalo hari ini giliran ana piket ! semangat !” ucap Aisyah sambil berlari menuju kelas. Aku pun segera menuju kelas menyusul Aisyah yang sudah lari duluan, namun langkah ku terhenti saat suara Haidar memanggil namaku. “Syaikhah !” “Iya, kenapa akhi ?” “Jadi gini Kah kata Afzam, Nafisa nggak masuk sekolah, katanya dia sakit, anti tau nggak dia sakit apa ? ” Lagi-lagi jantungku terasa seperti ditusuk oleh ribuan jarum. Luka yang sudah berusaha keras ku jahit dirobek dengan mudahnya oleh perkataan Haidar. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi namun harus ku paksakan untuk tetap tegar. “Maaf akhi ana kurang tau.” Dar ana udah nggak kuat lagi nahan rasa sakit yang berkali-kali dihujankan ke ana. Setelah itu aku langsung berlari sambil menangis meninggalkan Haidar dan dia pun kebingungan melihatku.

Saat jam istirahat Haidar datang ke bangku ku, “Ikah, maafin ana, kenapa anti tadi ninggalin ana sambil nangis ?” Ucap Haidar. Namun, aku hanya diam, dan tidak memperdulikannya. “Ikah kenapa nggak ngasi tau ana, kalo anti kayak gini, gimana ana bisa ngerti.” “Akhi, hati perempuan itu kayak air. Terlalu sulit buat digenggam. Untuk tau akhi harus berani menyelam, cari apa yang paling dia inginkan dan apa yang nggak dia sukai. Disana semua disimpan. Karena nggak semua perempuan mau numpahkan masalah mereka, sesekali mereka bakalan simpan sendiri di dasar terdalam. Dan saat itu terjadi, akhi harus menyelam kedalamnya buat nyari dan ngebuang beban itu. Assalamualaikum.” Ucapku dengan nada tegas, lalu langsung pergi dari kelas. Sejak kejadian itu aku jarang berinteraksi lagi dengan Haidar. Kami hanya berbicara jika ada hal-hal penting saja, tentang tugas sekolah, kelas, organisasi, dan hal lainnya yang memang penting dan mengharuskan kami untuk berbicara. Hal ini memang susah, tapi ini harus aku lakukan agar aku bisa cepat melupakannya.

***

Malam ini aku dan Aisyah duduk di depan asrama, aku melihat Haidar yang tengah dijenguk orang tuanya, dan aku merasa sedih karna itu membuatku semakin rindu dengan kedua orang tuaku. Aisyah disampingku, sedang sibuk dengan buku diary silver kesayangannya.   Aku pun mengalihkan pandanganku pada langit,  menatap langit malam dengan taburan bintang-bintang.  “Waktu itu cepet banget ya Ai. 10 tahun lalu ana kayak gini dengan umi dan abi, natap langit dengan taburan bintang. Kemarin juga kita disini berempat. Kalau aja dulu ana itu lebih kuat pasti ana bisa nyelamatin umi sama abi. Kalau aja kemaren ana bisa nahan rasa sakit karena Haidar, mungkin sampai sekarang ana masih bisa ngehitung bintang dengan umi, abi, dia, anti, afzam, berenam.” Aku tidak melanjutkan kalimatku, tenggorokanku tersekat. Sekuat mungkin ku tahan air mata yang akan turun. Di luar dugaan, Aisyah bangkit dari posisinya, lalu telapak tangannya menutupi mataku. Lembut, suara Aisyah terdengar diantara hening malam. “Kalau ngeliat langit malam buat Ikah ngerasa sakit, jangan diliat.” Aisyah menghela nafas sejenak, sebelum kembali berujar. “Ana tau Ikah suka liat langit malam. Tapi, kadang apa yang paling kita cintailah yang melukai paling dalam. Ikah udah cukup kesakitan selama ini, Ikah butuh istirahat.” Kalimat Aisyah membuat tenggorokanku tersekat. Ada gumpalan yang terjebak di kerongkonganku. Aku benci mengakuinya, tetapi Aisyah benar. Sakit selalu menghantam tiap kali mataku jatuh pada langit malam. “Menyimpan rasa sakit sendirian itu bikin capek, tapi lebih capek lagi kalau pura-pura baik-baik saja.” Tepat setelah Aisyah mengucapkan kalimat yang terakhir, setetes air mata luruh dari sudut mataku. Air mata keduaku yang disaksikan orang lain, setelah lebih dari 10 tahun aku menangis sendirian, sejak kepergian ayah dan ibuku ke syurga. Ya Aisyah adalah satu-satu orang yang mengetahui bahwa orang tuaku telah pergi, sejak kepergian mereka bibi dan paman lah yang menemaniku. Malam ini, untuk kali pertama, ada orang yang  mendengarkan kisahku. Mengerti kelelahanku, tetapi tidak lantas memintaku menjadi pribadi yang kokoh. Malam ini, untuk kali pertama, aku membagi lukaku secara utuh. Aku membiarkan seseorang melihat kekalahanku atas masa lalu. Merekam segala bentuk kerapuhanku. Aisyah melakukannya, tanpa kata-kata, hanya diwakilkan oleh air mata.

***

Sore ini aku sudah berjanji dengan Afzam, Haidar, dan Nafisa untuk mengerjakan laporan biologi di sekolah. Saat tiba di sekolah hanya ada Afzam yang tengah duduk di bangku taman. “ Assalamualaikum, Zam Nafisa sama Haidar mana ?” Tanyaku pada Afzam. “Waalaikumsalam, mereka lagi belanja buat keperluan acara OSIS minggu depan, mungkin baliknya masih lama.” “Oh ya udah kalo gitu, kita kerjain aja dulu berdua.” Jawabku “Afwan ya Kah, mungkin kalo ponsel ana nggak lowbatt mungkin anti nggak perlu denger ini.” Mendengar kalimat Afzam aku bingung “Maksudnya ?” Afzam tertawa renyah. “Ikah, ana bisa ngeliat, cara anti natap Haidar itu bukan sebagai sahabat.” Aku tersenyum miris, “Tapi Haidar nggak liat.” “Karena memang kadang semenyedihkan itu saat kita jatuh cinta sama seseorang. Semua orang mungkin bisa sadar, kecuali orang yang kita jatuhi cinta.” “Kadang antum puitis juga ya Zam ?” gumamanku dibalas Afzam dengan senyum manis.

Saat kami mengerjakan laporan, Afzam sempat ragu, tetapi akhirnya memberanikan diri bertanya. “Ikah, anti nggak mau coba nyatain perasaan anti ke Haidar ?” mendengar itu aku terdiam sesaat, menghela napas lelah. “Nggak Zam, ana kan perempuan.” “Kenapa ? Sayyidatina Khodijah perempuan tapi beliau yang lebih dulu menyatakan cintanya kepada Rasululloh.” “Ana nggak bisa seperti Sayyidatina Khodijah yang dengan berani menyatakan cintanya kepada Rasulullah.” “Kenapa ? anti kan perempuan yang tangguh, menurut ana.” tanya Afzam lagi. Aku menoleh, mengembangkan sedikit senyumnya, lantas berujar dengan gamang. “Ana nggak setangguh Sayyidatina Khodijah Zam, kalau ana nyatain perasaan ana, keadaan diantara kami mungkin berubah. Haidar mungkin bakalan jaga jarak, dan ana belum siap untuk kehilangan.” Aku berhenti berujar sebentar, menggantungkan kalimat demi menemukan oksigen bersih untuk melepas sesak. “Saat ini, dia sedang jatuh cinta. Walaupun ana nggak berharap dia bakal ngerasain sakit, tapi sejauh yang ana tau, jatuh cinta selalu berpasangan dengan patah hati. ana nggak mau ketika dia patah hati nanti dia nggak punya siapa pun untuk lari. Ana nggak mau dia sedih sendirian. Maka dari itu, ana ada. Kalaupun ana nggak bisa ngebahagiain dia, ana berharap ana bisa jadi tempat dia lari setiap kali dia jatuh.” Afzam menggigit bibir bawahnya, sedikit perih tiba-tiba menyebar di dadanya. Dia pikir, perasaan sukanya hanya sebatas kagum. Namun, ketika mata cokelat ku meredup, ada gumpalan yang terjebak dalam kerongkongannya. Afzam menyadari kekalahannya atas sebuah bayangan, dan aku bisa melihatnya, tapi aku berpura-pusa biasa saja. “Sekalipun anti cuma jadi sahabat Haidar selamanya ?” ujarnya lagi. Aku terdiam sebelum mengangguk yakin. “Meskipun ana hanya sebatas sahabat buat Haidar, selamanya. Karena cinta itu bukan gini (aku menggenggam tanganku) tapi gini (membuka genggamanku), kalo terlalu kita genggam itu bukan cinta tapi nafsu, cinta itu ikhlas, biarin dia bebas untuk bahagia walaupun bukan kita yang jadi alasan buat dia bahagia. Ikhlasin aja. ” ucapku diiringi senyum. Maafin ana Zam, ana tau perasaan antum ke ana.

***

Tak terasa akhirnya 356 hari telah berlalu, dan tibalah hari dimana kami semua harus berpisah dan pergi untuk mengejar mimpi masing-masing. Aku terdiam di sudut panggung depan pintu kelas menatap teman-temanku, aku bertanya-tanya di dalam hatiku, bisakah kita bertemu lagi ? bagaimana wajah kita nanti ? dan banyak lagi pertanyaan yang berputar di hatiku, sampai tiba-tiba suara seseorang mengejutkanku. “Adek !” Aku selalu menjadi orang pertama yang Haidar cari, kala dia senang ataupun sedih. Matanya berkilat-kilat, ada kebahagiaan yang terpancar jelas di sana.

“Ikah ana udah ngungkapin perasaan ana ke Nafisa !”

Deg

Dalam sedetik aku merasa jantungku berhenti berdetak. Langit seolah runtuh diatas kepalaku. Hancur. Haidar tidak menyadari sepucat apa wajahku, aku berpegangan pada bingkai pintu, berusaha menopang tubuhku sendiri. Ada sesuatu yang diambil paksa dari diriku. Menghantam-hantam dadaku. Merampas seluruh oksigenku. Dan, “sesuatu” tersebut, orang panggil sebagai harapan.   

“Terus..terus kata Nafisa apa bang ?” tanyaku antusias dengan senyuman yang kuukir sebahagia mungkin. “Ternyata perasaan dia ke ana juga sama seperti ana ke dia Kah.” Jawab Haidar dengan wajah yang berseri. “Selamat ya Abang ! semoga bisa sampai Jannah.” “Iya dek, amiin.”

Setelah acara perpisahan selesai, ada suara memanggilku, “Syaikhah, adek.” Ucap orang itu, “Iya Abang.” Jawabku “Ana mau ngomong sesuatu sama Ikah.” “Ya, ngomong aja.” “Ana minta maaf  Dek, kalau ana selama ini ana belum bisa jadi abang ya baik.” “Iya abang, ana juga minta maaf ya !” “Semoga semua mimpi Ikah tercapai ya! pokoknya besok kalo kita ketemu lagi di depan nama anti harus udah ada huruf ‘d’ sama ‘r’ ya Kah. Jaga hafalan anti baik-baik dan jangan pernah berhenti ngafal sampek anti selesain tiga puluh juz.Tetep jaga hati. Kalo ada apa-apa jangan sungkan, Ana uhibbuki fillah. Anti bakanal selamanya jadi adek ana, kita sodara. Dan Ikah selalu ada dalam hati dan doa ana.” Tubuhku membeku, jantungku berdesir kencang, waktu ini terasa terhenti seketika. Butiran-butiran hujan turun membasahi pipiku, aku tidak tau mau berkata apa lagi. “Syaikhah ? kenapa nangis ?” aku hanya menggelengkan kepalaku sambil tersenyum, “Ana nggakpapa akhi, ana bersyukur banget sama Allah karena mengirimkan abang kayak akhi.” Jawabku, butiran-butiran hujan kembali membasahi pipiku dengan deras.

Dalam perjalanan ke kampung halamanku di pulau dewata aku ditemani oleh rasa rindu dan sakit atas apa yang telah terjadi beberapa ribu detik yang lalu. Aku mengambil buku coklat yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi dan mulai menggoresnya dengan tinta warna-warni untuk mewakilkan perasaanku saat ini.

Satu hari di 2021 (perpisahan)

Bolehkah ana bertanya pada waktu, kapan akhi akan menyadari perasaan ana?Bolehkah ana bertanya pada rindu, apa akhi juga merasakannya? ana berjuang sendiri di tengah sepi. Tanpa ada seorang pun yang menyadari, mungkin hanya denyut nadi dan degupan jantung yang mengerti. Ditambah keheningan malam yang selalu menemani. Menunggu di tengah sunyi. Sulit ana mengerti. Kenapa perasaan semacam ini datang menghampiri? Ana cari alasan, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Ana terus menunggu tanpa kepastian. Menunggu dengan beralaskan luka, bermandikan air mata. Pertanyaan ana hanya satu, kapan akhi peka ?

Alam menjadikan kita sebagai abang dan adek, sebagai sodara, sebagai sahabat. Mungkin menurut akhi ini biasa, tapi menurut ana ini adalah sebuah anugrah yang luar biasa. Akhi tau, nggak ada persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan. Hanya kata-kata  saja ‘bersahabat’ tapi perasaan nggak. Ana, akhi, Azfam realitanya sebagai bukti dari itu semua. Ana tau tentang akhi dan perasaan akhi. Ana benar-benar sayang akhi. Tapi semakin ana sayang ana semakin sakit dan bimbang dengan perasaan ana, dan benar Allah nggak nempatin ana buat akhi sebagai yang lain, kecuali adik bagi akhi. Karna Allah udah ngirim Nafisa buat akhi. Ana minta maaf karna udah berharap lebih atas perhatian yang akhi kasi. Hati ana udah dibolak-balik dan ana nggak punya kuasa buat ngubah itu dengan sesuka ana, karna ana bukanlah pemilik sebenarnya.

***

             Di sebuah taman di pulau dewata, aku duduk disalah satu kursi taman dengan sebuah buku coklat di tanganku, dan segerombolan pulpen warna-warni, seperti yang selalu dibawa Haidar dulu. Jari jemariku mulai mengukir huruf demi huruf yang ada di hatiku sore ini.

            12 februari 2023 (kedua puluh kalinya tanggal ini terulang)

Setiap tanggal ini muncul ana semakin sakit karena ana semakin mengingat dan merindukan antum Dar. Ana ngebiarin sesuatu yang seharusnya nggak usah ada. Ana ngebiarin itu semua tumbuh. Ana ngebiarin itu semua ngalir. Dan ana selalu berusaha mempertahanin itu semua, tapi waktu yang ana punya menghartarkan ana kepada sesuatu yang berbeda. Ana milih buat mempertahanin sesuatu yang lain, walaupun ana sendiri yang kesakitan. Ana seperti ombak yang terlihat kuat, namun rapuh saat bertemu tepian. Ana jaga perasaan orang lain sampai ana lupa perasaan ana sendiri. Tapi ana tau dibalik semua itu ada sesuatu istimewa yang nggak pernah kita bayangkan sedang menunggu.

Ana nggak bisa nyalahin apapun. Karena hidup adalah perjalanan, dan dalam perjalanan kita pasti akan sering meninggalkan atau ditinggal dan ana nggak mau keduanya, tapi ia hanya bisa terus berputar, perjalan, mempertemukan, dan memisahkan. Dan ana hanya bisa berharap untuk dipertemukan kembali, walau persentasenya hanya sedikit. Menunggu tapi tak ditunggu. Bertahan tapi tak ditahan, itulah yang ana rasakan sampai detik ini.

 

 

 

 

Postingan populer dari blog ini

Teks Ceramah

 A. Definisi dan Ciri-Ciri Ceramah     1. Definisi Ceramah          Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ceramah adalah pidato oleh seseorang di hadapan banyak pendengar mengenai suatu hal atau pengetahuan. Ceramah juga berarti penuturan bahan pembelajaran secara lisan. Ceramah merupakan pidato yang bertujuan untuk memberikan nasihat dan petunjuk mengenai suatu permasalahan kepada audiensi yang bertindak sebagai pendengar. Secara umum, ceramah mempunyai pengertian tentang suatu kegiatan berbicara di depan umum dalam situasi tertentu untuk tujuan tertentu dan kepada pendengar tertentu.         Pada dasarnya, pidato, ceramah, dan khotbah memiliki persamaan, yakni pengungkapan pikiran di hadapan banyak orang. Namun, dalam pelaksanaannya, antara pidato, ceramah, dan khotbah memiliki perbedaan. Pidato sering kita ikuti dalam acara-acara resmi, misalnya seminar, rafat pleno,. Ceramah diadakan untuk acara-acara tert...

Teks Laporah Hasil Observasi

            Sebuah laporan hasil observasi dapat disajikan dalam bentuk teks tertulis maupun teks lisan. Kamu sering melakukan observasi atau pengamatan, tetapi belum memahami cara menyusun teks laporannya dengan baik. Untuk itu, kamu perlu memerhatikan penyusunan laporan hasil observasi yang kamu dengar atau kamu baca dari media televisi, koran, majalah, atau internet. A. Pengertian, Ciri-Ciri, Sifat, dan Contoh Teks Laporan Hasil Observasi 1. Pengertian Teks Laporan Hasil Observasi          Teks laporan hasil observasi adalah teks yang berisi penjabaran umum mengenai sesuatu yang didasarkan pada hasil kegiatan observasi/pengamatan. Kegiatan observasi merupakan kegiatan pengumpulan data atau informasi melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat di lapangan atau lokasi. 2. Ciri-Ciri Teks Laporan Hasil Observasi     Teks laporan hasil observasi memiliki ciri-ciri yang membedakann...

ANEKDOT

A. Definisi. Ciri, dan Jenis Anekdot   1. Definisi Teks Anekdot     Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau orang terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Orang-orang penting yang diceritakan dalam anekdot bermacam-macam, seperti tokoh politik, sosial, dan agama.  Sementara itu, peristiwa yang diceritakan dalam anekdot merupakan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun seiring perkembangan zaman anekdot juga digunakan untuk menceritakan tokoh dan peristiwa fiktif.     Anekdot mengandung humor. Humor dalam anekdot dibentuk dengan kelucuan atau kekonyolan tokoh. Tindakan ataupun ucapan tokoh menimbulkan humor karena adanya peristiwa ganjil yang mendasarinya. Humor juga dapat diciptakan melalui permainan kata, makna, ataupun pelesetan terhadap suatu kata ataupun frasa.     Humor dalam anekdot bukan hanya bersifat menghibur. Bia...