Langsung ke konten utama

Taman Bunga


Aku berdiri di depan jendela ruang rawat Omah. Menatap kosong halaman rumah sakit yang basah. Sore ini hujan turun deras sekali. Tadi siang, Paman menjemputku menuju rumah sakit. Ayah dan Bunda sedang ada urusan penting di kantor. Paman pulang sebentar. Aku duduk di samping ranjang Omah yang sedang tertidur.

Hari ini, hari Jum’at, hari menjenguk Omah. Aku tidak tahu mengapa hari ini terasa begitu berbeda dari biasanya. Hujan yang begitu deras, Paman yang pulang karena Bibi tiba-tiba menyuruhnya pulang, serta Ayah dan Bunda yang tak kunjung datang kemari. Aku memiliki firasat buruk tentang ini. Akan tetapi, ada kabar baik untuk sore ini. Omah sudah bisa menggunakan kedua kakinya untuk berjalan, walaupun masih harus berpegangan. Sekarang Omah tertidur lelap setelah berlatih berjalan sepanjang siang.

Pukul 19.00. Malam sudah beranjak naik. Hujan turun semakin deras. Paman datang membawa roti dan buah-buahan. Omah masih lelap dalam tidurnya yang tenang. Ayah dan Bunda tak kunjung datang. Aku menelpon Ayah. Tidak ada jawaban. Aku menelpon Bunda.

Tut…tut…tut….

“Assalamu’alaikum, sayang. Ada apa? Ayah dan Bunda sedang menuju ke rumah sakit.” Bunda menjawab telpon dengan suaranya yang lembut.

“Wa’alaikumussalam. Sejak siang Dahlia menunggu Ayah dan Bunda datang. Kenapa Ayah tidak menjawab telpon Dahlia?” Aku bertanya dengan nada kesal.

“Ayah sedang menyetir, sayang. Sebentar lagi sampai.” Ayah yang menjawab.

“Ya sudah. Sebentar lagi Ayah dan Bunda sampai. Dahlia jagain Omah dulu, ya?” Bunda mencoba bernegosiasi. Baiklah, aku akan menurut.

“Baik, Bunda.” Aku berusaha tersenyum, walaupun Ayah dan Bunda tidak dapat melihatnya.

“Bunda tutup dulu tel- Ayah! Awas!” Bunda berteriak parau.

Braakk!!!

“Ayah! Bunda! Ada apa?!” Aku berteriak kalap. Telponku terputus. Aku cemas. Tubuhku yang lemas terduduk di atas lantai yang dingin. Napasku menderu kencang.

Paman yang mendengar pembicaraanku dengan Bunda langsung menarik tanganku dan membawaku menuju mobil. Kami menyusuri jalan menuju rumahku. Paman terlihat sangat tegang dan cemas. Keringatnya mengucur deras. Aku juga sangat cemas. Takut dengan segala kemungkinan.

Aku terkejut. Menjerit tanpa suara. Aku segera keluar dari mobil. Menyibak kerumunan orang yang penasaran. Aku menemukan Ayah dan Bunda. Memeluk mereka. Memanggil Paman dengan tangisan yang memilukan. Paman membawa Ayah dan Bunda masuk ke dalam mobil dengan bantuan orang sekitar. Aku masuk ke dalam mobil dan menopang tubuh kedua orang tuaku yang tak sadarkan diri. Berusaha menghentikan darah yang mengalir dari kepala kedua orang tuaku.

Ayah dan Bunda langsung dibawa ke Unit Gawat Darurat rumah sakit tempat Omah dirawat. Aku berlarian menyusul mereka dengan pakaian yang bersimbah darah. Langkahku terhenti di depan pintu UGD. Paman menahan tanganku yang hendak membuka pintu. Paman menyuruhku duduk di kursi tunggu. Keberadaan kami tidak diizinkan barada di dalam.

Hening. Hanya hening yang tersisa. Dengan semua prasangka buruk yang memenuhi kepalaku. Empat jam yang menegangkan berlalu. Malam semakin larut. Hujan turun lebih deras. Ketegangan ini seakan menusukku. Pintu UGD tak kunjung dibuka. Paman sudah beberapa kali menawarkan makanan dan baju ganti. Aku hanya bisa menggeleng lemas. Nafsu makanku hilang tak bersisa. Aku hanya menatap kosong ke lantai lorong rumah sakit. Beberapa kali air mataku mengalir tanpa bisa kucegah.

Ceklek!

Kepalaku langsung menoleh ke sumber suara. Dokter keluar dari ruangan tempat Ayah dan Bunda. Menatap prihatin ke arahku. Ia berbisik kepada Paman. Aku bisa mendengarnya sayup-sayup. Bahwa…. Bahwa Ayah dan Bunda telah tiada. Aku berdiri dan langsung merangsek masuk ke UGD. Aku melihat Ayah dan Bunda yang terbujur kaku. Aku memeluk tubuh Bunda. Dingin. Tidak ada kehidupan di dalamnya. Begitu pula Ayah. Bibirnya biru. Darah telah mengering dan luka telah dibersihkan.

Aku terduduk di atas lantai yang dingin menusuk tulang. Aku menangis. Meraung marah memanggil Ayah dan Bunda. Paman datang dan memelukku dari belakang. Berusaha menenangkanku yang mulai memberontak.

“Dahlia…. Dahlia, sayang. Kita memang sangat sayang kepada Ayah dan Bunda. Akan tetapi, Allah lebih sayang kepada mereka. Allah menginginkan Ayah dan Bunda kembali lebih cepat dari kita. Allah menginginkan Ayah dan Bunda merasa bahagia lebih cepat. Sekarang, Ayah dan Bunda pasti merasa bahagia di surga sana. Mereka akan sedih jika melihatmu seperti ini. Kita harus ikhlas, Dahlia. Harus ikhlas.” Paman memelukku lebih erat.

Aku semakin terisak. Isakan yang memilukan. Aku tak sanggup lagi menopang tubuh ini. Paman merengkuh tubuhku yang ringkih. Ia membawaku menuju ruang rawat Omah. Membaringkan tubuhku yang terisak di atas sofa. Omah yang terbangun, bertanya-tanya apa yang terjadi. Paman menjelaskannya dengan singkat. Omah menangis. Kehilangan untuk kedua dan ketiga kalinya.

Demi melihatku yang terisak, Omah berjalan mendekatiku walau harus berpegangan pada ranjang. Omah memelukku. Pelukan yang hangat dan penuh kasih sayang dari orang yang sudah sepuh. Omah menangis bersamaku.

“Dahlia, kau anak yang kuat. Kau harus menerima kepergian Ayah dan Bundamu. Aku juga harus menerima kepergian anak dan menantuku. Kita harus kuat, Dahlia. Harus.” Omah mencium keningku.

Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Air mataku telah mengering. Tak bisa menangis lagi. Hanya menatap kosong lantai ruang rawat Omah. Paman sibuk menelpon banyak orang. Memberitahukan kematian kedua orang tuaku. Omah juga sama denganku. Menatap kosong ke arah jendela. Aku lelah dengan semua ini. Jatuh tertidur di atas sofa yang empuk.

Aku terbangun ketika Bibi datang. Kabut menggelayut di dedaunan. Masih terlalu pagi untuk bangun. Aku berusaha tidur lagi. Akan tetapi, Bibi memaksaku untuk bangun dan shalat. Aku tidak memiliki tenaga untuk melawan. Baiklah, aku akan menurut. Aku mengganti baju dan shalat di ruang rawat Omah. Ayah dan Bunda akan dimakamkan pagi ini.  Bibi menyuruhku untuk bersiap.

Setelah memakai pakaian serba hitam, aku, Paman, dan Bibi mengantar Ayah dan Bunda menuju tempat peristirahatan terakhir. Omah tidak diizinkan untuk keluar dari rumah sakit. Banyak kolega dan teman Ayah yang datang. Begitu pula dengan sahabat Bunda. Mereka mendatangiku dan mengatakan bahwa mereka turut berduka cita. Aku muak dengan semua ini. Aku berlari ke taman bunga di sebelah pemakaman. Aku meluapkan segalanya disana. Menangis tanpa suara. Memeluk lutut dan membenamkan kepalaku di atasnya.

Aku rindu Ayah dan Bunda. Ayah dan Bunda akan membawaku ke pantai akhir pekan ini. Akan tetapi, rencana itu tak akan pernah terwujud. Aku tidak peduli lagi. Aku tidak mau lagi ke pantai. Aku hanya mau Ayah dan Bundaku kembali. Aku semakin terisak. Perasaan ini seakan menusukku dengan pisau yang baru saja dipanaskan. Sakit. Sangat sakit.

Ada seorang anak perempuan yang datang kepadaku. Memelukku erat. Menyuruhku mengeluarkan segala kesedihan dan sesak di dada. Aku terisak di dalam pelukannya. Dia seakan-akan mengerti dengan apa yang terjadi padaku. Aku mencoba menenangkan diri dengan menahan air mataku untuk tumpah. Akan tetapi, semakin kutahan, semakin sesak dada ini, semakin ingin aku menangis. Dia yang memahami perasaanku, menyuruhku untuk tidak menahannya, membiarkannya keluar dengan damai. Aku merasa lega. Sudah kukeluarkan seluruh sesak di dalam pelukannya.

“Siapa kau? Mengapa kau melakukan hal ini untukku?” Aku memberanikan diri untuk bertanya. Tatapan heranku dibalas dengan senyuman hangat darinya.

“Namaku Fathia. Aku tinggal di dekat sini. Aku tidak sengaja lewat dan melihat diriku sendiri lima tahun yang lalu. Ya. Aku dulu juga sama seperti dirimu.” Ia tersenyum lembut kepadaku. Duduk memeluk lutut di sebelahku. Ia menghela napas panjang. Mulai bercerita.

“Aku lahir dengan anggota badan yang lengkap dan keluarga kecil yang bahagia. Hingga aku berusia sepuluh tahun, kejadian itu menimpa keluarga kecil kami. Ayahku dibunuh, karena ia adalah orang yang sangat jujur. Hanya karena ia melaporkan orang yang memang seharusnya mendapat hukuman.” Gadis itu tertawa getir. Memeluk lutut semakin erat. Aku mendengarkan dengan seksama.

“Ibuku yang terlalu mencintai Ayah tak bisa menerima kenyataan. Tak mau berdamai dengan takdir. Ia mengalami depresi berat. Hingga di usiaku yang kesebelas, Ibu bunuh diri di hadapanku. Aku berlari ke taman ini. Menangis sekencang-kencangnya. Sudah resmi aku menjadi seorang yatim piatu. Tanpa orang tua, tanpa keluarga. Tiba-tiba, seorang gadis yang sepuluh tahun lebih tua dariku datang dan memeluk erat diriku yang sedang menangis. Ia menenangkanku dan membawaku ke rumahnya. Sekarang tempat itu lebih tepat disebut sebagai panti asuhan. Aku tinggal disana hingga sekarang.” Fathia menutup kisahnya dengan senyuman yang hangat. Aku menatap tanah gembur yang kupijak. Sudah jelas bahwa aku lebih beruntung dari gadis berambut ikal yang bernama Fathia ini. Aku masih memiliki Paman, Bibi, dan Omah yang peduli padaku.

Fathia menggenggam tangan kecilku. Mengusap bekas air mataku. Memelukku erat. Seakan-akan ialah yang sedang kehilangan. Aku membalas pelukannya dan berterima kasih atas apa yang telah ia lakukan untukku. Ia pulang ke rumahnya dan aku segera kembali ke pemakaman. Paman dan Bibi menungguku dengan cemas. Khawatir atas keselamatanku. Aku Dahlia, yatim piatu pada usia enam belas tahun.

Sekarang aku tinggal bersama Paman dan Bibi. Menjenguk Omah di rumah sakit. Hidupku kembali normal seperti semula. Ternyata aku dan Fathia berada di kelas yang sama. Sejak hari itu, aku memutuskan untuk menjadi teman yang baik bagi Fathia. Waktu berlalu dengan cepat. Aku dan Fathia menjadi sangat akrab. Menjadi sahabat dekat.

Pagi ini, lima bulan setelah kematian Ayah dan Bunda. Aku berangkat sekolah dengan riang gembira. Menyenandungkan lagu kesukaanku. Karena aku tinggal di rumah Paman, aku bisa berjalan kaki ke sekolah. Aku masuk ke kelas. Membaca novel yang kemarin belum sempat kuselesaikan. Fathia datang terlambat. Ia datang ketika bel telah berbunyi lima menit yang lalu. Itu rekor terlambat perdananya. Aku menggodanya karena hal ini, tetapi ia tidak membalas godaanku. Ia mengacuhkanku dan duduk di paling belakang.

Aku heran. Apa yang terjadi? Bukannya Fathia suka bergurau? Bukannya ia tak suka duduk di belakang? Entah apa yang terjadi padanya. Nanti akan kutanyakan ketika istirahat. Aku memperhatikan gerak-gerik Fathia. Ia terlihat seperti sedang mengawasi sekitar. Terlihat seperti…. Pencuri. Ah, aku tak boleh berpikiran seperti itu. Mana mungkin Fathia akan melakukan hal menjijikkan itu.

Aku mengajak Fathia ke kantin. Ia menolak. Hmm…. Tak seperti biasanya. Aku mulai bertanya apa yang terjadi. Akan tetapi, ia menatapku tajam. Mengacuhkanku dan pergi ke luar. Ia terlihat sangat marah kepadaku. Aku tertegun melihatnya seperti itu. Tak mampu lagi menatap tatapan tajamnya yang mematikan. Aku tak bisa berkata apa-apa. Bertanya-tanya apa yang telah kulakukan hingga membuat Fathia semarah itu padaku. Aku ingin menangis. Aku takut bahwa aku telah berbuat jahat pada Fathia. Fathia juga tak kunjung kembali. Aku khawatir dengan semua hal ini. Aku memutuskan untuk mencari Fathia.

Aku mencari Fathia ke kantin, perpustakaan, mushalla, ruang guru, dan semua tempat yang biasa didatangi oleh Fathia. Akan tetapi, Fathia tak ada dimanapun. Aku khawatir. Mulai mencari di setiap kelas. Aku menyerah dan kembali ke kelasku. Aku mendapati Fathia telah duduk manis di belakang. Aku menyapanya, tetapi ia masih mengacuhkanku. Aku menyerah dan duduk di kursiku.Aku ingin mengajak Fathia pulang bersama seperti biasaya. Akan tetapi, aku tak dapat melihatnya dimanapun. Ia pergi. Tanpa aku. Aku akan datang ke rumahnya. Mungkin ia hanya tidak enak badan.

Aku sampai di halaman rumahnya. Banyak anak-anak yang bermain. Aku mengucap salam. Kak Dera. Kak Dera yang membuka pintu. Aku bertanya dimana Fathia. Akan tetapi, Kak Dera mengatakan bahwa Fathia tidak ada di rumah. Aku memberitahu Kak Dera bahwa Fathia sudah pulang dari sekolah. Jika ia tak ada disini, lalu dimana dia? Aku mulai panik. Apakah Fathia hilang? Apakah ia diculik? Kak Dera menenangkanku. Mengatakan bahwa Fathia pasti baik-baik saja. Aku pulang ke rumah dengan hati gelisah.

Siang berganti malam. Sinar bulan tak mampu menembus awan yang tebal. Ya. Malam ini mendung. Tetesan air telah keluar dari induknya yang perkasa. Aku menelpon Fathia. Aku masih khawatir. Apakah ia baik-baik saja? Tidak ada jawaban. Aku menelpon hingga berkali-kali. Tetap tidak ada jawaban. Apakah telepon genggamnya mati? Kehabisan baterai? Aku mencoba berpikir positif. Aku mencoba menelpon Kak Dera. Mungkin Kak Dera tahu bagaimana keadaan Fathia.

Tut....tut....tut

“Assalamu’alaikum, ini siapa?” Suara khas Kak Dera terdengar lembut.

“Ini Dahlia, Kak. Dahlia mau tanya, apakah Fathia sudah pulang?” aku mencoba bertanya setenang mungkin.

“Kak Dera tidak tahu, Dahlia. Kak Dera tidak sedang di rumah” Kak Dera menghela napas prihatin.

“Sebelum Kak Dera pergi, apa Kak Dera tahu, dimana Fathia” Aku mencoba menggali segala informasi yang memungkinkan.

“Kak Dera langsung pergi setelah Dahlia pergi. Kak Dera akan coba telpon rumah, ya” Kak Dera mulai menelpon.

“Dahlia, Fathia belum pulang. Itu yang dikatakan Sari.” Suara Kak Dera mulai terdengar cemas.

“Lalu, bagaimana Kak? Apa perlu kita lapor polisi?” Aku mulai khawatir. Mencoba memberi solusi.

“Tidak bisa, Dahlia. Belum dua puluh empat jam. Nanti Kak Dera suruh Pak Sahwan untuk mencari Fathia, ya?” Kak Dera juga berusaha memberi solusi yang logis.

“Baik, Kak. Kabari Dahlia, ya.” Aku mencoba berpikir positif.

“Oke, Dahlia. Kakak tutup telponnya, ya. Assalamu’alaikum.” Kak Dera menutup telpon.

Setelah menutup telpon, aku duduk di atas sofa yang empuk. Menunggu kabar dari Kak Dera. Malam semakin larut. Kak Dera tak juga memberi kabar. Aku tak tahan lagi. Aku sangat khawatir. Aku mencoba menelpon Kak Dera lagi.

“Assalamu’alaikum, Dahlia. Fathia masih belum ada kabar. Pak Sahwan sudah mencari kemana-mana, tetapi tidak ketemu. Bagaimana ini, Dahlia?” Suara Kak Dera terdengar sangat cemas. Berusaha menahan air matanya tumpah.

“Kak Dera tidak usah cemas. Dahlia akan pergi bersama Paman untuk mencari Fathia. Kak Dera tenang, ya. Dahlia berangkat, Kak. Assalamu’alaikum.” Aku menutup telpon. Memanggil Paman yang hampir terlelap. Mengenakan jaket dan masuk ke dalam mobil.

Aku pergi ke rumah Kak Dera. Aku dan Paman berpencar. Paman mencari ke kota dan aku mencari di lingkungan sekitar rumah Kak Dera. Aku mencari ke rumah tetangga. Tidak ada. Aku mencari ke mushalla desa. Tidak ada. Malam semakin larut. Aku tetap mencari hingga rumah kepala desa. Tidak ada. Kaki kecilku mulai kelelahan.

Aku berada di depan pemakaman. Tempat Ayah dan Bunda dimakamkan. Aku berpikir untuk masuk ke dalam. Tiba-tiba, ada suara tangis dari sebelah pemakaman. Bulu kudukku berdiri. Aku memberanikan diri. Mulai mendekati asal suara. Taman bunga. Suara itu berasal dari taman bunga tempat dulu aku melampiaskan seluruh kesedihanku. Tempat aku bertemu dengan Fathia. Tempat aku berdamai dengan takdir.

Aku sudah sangat dekat dengan asal suara itu. Jantungku berdegup kencang. Tepat di belakang kumpulan bunga matahari. Aku dapat melihat rambut hitam legamnya. Aku menyingkap kumpulan bunga matahari yang menutupi. Aku menutup mataku. Pasrah atas apa yang akan aku hadapi.

Fathia. Fathia yang sedang menangis terisak di balik kumpulan bunga matahari. Aku langsung memeluknya. Menenangkannya. Sepertinya Fathia tidak sanggup lagi menopang tubuhnya. Aku mengantar Fathia pulang ke rumah. Aku tak sanggup membebankannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalaku. Aku menelpon Paman dan Kak Dera. Mengabarkan Fathia sudah tidur lelap di kamarnya. Aku pulang dengan pikiran yang dipenuhi dengan tanda tanya.

Esok harinya, sekolahku ribut mengenai pencurian sepeda dan barang-barang lainnya. Mereka mengatakan bahwa pencurinya telah ditangkap. Aku tidak terlalu tertarik akan hal itu. Aku hanya memikirkan dimana Fathia. Tak terlihat batang hidungnya. Hanya tas dengan isi yang berserakan berada di atas mejanya.

“Dahlia! Kurasa kau harus segera ke ruang BK! Kau harus cepat!” Salah satu teman kelasku memanggilku dengan wajah pucat.

“Ada apa? Mengapa aku harus kesana? Apa aku telah berbuat salah?” Aku bertanya dengan nada kesal.

“Kau tidak berbuat salah, Dahlia. Ini soal…. Fathia!” Aku terkejut. Berlari kencang menuju ruang BK.

Benar saja. Fathia dengan wajah dipenuhi lebam sedang diinterogasi di ruang BK. Aku merangsek masuk. Memeluk Fathia seerat mungkin. Tak membiarkannya lari lagi. Tak mempedulikan orang-orang yang menonton penasaran.

“Fathia, kau akan baik-baik saja. Aku akan menjadi pelindungmu.” Aku memeluk Fathia semakin erat. Fathia diam membisu. Ia tidak berusaha melepaskan pelukanku. Titik bening keluar dari mata hitam menawannya.

“Dahlia, lepaskan Fathia, nak. Kami harus mengetahui kebenarannya. Agar Fathia mendapat hukuman setimpal.” Salah seorang guru mencoba melepaskan pelukanku kepada Fathia. Ia mencoba memisahkan kami. Tak akan kuizinkan. Aku memeluk Fathia lebih erat lagi.

“Dahlia, lepaskan. Aku akan menjelaskan semua perkara ini.” Fathia melepaskan pelukanku dengan mudahnya. Aku tertegun. Tak sanggup berkomentar lagi.

“Baiklah, aku akan menjelaskannya. Aku memang pencurinya.” Aku yang terkejut menutup mulutku dengan kedua tangan. Fathia menghela napas panjang.

“Hari itu, salah satu adikku mengalami kecelakaan. Ia membutuhkan biaya yang besar untuk operasi. Aku dan Kak Dera tak memiliki uang sama sekali. Aku bingung harus melakukan apa. Aku melihat sepeda di parkiran. Baiklah, aku akan melakukan perbuatan yang sangat menjijikkan ini. Aku mengambi sepeda itu, lalu menjualnya. Akan tetapi, uang itu masih belum cukup. Aku mencuri lagi. Kalung emas teman, cincin, uang, apapun yang dapat kuambil. Kak Dera begitu senang mengetahui ada orang dermawan yang tak dikenal membayar biaya operasi. Akan tetapi, aku masih membutuhkan biaya untuk perawatannya. Aku berpikir untuk mencuri lagi. Bahkan, aku berpikir untuk mencuri gelang emas Dahlia yang diberikan oleh mendiang Bundanya. Ketika aku akan melakukannya, tiba-tiba aku tersadar. Bagaimana mungkin aku melakukan hal seperti ini? Bahkan kepada sahabat terbaikku? Aku berlari menuju taman bunga. Aku menyesali semuanya disana.” Fathia mulai terisak. Titik bening keluar dari mataku. Tak kusangka inilah yang sebenarnya terjadi. Inilah jawaban dari pertanyaan yang membuatku sesak.

“Aku telah membuat Kak Dera kecewa. Ia yang menolongku di waktu susah, malah kubalas dengan kelakuanku yang seperti ini. Aku mohon. Jangan beritahukan hal ini ke Kak Dera. Ini resmi keinginan dan keputusanku sendiri. Aku mohon, jangan libatkan Kak Dera. Ia akan kecewa. Ia akan se-“ perkataan Fathia terputus.

“Sudah pasti aku kecewa. Kau harusnya membicarakannya padaku. Bukan mengambil keputusan dengan keegoisanmu.” Kak Dera menangis memeluk Fathia.

“Maafkan aku Kak. Aku akan menebusnya.” Fathia menangis tersedu-sedu.

“Kita akan menebusnya bersama-sama.” Kak Dera mencoba tersenyum.

“Aku akan membantu. Kita akan selalu bersama.” Aku angkat bicara. Kami bertiga berpelukan. Pak guru tidak memberikan hukuman apapun dengan jaminan kami akan mengembalikan semuanya. Aku menghela napas lega. Memeluk Fathia untuk kesekian kalinya. Kami keluar dari ruang BK.

“Kenapa kau tak memberitahuku? Kau tahu, kan. Masalahmu juga masalahku.” Aku mulai bertanya.

“Aku tak ingin merepotkanmu, Dahlia. Akan tetapi, pada akhirnya, aku merepotkanmu lebih banyak lagi.” Fathia tertawa getir. Menghapus air mata yang tersisa.

“Kau tak pernah merepotkanku, Fathia. Kita ini sahabat. Tidak mungkin aku merasa direpotkan.” Fathia menangis lagi.

“Aku berusaha mengacuhkanmu agar kau tak menganggapku sahabatmu lagi. Agar kau tak terlibat. Kau sudah mengalami banyak hal berat. Akan tetapi, aku tak pernah berhasil membuatmu melupakanku.” Fathia terisak. Terduduk di atas lantai yang dingin.

“Kita akan menjadi sahabat selamanya. Aku akan bersamamu dalam susah maupun senang.” Mataku mulai berkaca-kaca. Tak sanggup lagi menahan diri.

“Aku minta maaf, Dahlia. Aku sudah mengacuhkanmu. Marah padamu.” Fathia berusaha menenangkan diri.

“Bodoh. Kau bodoh, Fathia. Aku tak pernah merasa diacuhkan olehmu. Aku selalu menyayangimu, Fathia. Jangan pernah berpikir kau sendirian. Ada aku yang selalu bersamamu. Kemanapun kau pergi, aku akan selalu datang menjadi pelindungmu.” Aku memeluk Fathia.

Kami menangis di dalam pelukan yang hangat. Berusaha menghapus masa lalu yang menusuk dada. Berusaha membangun masa depan yang lebih baik. Akan tetapi, hal yang pasti, kami akan selalu bersama selamanya. Apapun yang berusaha memisahkan, kami akan melawannya bersama. Pagi ini begitu hangat bagi siapapun yang mencoba berdamai dengan ketetapan-Nya.

 

 

Postingan populer dari blog ini

Teks Ceramah

 A. Definisi dan Ciri-Ciri Ceramah     1. Definisi Ceramah          Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ceramah adalah pidato oleh seseorang di hadapan banyak pendengar mengenai suatu hal atau pengetahuan. Ceramah juga berarti penuturan bahan pembelajaran secara lisan. Ceramah merupakan pidato yang bertujuan untuk memberikan nasihat dan petunjuk mengenai suatu permasalahan kepada audiensi yang bertindak sebagai pendengar. Secara umum, ceramah mempunyai pengertian tentang suatu kegiatan berbicara di depan umum dalam situasi tertentu untuk tujuan tertentu dan kepada pendengar tertentu.         Pada dasarnya, pidato, ceramah, dan khotbah memiliki persamaan, yakni pengungkapan pikiran di hadapan banyak orang. Namun, dalam pelaksanaannya, antara pidato, ceramah, dan khotbah memiliki perbedaan. Pidato sering kita ikuti dalam acara-acara resmi, misalnya seminar, rafat pleno,. Ceramah diadakan untuk acara-acara tert...

Teks Laporah Hasil Observasi

            Sebuah laporan hasil observasi dapat disajikan dalam bentuk teks tertulis maupun teks lisan. Kamu sering melakukan observasi atau pengamatan, tetapi belum memahami cara menyusun teks laporannya dengan baik. Untuk itu, kamu perlu memerhatikan penyusunan laporan hasil observasi yang kamu dengar atau kamu baca dari media televisi, koran, majalah, atau internet. A. Pengertian, Ciri-Ciri, Sifat, dan Contoh Teks Laporan Hasil Observasi 1. Pengertian Teks Laporan Hasil Observasi          Teks laporan hasil observasi adalah teks yang berisi penjabaran umum mengenai sesuatu yang didasarkan pada hasil kegiatan observasi/pengamatan. Kegiatan observasi merupakan kegiatan pengumpulan data atau informasi melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat di lapangan atau lokasi. 2. Ciri-Ciri Teks Laporan Hasil Observasi     Teks laporan hasil observasi memiliki ciri-ciri yang membedakann...

ANEKDOT

A. Definisi. Ciri, dan Jenis Anekdot   1. Definisi Teks Anekdot     Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau orang terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Orang-orang penting yang diceritakan dalam anekdot bermacam-macam, seperti tokoh politik, sosial, dan agama.  Sementara itu, peristiwa yang diceritakan dalam anekdot merupakan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun seiring perkembangan zaman anekdot juga digunakan untuk menceritakan tokoh dan peristiwa fiktif.     Anekdot mengandung humor. Humor dalam anekdot dibentuk dengan kelucuan atau kekonyolan tokoh. Tindakan ataupun ucapan tokoh menimbulkan humor karena adanya peristiwa ganjil yang mendasarinya. Humor juga dapat diciptakan melalui permainan kata, makna, ataupun pelesetan terhadap suatu kata ataupun frasa.     Humor dalam anekdot bukan hanya bersifat menghibur. Bia...