Aku berdiri di depan jendela ruang rawat Omah. Menatap kosong
halaman rumah sakit yang basah. Sore ini hujan turun deras sekali. Tadi siang,
Paman menjemputku menuju rumah sakit. Ayah dan Bunda sedang ada urusan penting
di kantor. Paman pulang sebentar. Aku duduk di samping ranjang Omah yang sedang
tertidur.
Hari ini, hari Jum’at, hari menjenguk Omah. Aku tidak tahu mengapa
hari ini terasa begitu berbeda dari biasanya. Hujan yang begitu deras, Paman
yang pulang karena Bibi tiba-tiba menyuruhnya pulang, serta Ayah dan Bunda yang
tak kunjung datang kemari. Aku memiliki firasat buruk tentang ini. Akan tetapi,
ada kabar baik untuk sore ini. Omah sudah bisa menggunakan
kedua kakinya untuk berjalan, walaupun masih harus berpegangan. Sekarang Omah
tertidur lelap setelah berlatih berjalan sepanjang siang.
Pukul 19.00. Malam sudah beranjak naik. Hujan turun semakin deras.
Paman datang membawa roti dan buah-buahan. Omah masih lelap dalam tidurnya yang
tenang. Ayah dan Bunda tak kunjung datang. Aku menelpon Ayah. Tidak ada
jawaban. Aku menelpon Bunda.
Tut…tut…tut….
“Assalamu’alaikum, sayang. Ada apa? Ayah dan Bunda sedang menuju ke
rumah sakit.” Bunda menjawab telpon dengan suaranya yang lembut.
“Wa’alaikumussalam. Sejak siang Dahlia menunggu Ayah dan Bunda
datang. Kenapa Ayah tidak menjawab telpon Dahlia?” Aku bertanya dengan nada
kesal.
“Ayah sedang menyetir, sayang. Sebentar lagi sampai.” Ayah yang
menjawab.
“Ya sudah. Sebentar lagi Ayah dan Bunda sampai. Dahlia jagain Omah
dulu, ya?” Bunda mencoba bernegosiasi. Baiklah, aku akan menurut.
“Baik, Bunda.” Aku berusaha tersenyum, walaupun Ayah dan Bunda
tidak dapat melihatnya.
“Bunda tutup dulu tel- Ayah! Awas!” Bunda berteriak parau.
Braakk!!!
“Ayah! Bunda! Ada apa?!” Aku berteriak kalap. Telponku terputus.
Aku cemas. Tubuhku yang lemas terduduk di atas lantai yang dingin. Napasku
menderu kencang.
Paman yang mendengar pembicaraanku dengan Bunda langsung menarik
tanganku dan membawaku menuju mobil. Kami menyusuri jalan menuju rumahku. Paman
terlihat sangat tegang dan cemas. Keringatnya mengucur deras. Aku juga sangat
cemas. Takut dengan segala kemungkinan.
Aku terkejut. Menjerit tanpa suara. Aku segera keluar dari mobil.
Menyibak kerumunan orang yang penasaran. Aku menemukan Ayah dan Bunda. Memeluk
mereka. Memanggil Paman dengan tangisan yang memilukan. Paman membawa Ayah dan
Bunda masuk ke dalam mobil dengan bantuan orang sekitar. Aku masuk ke dalam
mobil dan menopang tubuh kedua orang tuaku yang tak sadarkan diri. Berusaha
menghentikan darah yang mengalir dari kepala kedua orang tuaku.
Ayah dan Bunda langsung dibawa ke Unit Gawat Darurat rumah sakit
tempat Omah dirawat. Aku berlarian menyusul mereka dengan pakaian yang
bersimbah darah. Langkahku terhenti di depan pintu UGD. Paman menahan tanganku
yang hendak membuka pintu. Paman menyuruhku duduk di kursi tunggu. Keberadaan
kami tidak diizinkan barada di dalam.
Hening. Hanya hening yang tersisa. Dengan semua prasangka buruk
yang memenuhi kepalaku. Empat jam yang menegangkan berlalu. Malam semakin
larut. Hujan turun lebih deras. Ketegangan ini seakan menusukku. Pintu UGD tak
kunjung dibuka. Paman sudah beberapa kali menawarkan makanan dan baju ganti.
Aku hanya bisa menggeleng lemas. Nafsu makanku hilang tak bersisa. Aku hanya
menatap kosong ke lantai lorong rumah sakit. Beberapa kali air mataku mengalir
tanpa bisa kucegah.
Ceklek!
Kepalaku langsung menoleh ke sumber suara. Dokter keluar dari ruangan
tempat Ayah dan Bunda. Menatap prihatin ke arahku. Ia berbisik kepada Paman.
Aku bisa mendengarnya sayup-sayup. Bahwa…. Bahwa Ayah dan Bunda telah tiada.
Aku berdiri dan langsung merangsek masuk ke UGD. Aku melihat Ayah dan Bunda
yang terbujur kaku. Aku memeluk tubuh Bunda. Dingin. Tidak ada kehidupan di
dalamnya. Begitu pula Ayah. Bibirnya biru. Darah telah mengering dan luka telah
dibersihkan.
Aku terduduk di atas lantai yang dingin menusuk tulang. Aku
menangis. Meraung marah memanggil Ayah dan Bunda. Paman datang dan memelukku
dari belakang. Berusaha menenangkanku yang mulai memberontak.
“Dahlia…. Dahlia, sayang. Kita memang sangat sayang kepada Ayah dan Bunda. Akan tetapi,
Allah lebih sayang kepada mereka. Allah menginginkan Ayah dan Bunda kembali
lebih cepat dari kita. Allah menginginkan Ayah dan Bunda merasa bahagia lebih
cepat. Sekarang, Ayah dan Bunda pasti merasa bahagia di surga sana. Mereka akan
sedih jika melihatmu seperti ini. Kita harus ikhlas, Dahlia. Harus ikhlas.”
Paman memelukku lebih erat.
Aku semakin terisak. Isakan yang memilukan. Aku tak sanggup lagi
menopang tubuh ini. Paman merengkuh tubuhku yang ringkih. Ia membawaku menuju
ruang rawat Omah. Membaringkan tubuhku yang terisak di atas sofa. Omah yang
terbangun, bertanya-tanya apa yang terjadi. Paman menjelaskannya dengan
singkat. Omah menangis. Kehilangan untuk kedua dan ketiga kalinya.
Demi melihatku yang terisak, Omah berjalan mendekatiku walau harus
berpegangan pada ranjang. Omah memelukku. Pelukan yang hangat dan penuh kasih
sayang dari orang yang sudah sepuh. Omah menangis bersamaku.
“Dahlia, kau anak yang kuat. Kau harus menerima kepergian Ayah dan
Bundamu. Aku juga harus menerima kepergian anak dan menantuku. Kita harus kuat,
Dahlia. Harus.” Omah mencium keningku.
Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Air mataku telah mengering. Tak
bisa menangis lagi. Hanya menatap kosong lantai ruang rawat Omah. Paman sibuk
menelpon banyak orang. Memberitahukan kematian kedua orang tuaku. Omah juga
sama denganku. Menatap kosong ke arah jendela. Aku lelah dengan semua ini.
Jatuh tertidur di atas sofa yang empuk.
Aku terbangun ketika Bibi datang. Kabut menggelayut di dedaunan.
Masih terlalu pagi untuk bangun. Aku berusaha tidur lagi. Akan tetapi, Bibi
memaksaku untuk bangun dan shalat. Aku tidak memiliki tenaga untuk melawan.
Baiklah, aku akan menurut. Aku mengganti baju dan shalat di ruang rawat Omah.
Ayah dan Bunda akan dimakamkan pagi ini. Bibi menyuruhku
untuk bersiap.
Setelah memakai pakaian serba hitam, aku, Paman, dan Bibi mengantar
Ayah dan Bunda menuju tempat peristirahatan terakhir. Omah tidak diizinkan
untuk keluar dari rumah sakit. Banyak kolega dan teman Ayah yang datang. Begitu
pula dengan sahabat Bunda. Mereka mendatangiku dan mengatakan bahwa mereka
turut berduka cita. Aku muak dengan semua ini. Aku berlari ke taman bunga di
sebelah pemakaman. Aku meluapkan segalanya disana. Menangis tanpa suara.
Memeluk lutut dan membenamkan kepalaku di atasnya.
Aku rindu Ayah dan Bunda. Ayah dan Bunda akan membawaku ke pantai
akhir pekan ini. Akan tetapi, rencana itu tak akan pernah terwujud. Aku tidak peduli lagi. Aku tidak mau
lagi ke pantai. Aku
hanya mau Ayah dan Bundaku kembali. Aku semakin terisak. Perasaan ini seakan
menusukku dengan pisau yang baru saja dipanaskan. Sakit. Sangat sakit.
Ada seorang anak perempuan yang datang kepadaku. Memelukku erat.
Menyuruhku mengeluarkan segala kesedihan dan sesak di dada. Aku terisak di
dalam pelukannya. Dia seakan-akan mengerti dengan apa yang terjadi padaku. Aku
mencoba menenangkan diri dengan menahan air mataku untuk tumpah. Akan tetapi,
semakin kutahan, semakin sesak dada ini, semakin ingin aku menangis. Dia yang
memahami perasaanku, menyuruhku untuk tidak menahannya, membiarkannya keluar
dengan damai. Aku merasa lega. Sudah kukeluarkan seluruh sesak di dalam
pelukannya.
“Siapa kau? Mengapa kau melakukan hal ini untukku?” Aku memberanikan
diri untuk bertanya. Tatapan heranku dibalas dengan senyuman hangat darinya.
“Namaku Fathia. Aku tinggal di dekat sini. Aku tidak sengaja lewat dan melihat
diriku sendiri lima tahun yang lalu. Ya. Aku dulu juga sama seperti dirimu.” Ia
tersenyum lembut kepadaku. Duduk memeluk lutut di sebelahku. Ia menghela napas
panjang. Mulai bercerita.
“Aku lahir dengan anggota badan yang lengkap dan keluarga kecil
yang bahagia. Hingga aku berusia sepuluh tahun, kejadian itu menimpa keluarga
kecil kami. Ayahku dibunuh, karena ia adalah orang yang sangat jujur. Hanya
karena ia melaporkan orang yang memang seharusnya mendapat hukuman.” Gadis itu
tertawa getir. Memeluk lutut semakin erat. Aku mendengarkan dengan seksama.
“Ibuku yang terlalu mencintai Ayah tak bisa menerima kenyataan. Tak
mau berdamai dengan takdir. Ia mengalami depresi berat. Hingga di usiaku yang
kesebelas, Ibu bunuh diri di hadapanku. Aku berlari ke taman ini. Menangis
sekencang-kencangnya. Sudah resmi aku menjadi seorang yatim piatu. Tanpa orang
tua, tanpa keluarga. Tiba-tiba, seorang gadis yang sepuluh tahun lebih tua
dariku datang dan memeluk erat diriku yang sedang menangis. Ia menenangkanku
dan membawaku ke rumahnya. Sekarang tempat itu lebih tepat disebut sebagai
panti asuhan. Aku tinggal disana hingga sekarang.” Fathia menutup kisahnya
dengan senyuman yang hangat. Aku menatap tanah gembur yang kupijak. Sudah jelas
bahwa aku lebih beruntung dari gadis berambut ikal yang bernama Fathia ini. Aku
masih memiliki Paman, Bibi, dan Omah yang peduli padaku.
Fathia menggenggam tangan kecilku. Mengusap bekas air mataku.
Memelukku erat. Seakan-akan ialah yang sedang kehilangan. Aku membalas
pelukannya dan berterima kasih atas apa yang telah ia lakukan untukku. Ia pulang ke
rumahnya dan aku segera kembali ke pemakaman. Paman dan Bibi menungguku dengan
cemas. Khawatir atas keselamatanku. Aku Dahlia, yatim piatu pada usia enam belas tahun.
Sekarang aku tinggal bersama Paman dan Bibi. Menjenguk Omah di
rumah sakit. Hidupku kembali normal seperti semula. Ternyata aku dan Fathia
berada di kelas yang sama. Sejak hari itu, aku memutuskan untuk menjadi teman
yang baik bagi Fathia. Waktu berlalu dengan cepat. Aku dan Fathia menjadi
sangat akrab. Menjadi sahabat dekat.
Pagi ini, lima bulan setelah kematian Ayah dan Bunda. Aku berangkat
sekolah dengan riang gembira. Menyenandungkan lagu kesukaanku. Karena aku
tinggal di rumah Paman, aku bisa berjalan kaki ke sekolah. Aku masuk ke kelas.
Membaca novel yang kemarin belum sempat kuselesaikan. Fathia datang terlambat.
Ia datang ketika bel telah berbunyi lima menit yang lalu. Itu rekor terlambat
perdananya. Aku menggodanya karena hal ini, tetapi ia tidak membalas godaanku.
Ia mengacuhkanku dan duduk di paling belakang.
Aku heran. Apa yang terjadi? Bukannya Fathia suka bergurau?
Bukannya ia tak suka duduk di belakang? Entah apa yang terjadi padanya. Nanti
akan kutanyakan ketika istirahat. Aku memperhatikan gerak-gerik Fathia. Ia
terlihat seperti sedang mengawasi sekitar. Terlihat seperti…. Pencuri. Ah, aku
tak boleh berpikiran seperti itu. Mana mungkin Fathia akan melakukan hal
menjijikkan itu.
Aku mengajak Fathia ke kantin. Ia menolak. Hmm…. Tak seperti
biasanya. Aku mulai bertanya apa yang terjadi. Akan tetapi, ia menatapku tajam.
Mengacuhkanku dan pergi ke luar. Ia terlihat sangat marah kepadaku. Aku
tertegun melihatnya seperti itu. Tak mampu lagi menatap tatapan tajamnya yang
mematikan. Aku tak bisa berkata apa-apa. Bertanya-tanya apa yang telah
kulakukan hingga membuat Fathia semarah itu padaku. Aku ingin menangis. Aku
takut bahwa aku telah berbuat jahat pada Fathia. Fathia juga tak kunjung
kembali. Aku khawatir dengan semua hal ini. Aku memutuskan untuk mencari
Fathia.
Aku mencari Fathia ke kantin, perpustakaan, mushalla, ruang guru,
dan semua tempat yang biasa didatangi oleh Fathia. Akan tetapi, Fathia tak
ada dimanapun. Aku khawatir. Mulai mencari di setiap kelas. Aku menyerah dan
kembali ke kelasku. Aku mendapati Fathia telah duduk manis di belakang. Aku
menyapanya, tetapi ia masih mengacuhkanku. Aku menyerah dan duduk di
kursiku.Aku ingin mengajak Fathia pulang bersama seperti biasaya. Akan tetapi,
aku tak dapat melihatnya dimanapun. Ia pergi. Tanpa aku. Aku akan datang ke
rumahnya. Mungkin ia hanya tidak enak badan.
Aku sampai di halaman rumahnya. Banyak anak-anak yang bermain. Aku
mengucap salam. Kak Dera. Kak Dera yang membuka pintu. Aku bertanya dimana
Fathia. Akan tetapi, Kak Dera mengatakan bahwa Fathia tidak ada di rumah. Aku
memberitahu Kak Dera bahwa Fathia sudah pulang dari sekolah. Jika ia tak ada
disini, lalu dimana dia? Aku mulai panik. Apakah Fathia hilang? Apakah ia
diculik? Kak Dera menenangkanku. Mengatakan bahwa Fathia pasti baik-baik saja.
Aku pulang ke rumah dengan hati gelisah.
Siang berganti malam. Sinar bulan tak mampu
menembus awan yang tebal. Ya. Malam ini mendung. Tetesan air telah keluar dari
induknya yang perkasa. Aku menelpon Fathia. Aku masih khawatir. Apakah ia
baik-baik saja? Tidak ada jawaban. Aku menelpon hingga berkali-kali. Tetap
tidak ada jawaban. Apakah telepon genggamnya mati? Kehabisan baterai? Aku
mencoba berpikir positif. Aku mencoba menelpon Kak Dera. Mungkin Kak Dera tahu
bagaimana keadaan Fathia.
Tut....tut....tut
“Assalamu’alaikum, ini siapa?” Suara khas Kak
Dera terdengar lembut.
“Ini Dahlia, Kak. Dahlia mau tanya, apakah
Fathia sudah pulang?” aku mencoba bertanya setenang mungkin.
“Kak Dera tidak tahu, Dahlia. Kak Dera tidak
sedang di rumah” Kak Dera menghela napas prihatin.
“Sebelum Kak Dera pergi, apa Kak Dera tahu,
dimana Fathia” Aku mencoba menggali segala informasi yang memungkinkan.
“Kak Dera langsung pergi setelah Dahlia pergi.
Kak Dera akan coba telpon rumah, ya” Kak Dera mulai menelpon.
“Dahlia, Fathia belum pulang. Itu yang
dikatakan Sari.” Suara Kak Dera mulai terdengar cemas.
“Lalu, bagaimana Kak? Apa perlu kita lapor
polisi?” Aku mulai khawatir. Mencoba memberi solusi.
“Tidak bisa, Dahlia. Belum dua puluh empat
jam. Nanti Kak Dera suruh Pak Sahwan untuk mencari Fathia, ya?” Kak Dera juga
berusaha memberi solusi yang logis.
“Baik, Kak. Kabari Dahlia, ya.” Aku mencoba
berpikir positif.
“Oke, Dahlia. Kakak tutup telponnya, ya.
Assalamu’alaikum.” Kak Dera menutup telpon.
Setelah menutup telpon, aku duduk di atas sofa
yang empuk. Menunggu kabar dari Kak Dera. Malam semakin larut. Kak Dera tak
juga memberi kabar. Aku tak tahan lagi. Aku sangat khawatir. Aku mencoba
menelpon Kak Dera lagi.
“Assalamu’alaikum, Dahlia. Fathia masih belum
ada kabar. Pak Sahwan sudah mencari kemana-mana, tetapi tidak ketemu. Bagaimana
ini, Dahlia?” Suara Kak Dera terdengar sangat cemas. Berusaha menahan air matanya
tumpah.
“Kak Dera tidak usah cemas. Dahlia akan pergi
bersama Paman untuk mencari Fathia. Kak Dera tenang, ya. Dahlia berangkat, Kak.
Assalamu’alaikum.” Aku menutup telpon. Memanggil Paman yang hampir terlelap.
Mengenakan jaket dan masuk ke dalam mobil.
Aku pergi ke rumah Kak Dera. Aku dan Paman berpencar.
Paman mencari ke kota dan aku mencari di lingkungan sekitar rumah Kak Dera. Aku
mencari ke rumah tetangga. Tidak ada. Aku mencari ke mushalla desa. Tidak ada.
Malam semakin larut. Aku tetap mencari hingga rumah kepala desa. Tidak ada.
Kaki kecilku mulai kelelahan.
Aku berada di depan pemakaman. Tempat Ayah dan
Bunda dimakamkan. Aku berpikir untuk masuk ke dalam. Tiba-tiba, ada suara
tangis dari sebelah pemakaman. Bulu kudukku berdiri. Aku memberanikan diri.
Mulai mendekati asal suara. Taman bunga. Suara itu berasal dari taman bunga tempat
dulu aku melampiaskan seluruh kesedihanku. Tempat aku bertemu dengan Fathia.
Tempat aku berdamai dengan takdir.
Aku sudah sangat dekat dengan asal suara itu. Jantungku berdegup kencang. Tepat di
belakang kumpulan bunga matahari. Aku dapat melihat rambut hitam legamnya. Aku
menyingkap kumpulan bunga matahari yang menutupi. Aku menutup mataku. Pasrah atas apa yang akan aku hadapi.
Fathia. Fathia yang sedang menangis terisak di balik kumpulan bunga
matahari. Aku
langsung memeluknya. Menenangkannya. Sepertinya Fathia tidak sanggup lagi
menopang tubuhnya. Aku mengantar Fathia pulang ke rumah. Aku tak sanggup
membebankannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalaku. Aku
menelpon Paman dan Kak Dera. Mengabarkan Fathia sudah tidur lelap di kamarnya. Aku pulang dengan pikiran yang dipenuhi dengan tanda tanya.
Esok harinya, sekolahku ribut mengenai
pencurian sepeda dan barang-barang lainnya. Mereka mengatakan bahwa pencurinya telah ditangkap. Aku tidak terlalu tertarik akan hal itu.
Aku hanya memikirkan dimana Fathia. Tak terlihat batang hidungnya. Hanya tas
dengan isi yang berserakan berada di atas mejanya.
“Dahlia! Kurasa kau harus segera ke ruang BK! Kau harus cepat!”
Salah satu teman kelasku memanggilku dengan wajah pucat.
“Ada apa? Mengapa aku harus kesana? Apa aku telah berbuat salah?” Aku
bertanya dengan nada kesal.
“Kau tidak berbuat salah, Dahlia. Ini soal…. Fathia!” Aku terkejut.
Berlari kencang menuju ruang BK.
Benar saja. Fathia dengan wajah dipenuhi lebam sedang diinterogasi
di ruang BK. Aku merangsek masuk. Memeluk Fathia seerat mungkin. Tak
membiarkannya lari lagi. Tak mempedulikan orang-orang yang menonton penasaran.
“Fathia, kau akan baik-baik saja. Aku akan menjadi pelindungmu.” Aku memeluk
Fathia semakin erat. Fathia diam membisu. Ia tidak berusaha melepaskan
pelukanku. Titik bening keluar dari mata hitam menawannya.
“Dahlia, lepaskan Fathia, nak. Kami harus mengetahui kebenarannya.
Agar Fathia mendapat hukuman setimpal.” Salah seorang guru mencoba melepaskan
pelukanku kepada Fathia. Ia mencoba memisahkan kami. Tak akan kuizinkan. Aku
memeluk Fathia lebih erat lagi.
“Dahlia, lepaskan. Aku akan menjelaskan semua perkara ini.” Fathia
melepaskan pelukanku dengan mudahnya. Aku tertegun. Tak sanggup
berkomentar lagi.
“Baiklah, aku akan menjelaskannya. Aku memang pencurinya.” Aku yang
terkejut menutup mulutku dengan kedua tangan. Fathia menghela napas panjang.
“Hari itu, salah satu adikku mengalami kecelakaan. Ia membutuhkan
biaya yang besar untuk operasi. Aku dan Kak Dera tak memiliki uang sama sekali.
Aku bingung harus melakukan apa. Aku melihat sepeda di parkiran. Baiklah, aku
akan melakukan perbuatan yang sangat menjijikkan ini. Aku mengambi sepeda itu,
lalu menjualnya. Akan tetapi, uang itu masih belum cukup. Aku mencuri lagi.
Kalung emas teman, cincin, uang, apapun yang dapat kuambil. Kak Dera begitu
senang mengetahui ada orang dermawan yang tak dikenal membayar biaya operasi. Akan tetapi, aku masih membutuhkan biaya
untuk perawatannya. Aku berpikir untuk mencuri lagi. Bahkan, aku berpikir untuk
mencuri gelang emas Dahlia yang diberikan oleh mendiang Bundanya. Ketika aku akan
melakukannya, tiba-tiba aku tersadar. Bagaimana mungkin aku melakukan hal
seperti ini? Bahkan kepada sahabat terbaikku? Aku berlari menuju taman bunga.
Aku menyesali semuanya disana.” Fathia mulai terisak. Titik bening keluar dari
mataku. Tak kusangka inilah yang sebenarnya terjadi. Inilah jawaban dari
pertanyaan yang membuatku sesak.
“Aku telah membuat Kak Dera kecewa. Ia yang
menolongku di waktu susah, malah kubalas dengan kelakuanku yang seperti ini.
Aku mohon. Jangan beritahukan hal ini ke Kak Dera. Ini resmi keinginan dan
keputusanku sendiri. Aku mohon, jangan libatkan Kak Dera. Ia akan kecewa.
Ia akan se-“ perkataan Fathia terputus.
“Sudah pasti aku kecewa. Kau harusnya membicarakannya padaku. Bukan
mengambil keputusan dengan keegoisanmu.” Kak Dera menangis memeluk Fathia.
“Maafkan aku Kak. Aku akan menebusnya.” Fathia menangis
tersedu-sedu.
“Kita akan menebusnya bersama-sama.” Kak Dera mencoba tersenyum.
“Aku akan membantu. Kita akan selalu bersama.” Aku angkat bicara. Kami bertiga berpelukan. Pak guru tidak
memberikan hukuman apapun dengan jaminan kami akan mengembalikan semuanya. Aku
menghela napas lega. Memeluk Fathia untuk kesekian kalinya. Kami keluar dari
ruang BK.
“Kenapa kau tak memberitahuku? Kau tahu, kan. Masalahmu juga
masalahku.” Aku mulai bertanya.
“Aku tak ingin merepotkanmu, Dahlia. Akan tetapi, pada akhirnya,
aku merepotkanmu lebih banyak lagi.” Fathia tertawa getir. Menghapus air mata
yang tersisa.
“Kau tak pernah merepotkanku, Fathia. Kita ini sahabat. Tidak mungkin
aku merasa direpotkan.” Fathia menangis lagi.
“Aku berusaha mengacuhkanmu agar kau tak menganggapku sahabatmu
lagi. Agar kau tak terlibat. Kau sudah mengalami banyak hal berat. Akan tetapi,
aku tak pernah berhasil membuatmu melupakanku.” Fathia terisak. Terduduk di
atas lantai yang dingin.
“Kita akan menjadi sahabat selamanya. Aku akan bersamamu dalam
susah maupun senang.” Mataku mulai berkaca-kaca. Tak sanggup lagi menahan diri.
“Aku minta maaf, Dahlia. Aku sudah mengacuhkanmu. Marah padamu.”
Fathia berusaha menenangkan diri.
“Bodoh. Kau bodoh, Fathia. Aku tak pernah merasa diacuhkan olehmu.
Aku selalu menyayangimu, Fathia. Jangan pernah berpikir kau sendirian. Ada aku
yang selalu bersamamu. Kemanapun kau pergi, aku akan selalu datang menjadi pelindungmu.” Aku memeluk
Fathia.
Kami menangis di dalam pelukan yang hangat. Berusaha menghapus masa
lalu yang menusuk dada. Berusaha membangun masa depan yang lebih baik. Akan
tetapi, hal yang pasti, kami akan selalu bersama selamanya. Apapun yang
berusaha memisahkan, kami akan melawannya bersama. Pagi ini begitu hangat bagi
siapapun yang mencoba berdamai dengan ketetapan-Nya.