Langsung ke konten utama

Surat untuk langit

 

Hembusan angin bagai amukan langit malam, hujan yang deras bagai tangisan ribuan manusia yang menyesal atas apa yang mereka perbuat pada masa lalu di kehidupannya. Mungkin, jika aku masih seperti dulu aku adalah salah satu dari ribuan manusia yang menyesal pada saat ini, aku akan terkena amukan langit yang sudah tak sabar untuk melahap apa pun yang ada di hadapannya. Dingin yang kurasa saat ini tak sebanding dengan apa yang  ku perbuat pada-Nya. Sungguh betapa hinanya diriku.

“Dek ayo, Mas sudah selesai pesan makananya” ucap Yudha memecah lamunanku.

“Eh, iya Mas” jawabku yang duduk di pinggir kafe.

Sungguh betapa jahatnya aku, tak tahu balas budi diriku ini, Dia memberikan kesempatan bagiku, disaat hamba-Nya yang satu ini jauh dari kata taat, mulut ini jauh dari lontaran doa-doa untuk-Nya, tubuh yang dianugerahakan-Nya padaku untuk beribadah haram bagiku. Dia memberikanku seorang kaum adam yang membawaku kembali menemui cayaha itu, cahaya yang dirindukan semua umat muslim.

3 tahun yang lalu….

Dentuman musik keras, kepulan asap rokok, dan pakaian kurang bahan selalu menemani setiap malam Disa Sabila Rahma. Ini semua akibat dari perceraian kedua orang tuanya,  diusia yang ke 20 tahun ini, ia seharusnya melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Namun sayang, Disa tenggelam oleh kerasnya gelombang kehidupan di kota metropolitan ini.

“Dis, ni rokok lo” ucap Rere seraya menyodorkan satu batang rokok beserta pemantiknya.

“Hmmm….” Disa hanya berdeham.

“Sayang sisa satu, nanggung Dis” tawar Rere

Disa pun menggambil sebatang rokok tersebut, lalu segera membakar ujung rokok dan menghisap ujung rokok yang bagaikan candu itu. Sekali kali membuat gepulan asap sampai menutupi sebagian wajah cantiknya.

“Cewek gabung yuk” goda salah satu pria disebrang sana. Disa pun tersenyum, lalu berjalan kearah pria tersebut sambil membawa segelas minuman haram. Setelah sampai di depan pria tersebut, ia sedikit merunduk lalu menumpahkan segelas air haram itu keatas kepala pria tersebut. Membuat orang-orang disekeliling melihat kearah mereka.

“Dasar jalang kurang ajar” bentak pria tersebut seraya menampar Disa

Mendengar itu Disa mengangkat sebelah alisnya sambil tersenyum licik, ia  segera keluar dari tempat tercela itu. Berjalan menuju parkiran mobil, lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimal di bawah bentangan langit malam di kota yang keras ini, Jakarta.

Tiit..tiit…

Suara klakson mobil membangunkan mang Ujang dari mimpi indahnya bertemu dengan sang pujaan hati, mang Ujang adalah satpam dirumah Disa beliau sudah bekerja sejak Disa berumur 10 tahun.

“Aduh neng sabar atuh” gerutu mang Ujang seraya membuka pintu gerbang. Setelah terbuka, Disa segera melajukan mobil memasuki rumah yang bisa dibilang cukup mewah itu.

“Sabar.., hhh… kangen atuh neng Disa yang dulu” ucap mang Ujang seraya mengelus dada.

Setelah memakirkan mobil dibagasi, Disa segera masuk kedalam rumah yang sangat enggan ia masuki. Pandangan pertama yang ia lihat adalah Seorang pria paruh baya yang dulu sangat ia cintai namun kini cintanya sudah tertutupi oleh kebencian.

“Astagfirullah Dis” kaget pria paruh baya itu, ketika melihat kedatangan anak gadisnya dalam keadaan berantakan.

“Kenapa kamu bisa berubah Dis, Abah harus lakuin apalagi Sayang” tambah Jaya, Abah Disa

“Nggak ada yang perlu dilakuin, apa peduli Abah sama Disa” sarkas Disa

“Abah…”ucapan Jaya terpotong.

“Udah Bah, Disa lagi nggak mau berdebat” putus Disa, lalu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua.

“Maafin Abah Dis” gumam Jaya, tak sadar setetes air mata jatuh bagaikan mutiara yang sudah mulai rapuh.

Di dalam kamar, Disa langsung saja merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia menangis sejadi jadinya, ia bertanya kepada Sang pencipta “Mengapa Kau sejahat ini padaku, mengapa aku yang mengalami semua ini?” kata ini terus terlontar sampai Disa merasa lelah hingga terlelap ke alam mimpi.

Kicauan burung mengalun merdu di telinga, cahaya matahari  masuk melalui celah-celah tirai bagai sedang mengintip salah satu insan yang sedang terlelap ini, mengusik tidur tenangnya seusai mengalirkan literan air mata malam tadi, Disa berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajah dan sekaligus menenangkan jiwa dengan air segar yang mengalir ketika mengenai kulit wajahnya. “Sudah jam 7” pikir Disa, ia pun berjalan turun ke dapur, sesungguhnya ia sangat lapar sejak tadi malam.

“Assalamu’alikum Non” sapa Bi Iyem, pembantu rumah tangga Disa.

“Wa’alaikumussalam Bi, Disa laper” Disa menepuk perut.

“Oh, iya Non tadi Bapak sudah masak nasi timbel” Bi Iyem membuka tudung saji, ketika Disa duduk di kursi.

“Hmm…” angguk Disa mengerti.

Bi iyem melihat raut wajah Disa yang kebingungan, rasa gengsi  yang tinggi menahannya untuk bertanya, Bi iyem tersenyum.

“Bapak keluar Non, kata Bapak mau nyari udara segar” setelah itu Bi Iyem kembali ke dalam dapur untuk melanjutkan pekerjaanya. Disa segera melahap makanan khas Bandung yang dibungkus dengan daun pisang lalu setelah itu dibakar. Jam menunjukkan pukul 12.00, Jaya belum kembali juga, dihati Disa yang terdalam ada setitik rasa khawatir, mengapa Abahnya belum kembali juga.

“Assalamu’alaikum” Pria paruh baya yang dikhawatirkan Disa sejak tadi akhirnya tiba membuat hati Disa tenang seketika.

“Dis, Abah beli es buah tadi di warung depan rumah” Jaya menuangkan es buah itu di mangkok lalu membawanya ke ruang keluarga, Jaya duduk disamping Disa, mungkin ini pertama kali setelah perceraian Jaya dan Salma Istrinya, Jaya bisa duduk sedekat ini dengan Disa.

“Abah rindu deh, waktu kita nonton film bareng,  main catur, teteh curhat ke Abah, sholat jamaah bareng, sarapan bareng,” ingat Jaya, Disa tak sanggup mendengar itu semua, ia merasa telinganya sangat panas.

“Udah Bah, situasinya udah nggak sama lagi, kita udah nggak bisa kayak dulu lagi” sarkas Disa

“Abah ngerti, tapi Abah pengen teteh berubah”

“Apalagi sih Bah, apa yang harus Disa ubah, ini juga bukan kemauan Disa, Abah tau apa sih tentang perasaan Teteh” balas Disa meninggikan suara,

“Abah cuma pengen Teteh kayak dulu lagi”

“Cukup Bah, yang harus Abah inget sekarang, keluarga kita nggak utuh lagi, udah Disa capek”

Disa melangkahkan kaki kedalam kamar, membuka lemari dan memasukkan sebagian pakaian kedalam tas ransel. Entah saat ini Disa ingin mengunjungi Omahnya di Bandung ia juga ingin mencari udara segar. Ia lelah dengan kehidupan saat ini, jika bisa menghilang, Disa ingin menghilang saat ini juga. Disa mungkin akan menetap di Bandung dalam kurun waktu yang lama.

“Teteh mau kemana?”

“Teteh juga butuh udara segar Bah” Disa berlalu pergi, melesat menggunakan mobil sedan putihnya ke kota Bandung. Sesampainya di sana, Ami, omah Disa kaget melihat cucunya bisa sampai disini, dengan apa, bersama siapa, dan untuk apa sang cucu datang kesini seraya membawa tas ransel berisikan beberapa pakaian.

“Mah ya… Disa mau tinggal disini sebentar aja” pinta Disa

“Ya sudah, tapi setelah ini Teteh ganti baju, Omah mau pergi kajian dulu. Teteh harus ikut juga” ucap Ami

“Yah, Omah. Males ah”

“Ya udah terserah Teteh” Ami megedikkan bahu.

Mau tak mau ia harus pergi ke kajian itu, ia tak berani kalau Omahnya sudah mengatakan terserah. Disa segera mengganti pakaian lalu pergi ke Masjid.

“Astagfirullah, cucu Omah kok pake pakaiannya gitu” kaget Ami melihat cucunya mengenakan celana jeans, baju kaos dan jilbab segi empat yang hanya disampirkan pada kedua bahu.

“Disa Cuma bawa ini atuh” duduk Disa disebelah Ami.

“Udah, ayo sini dengar ceramahnya” ucap Ami

Tema kajian malam ini adalah hijrah, hari pertama di Bandung Disa merasa seperti mendapat pencerahan dari Sang pencipta melalui perantara Ustadzah Lina, pemateri malam ini. Kajian selesai selepas ba’da isya para jamaah pun kembali ke rumah masing-masing.

“Assalamua’laikum ustadzah, nuhun kami pulang dulu” pamit beberapa jamaah.

“Wa’alaikumussalam, iya bu hati-hati dijalan” senyum Lina

Lina segera menelfon anaknya untuk dijemput. Karena, sehabis kajian ia berjanji untuk menemani anaknya ke butik langganan mereka.

            “Assalamualaikum” ucap Ami ketika melihat Lina

            “Wa’alaikumussalam, eh Omah, mau pulang?” Tanya Lina

            “Iya, nunggu siapa atuh?”

“Nunggu si Yudha, ini siapa Omah?”

“Ini cucu Omah, liburan kesini capek di Jakarta terus katanya” sambil menepuk bahu  Disa lembut.

“Disa” Disa mengulurkan tangannya.

“Panggil aja umi Lin, geulis Mah” Lina mengusap kepala Disa, Disa lalu tersenyum.

“Bun…” panggil seorang pemuda mengenakan koko abu dan peci putih dari luar pekarangan Masjid.

“Eeee…Dha salaman dulu sama Omah” pinta Lina,  Yudha pun mengulurkan tangannya. Setelah itu menangkupkan kedua tangan kearah Disa lalu tersenyum aneh. Disa yang melihat itu kesal, apa ada yang salah, sampai ia tersenyum seperti itu.

“Nuhun Omah kita pergi dulu, Assalamualaikum” pamit Lina pergi meninggalkan    lingkungan Masjid

“Bun yang tadi siapa?” Tanya Yudha

“Oh.. itu teh cucunya Omah, dari Jakarta, Disa namanya. emang kenapa atuh?”

“Lucu aja bun” ucap Yudha seraya tersenyum

“Awas loh nanti kepincut sama si geulis” goda Lina, Yudha pun menggelengkan kepalanya seraya tertawa.

            Sudah hampir dua pekan Disa di Bandung, telpon dari Abahnya masih tak ia pedulikan, ia merasa masih butuh udara segar sampai kini. Pantulan wanita yang kini mulai beranjak dewasa terpampang nyata dicermin berukuran 160 cm x 80 cm. Saat ini Disa sedang mencoba sehelai kain tipis berwarna biru langit untuk menutupi kepalanya. Hanya helaan nafas yang terdengar, Disa melepas helaian kain itu di atas kasur, Disa membaringkan tubuhnya dikasur, mengingat kejadian 4 hari yang lalu,

            “Mah, Teteh jalan-jalan ya, ke kebun teh” izin Disa

            “Iya, hati-hati” ucap Omah mengizinkan

Embun pagi membasahi perkebunan teh. Disa berjalan di pemukiman sekitar perkebunan teh. Ia melihat sekumpulan anak-anak sedang belajar mengaji,  

“Ha, hamzah, ya, shadaqallahul adzim” selesai mengaji

“Kak, Tikah boleh tanya tidak?” Yudha menggangguk kan kepalanya

“Apa Perempuan muslim wajib pakai kerudung?”

“Ya wajib atuh, karena dengan menutup aurat, perempuan akan terlindungi dari segala bahaya” jelas Yudha dengan lembut

 

“Contohnya coba Tikah lihat permen yang dibungkus pasti terhindar dari semut berbeda dengan yang tidak dibungkus, pasti banyak semutnya” umpama Yudha

 

“Hmm… tapi kenapa Teteh itu nggak pakai kerudung berarti nanti ada banyak bahaya ?” tunjuk Tikah kearah Disa yang sedang berdiri di dekat pohon, Disa mematung seketika. Semua melihat kearah Disa. Yudha terkejut melihat Disa, Disa berjalan kearah sekumpulan anak-anak tersebut, sambil tersenyum.

 

            “Assalamu’alaikum, nama Teteh Disa” sapa Disa

            “Wa’alaikumussalam” balas serempak anak-anak

            “Doain Teteh ya, dikasih jalan sama Allah supaya bisa pakai kerudung sama kaya Tikah” ucap Disa seraya mengelus kepala Tikah

 

            “Amiin, ya udah atuh kalian hati-hati di jalan ya” ucap Yudha kepada anak-anak. Setelah itu Yudha merapikan peralatan mengajarnya. Lalu mereka jalan beriringan.

 

“Kamu anak Umi Lina ya?” Tanya Disa

“Iya, ada apa?” Tanya yudha

“Kenapa kamu senyum waktu ketemu aku di Masjid?” sarkas Disa

“Ohh… itu, nggak masalah kan kalau saya senyum, senyum kan ibadah” balas Yudha

Mendengar respon dari Yudha membuat Disa jengkel. Namun, seketika Disa teringat perkataan Tikah ada sedikit perasaan malu pada dirinya. Disa ingin menanyakan sesuatu kepada yudha tetapi gengsinya lebih besar.

“Betul kan?” Tanya Yudha memecah lamunan Disa

“Nama saya Yudha” tambah Yudha

“Ohhh…Disa” ucap Disa tanpa melihat kearah Yudha

“Dha…” teriak pemuda disebrang jalan perkebunan teh, dia Desta sahabat Yudha sejak belia,

“Ya, mau kemana Des?” Tanya Yudha seraya menepuk bahu Desta

“Ke Pasar mau beli daging ayam” jelas Desta

“Siapa atuh?, geulis pisan” tambah Desta seraya melihat kearah Disa yang berdiri disamping Yudha

“Ini  teh Disa, cucu Omah Ami dari Jakarta” jawab Yudha

“Hmm... sayang atuh nggak pake kerudung, saya duluan dulu. Assalamu’alaikum” pamit Desta

Mendengar penuturan sahabat Yudha, membuat Disa seperti dihujami ribuan jarum.

“Maaf ya” ucap Yudha

“Apa salah, saya nggak pake kerudung? Apa seburuk itu kalau saya nggak pakai kerudung?” Tanya Disa tak sabar

Mendengar penuturan itu Yudha menghela nafas, ia bingung harus berkata apa pada wanita yang baru ia kenal ini.

“Maaf Teh sebelumnya, Teteh pasti sudah tahukan bahwa dalam agama islam memakai kerudung itu wajib bagi wanita, kerudung juga merupakan identitas seorang muslimah, ada hadits yang mengatakan keluarnya seorang anak perempuan dari rumah tanpa menggunakan kerudung akan mendekatkan Ayahnya kepada pintu neraka” jelas Yudha dengan santun.

Penuturan akhir dari Yudha adalah penuturan yang sangat membuat disa sampai saat ini masih terbayang, “Apa aku bikin Abah masuk neraka?” setetes air mata rindu mengalir dari mata disa, kerinduan yang ia tahan tak terbendung lagi, melihat guratan senyum sendu Abahnya kala itu.

Gumpalan awan hitam di atas senja menumpahkan cairan bening malam itu, suara tiupan angin pada pepohonan mengalun merdu bagaikan lantunan musik pengantar tidur, disa terlelap lagi dalam genangan air mata rindu.

“Assalamu’alaikum Mah” sapa Disa di pagi hari yang cerah di kota Bandung

“Masya Allah, cucu Omah” kaget Ami, seorang gadis kecil yang dulu sering merengek pada Ami kini sudah memantapkan hati menggunakan helaian kain tipis yang menjadi topik utama pikirannya sejak 4 hari yang lalu, hidayah secepat kilat menghampiri, sudah menjadi rahasia Allah memang. Tidak ada yang mengetahuinya.

“Doain Disa Mah, supaya Disa istiqomah” pinta Disa seraya memeluk Ami

“Tak pernah lekang eu, Omah bahagia” haru Ami, Disa menceritakan kepada Ami, mulai dari mengapa ia pergi dari Jakarta, apa yang membuat ia berubah, dan tak lupa kerinduannya kepada lelaki tercinta yang ia tinggalkan sendiri di kota metropolitan itu.

“Mah, Disa bakal kangen atuh sama suasana disini” pamit Disa, karena kini ia akan kembali ke kota yang pernah membuatnya terjerumus dalam lubang hitam,

Kade di jalan ya Teh, salam sama Abahmu” ucap Ami, Disa berlalu menyusuri jalanan kota Bandung, kota yang memberikan perubahan besar pada dirinya dalam waktu singkat.

“Abah pasti seneng liat Teteh” gumam disa didalam mobil sedan putihnya.

Hiruk pikuk kota Jakarta mulai terlihat, pinggiran sungai yang kumuh, kemacetan sejauh mata memandang, dan polusi udara menjadi naungan langit kota ini.

Bangunan yang dinantikan kini mulai terlihat, melangkah menuju pembatas antara jalanan luar dan halaman depan. “Ohh mang Ujang cuti ternyata” pikir Disa ketika melihat pos jaga sepi. Memarkir mobil, lalu membuka pintu dengan ukiran pohon cemara di bagian tengah.

“Assalamu’alaikum” salam Disa.

“Wa’alaikumussalam” balas Bi Iyem seketika terkejut melihat penampilan Disa yang tertutup.

“Bi, Abah mana?” Tanya Disa ketika melihat kamar Jaya.

“Hmmm…. Bapak di rumah sakit Non” ucap Iyem perlahan.

“Rumah sakit, ngapain? Siapa yang sakit?” runtut Disa

“Bapak dirawat Non, sudah 3 hari” bagai gempa memporak porandakan bangunan hingga tak berupa lagi, seperti itulah perasaan Disa saat ini, hancur.

kriiiingggg…. Telepon rumah berdering, Iyem melangkah kearah telepon di ujung ruangan. Mengangkat gagang telepon mendengar dengan saksama suara si penelpon.

“Dari siapa Bi?” tak sabar Disa

“Bapak koma Non” mendengar itu Disa segera keluar mengendarai sedan putihnya menuju ke tempat dimana Jaya berada sekarang. Membelah jalanan Jakarta yang cukup lenggang kala itu. Bangunan putih megah kini sudah di depan mata disa melangkah dengan cepat kearah resepsionis menanyakan keberadaan Abahnya sekarang “UGD” satu tempat yang terucap.

            “Neng Disa” panggil Ujang yang sedang berdiri di depan UGD

            “Abah mana Mang?” Tanya Disa

            “Sabar ya Neng, Bapak sedang ditangani dokter” ucap Ujang menenangkan Disa seraya mengusap pundak Disa yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri.

            “Abah sa..kit a..pa Mang?” Tanya Disa sesenggukan

            “Bapak punya kanker otak Neng, stadium 3” jelas Ujang, kenyataan pahit itu terus datang, jika dosa itu terlihat mungkin disekeliling tubuh disa sudah penuh dengan dosa, anak apa yang tidak tau penyakit Abahnya sendiri. Detik demi detik berlalu menciptakan menit, menit demi menit berlalu menciptakan jam, sudah 4 jam berlalu.

            “keluarga saudara Jaya” panggil dokter, mang Ujang dan Disa segera bangkit dan berjalan menuju sumber suara.

            “Maaf kami sudah mencoba semampu yang kita bisa,” ucap dokter seketika dapat meruntuhkan langit, meretakkan bumi saat itu juga, tak sanggup lagi kaki disa menopang raga dan jiwa, lemas sudah setiap ruas jari-jarinya, bekas air mata yang sudah mengering kini mulai  basah oleh genangan air mata yang sudah tak mampu lagi untuk ditahan.

            “Yang sabar Non, Allah selalu ada bersama kita, Allah lebih sayang sama Bapak” tenang Bi Iyem, yang baru saja sampai.

            “Bi Di..sa a..nak durhaka Bi” tangis Disa

            “Kena..pa bukan Disa aja yang per..gi”

            “Udah Neng ayo kita masuk, liat Abah” ajak mang Ujang. Mereka pun masuk ke dalam ruang UGD. Terobati sudah kerinduan itu, melihat laki-laki yang ia cinta kini sudah tertidur pulas dengan senyum menghiasi wajahnya yang pucat pasi, dan dingin yang sudah menjadi suhu tubuh tetapnya.

            “Abah, Disa sekarang udah berubah Bah, Abah seharusnya liat Disa sekarang, ini yang Abah harap iyakan Bah, maafin Disa. Disa udah jadi anak durhaka” tangis Disa yang kesekian kalinya.

            “Udah Non, biar Bapak diurus pihak Rumah sakit dulu” ajak Bi Iyem, Disapun patuh.

Disa hanya bisa terdiam, duduk disamping jenazah Abahnya di dalam ambulance. Kembali dari Bandung berharap bertemu Abah tercinta untuk menebus semua dosa yang pernah ia perbuat kini telah sirna, sekarang hanya jasad tanpa jiwa yang ia dapati. Di rumah duka sendiri sudah banyak sanak saudara menanti kedatangan jasad Jaya, termasuk juga Umi Lina, dan Yudha. Deretan karangan bunga ucapan belasungkawa dari rekan kerja Jaya tersusun rapi, melihat semua itu semakin membuat disa harus kembali menerima kenyataan bahwa Abah yang ia cintai kini sudah kembali ke Sang pencipta.

“Sabar sayang” ucap Ami menenangkan seraya memeluk erat cucunya itu, hanya suara tangisan yang Ami dengar.

“Sayang” sapa lembut Umi Lina, mendengar suara penuh kelembutan seorang Ibu, Disa berlalu memeluk Lina. Menumpahkan semua air matanya.

Prosesi pemakaman telah selesai Disa hanya berdiam diri didalam kamar sejak 2 jam yang lalu. Tak ingin berbicara dengan siapapun, makanan diatas meja saja tidak Disa sentuh sama sekali Setelah membaca  sepucuk surat dari Abahnya yang dititipkan ke Mang Ujang.

 

Assalamu’alaikum bidadari Abah

            Bandung, 4 April 1998 suara tangisan malaikat kecilku akhirnya menyapa dunia, membayar penantianku yang cukup lama. Tawanya menghiasi ruangan yang dominan dilapisi dengan cat berwarna putih . “Allahuakbar…Allahuakbar” lantunan azan kualunkan merdu ditelinganya. Aku teringat ketika pertama kali terucap dari mulut kecilnya kata”abah”. Tak akan pernah kulupa kalimat pertama itu. Tahun demi tahun berlalu menciptakan usia, kini malaikat kecilku menjadi seorang gadis  yang cantik, Disa Sabila Rahma.

Maaf

 Abah tidak bisa menjadi seperti yang Disa inginkan, abah sudah gagal menjadi orang tua yang Disa impikan. Abah berusaha memberikan cinta dan perhatian kepada teteh, meski terkadang teteh tidak dapat mengerti cara abah melakukannya.

Saat beranjak dewasa, teteh mulai memiliki pendapat sendiri. Seringkali, pendapat kita bertentangan dan mulai terjadi pertengkaran-pertengkaran kecil. Teteh bilang, abah tidak dapat mengerti kehidupan yang sedang teteh jalani.  Teteh sekarang sudah bisa mengatur kehidupan teteh sendiri, tapi terkadang teteh tidak mau lagi mendengarkan abah . Di satu sisi memang abah merasa kecewa, karena tidak lagi bisa mengarahkan malaikat kecil abah dalam menjalani hidupnya. Namun di sisi lain abah  juga merasa senang dan bangga, karena malaikat kecil abah kini bisa memegang prinsipnya sendiri. Jadi, jika sewaktu-waktu abah pergi jauh teteh sudah siap.

Maaf

Abah tidak memberi tahu teteh tentang penyakit abah, abah takut teteh nanti terganggu dengan penyakit abah yang biasa ini. Abah tidak ingin menjadi beban untuk teteh, abah akan merindukan teteh. Teteh, abah boleh meminta satu hal?carilah pendamping untuk teteh yang jauh lebih baik dari abah. Agar abah bisa tenang melepas teteh.

Salam rindu abah.

 

 

Toktoktok…

“Assalamu’alaikum Dis” tak ada sahutan dari dalam kamar.

“Ini saya, Yudha” mendengar nama itu Disa terduduk dari tidurnya menatap kearah pintu.

“Saya boleh masuk?” Tanya Yudha, Disa termenung melihat pintu itu dan memperbolehkan yudha masuk, ia segera mengenakan kerudung.

“Boleh” ucap Disa dengan suara khas orang seusai menangis.

Terlihatlah seorang pemuda berusia 24 tahun memasuki kamar seraya membawa sepiring bubur ayam beserta segelas air. Lalu meletakannya di atas nakas, Yudha  duduk di atas sofa dekat jendela.

“Ayo dimakan dulu, kasihan atuh ayamnya udah dipotong tapi nggak dimakan” canda Yudha. Disa mengulurkan tangan untuk mengambil sepiring bubur ayam.

“Terimakasih, Dha” ucap Disa seraya tersenyum simpul.

“Iya, sama-sama”

“Saya yakin abah Disa bangga atuh, karena punya anak yang baik, berani, mandiri kayak kamu” tambah Yudha.

“Hhh... mana mungkin dha, saya hanya bisa menyusahkan abah selama ini” tutur Disa.

“Nggak atuh, wanita mana yang berani bertanya tentang apa itu wanita muslimah yang baik, yang dulunya hanya mengenakan celana jeans, kaos, dan kerudung yang disampirkan kebahu kini sudah menutup semua auratnya. Abah pasti bangga dan senang teh” jelas Yudha.

Mendengar penuturan itu Disa tersenyum simpul, beruntung ia bisa bertemu dengan Yudha. “Terimakasih, Dha”

“Banyak sekali teh terima kasihnya, udah dihabisin dulu atuh buburnya” tawa Yudha.

 

            “Mau sampai kapan atuh melamunnya” ucap Yudha kepadaku. Ketika sudah sampai di depan Rumah kami.

Ya, setelah semua kejadian itu, Yudha melamarku. Tepat 1 bulan setelah kepergian abah, kami menetap di Bandung kota yang mempunyai beribu kenangan bagiku. Terkadang kerinduan itu datang, ketika aku rindu akan kehadirannya. Namun, apa yang bisa kuperbuat saat ini. Aku hanya bisa mendoakannya dari bumi tempat ku berpijak dan  berharap doaku akan sampai pada langit tempat jiwanya berada.

           

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

           

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Postingan populer dari blog ini

Teks Ceramah

 A. Definisi dan Ciri-Ciri Ceramah     1. Definisi Ceramah          Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ceramah adalah pidato oleh seseorang di hadapan banyak pendengar mengenai suatu hal atau pengetahuan. Ceramah juga berarti penuturan bahan pembelajaran secara lisan. Ceramah merupakan pidato yang bertujuan untuk memberikan nasihat dan petunjuk mengenai suatu permasalahan kepada audiensi yang bertindak sebagai pendengar. Secara umum, ceramah mempunyai pengertian tentang suatu kegiatan berbicara di depan umum dalam situasi tertentu untuk tujuan tertentu dan kepada pendengar tertentu.         Pada dasarnya, pidato, ceramah, dan khotbah memiliki persamaan, yakni pengungkapan pikiran di hadapan banyak orang. Namun, dalam pelaksanaannya, antara pidato, ceramah, dan khotbah memiliki perbedaan. Pidato sering kita ikuti dalam acara-acara resmi, misalnya seminar, rafat pleno,. Ceramah diadakan untuk acara-acara tert...

Teks Laporah Hasil Observasi

            Sebuah laporan hasil observasi dapat disajikan dalam bentuk teks tertulis maupun teks lisan. Kamu sering melakukan observasi atau pengamatan, tetapi belum memahami cara menyusun teks laporannya dengan baik. Untuk itu, kamu perlu memerhatikan penyusunan laporan hasil observasi yang kamu dengar atau kamu baca dari media televisi, koran, majalah, atau internet. A. Pengertian, Ciri-Ciri, Sifat, dan Contoh Teks Laporan Hasil Observasi 1. Pengertian Teks Laporan Hasil Observasi          Teks laporan hasil observasi adalah teks yang berisi penjabaran umum mengenai sesuatu yang didasarkan pada hasil kegiatan observasi/pengamatan. Kegiatan observasi merupakan kegiatan pengumpulan data atau informasi melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat di lapangan atau lokasi. 2. Ciri-Ciri Teks Laporan Hasil Observasi     Teks laporan hasil observasi memiliki ciri-ciri yang membedakann...

ANEKDOT

A. Definisi. Ciri, dan Jenis Anekdot   1. Definisi Teks Anekdot     Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau orang terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Orang-orang penting yang diceritakan dalam anekdot bermacam-macam, seperti tokoh politik, sosial, dan agama.  Sementara itu, peristiwa yang diceritakan dalam anekdot merupakan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun seiring perkembangan zaman anekdot juga digunakan untuk menceritakan tokoh dan peristiwa fiktif.     Anekdot mengandung humor. Humor dalam anekdot dibentuk dengan kelucuan atau kekonyolan tokoh. Tindakan ataupun ucapan tokoh menimbulkan humor karena adanya peristiwa ganjil yang mendasarinya. Humor juga dapat diciptakan melalui permainan kata, makna, ataupun pelesetan terhadap suatu kata ataupun frasa.     Humor dalam anekdot bukan hanya bersifat menghibur. Bia...