Hujan deras mengguyur kota
Bandung. Genangan air tercipta dimana-mana, bahkan ketika petir menggelegar, roda-roda
itu masih terus berputar di atas aspal. Jika sudah begini, mungkin hujan adalah
hal yang paling menyebalkan. Namun tidak bagi Diandra Praditma, sosok pemuda dibalik
jendela kafe yang terus memusatkan atensinya pada ribuan rintik di luar sana.
Bagi dirinya, hujan adalah hal yang menenangkan. Bau khas tanah yang muncul kala
hujan seperti candu baginya. Hujan adalah memori terindah yang pernah ia miliki
selama ini. Ia begitu menyukai hujan, sampai-sampai tenggelam dalam pikiran nya sendiri.
“Ini adalah Desember ketiga yang aku lalui tanpamu, dan ini adalah hujan
yang kesekian kalinya tanpa hadirmu,” gumam Andra.
Krieeet…
Suara tarikan kursi itu menyadarkan Andra dari lamunannya. Kini di depan nya
ada seorang gadis yang menjadi pelaku buyarnya lamunan Andra.
“Hai, Andra. Sudah lama menunggu ?” tanya gadis tersebut.
“Kamu membuang tiga puluh menit waktuku,” jawab Andra sekenanya.
“Ah…maafin aku. Kamu tahu sendirikan di luar sana lagi hujan lebat. Aku bisa
saja celaka jika ngebut-ngebutan di jalan,” tutur sang gadis.
“Itu urusanmu. Sebagai pembuat janji kamu seharusnya lebih bisa menghargai waktu,”
kata Andra begitu cuek.
“Ok, aku minta maaf,” ucap si gadis.
“Jadi, apa mau mu sampai mengajakku bertemu di sini ?”
“Emmm….Hanya ingin bertemu denganmu,” gadis itu tersenyum, tanpa tahu bagaimana
reaksi Andra setelahnya.
“Apa kamu pikir waktuku itu mainan? Banyak hal yang dapat aku lakukan daripada
harus menunggumu selama tiga puluh menit,”
Andra pun berdiri dan berlalu meninggalkan gadis itu.
“Aku tahu aku salah. Tapi hanya itu caraku agar dapat bertemu
denganmu, Ndra,” gadis itu bergumam sendiri.
Hujan telah usai. Kini jingga bersarang di atas langit
sore. Andra baru saja tiba di rumahnya,
“Kak, darimana? Tadi dicari Ibu,” sambutan hangat dari
sang adik, Nurraihanum Azzara Ditma.
“Abis dari kafe,” jawab Andra sewajarnya.
“Dari kafe kok lama banget Ndra. Wifi-an ?” sang ibu,
Asshifa Mazzaratul Dwi Agung putri-panggil saja ibu Shifa tiba-tiba menyaut di antara kedua anaknya.
“Nggak Bu, tadi ngobrol bentar sama teman,” ucap Andra
bohong. Ia tak ingin membahas gadis itu, semua hanya akan memperburuk mood nya.
“Ohhhh…. Mama kirain kamu ketemu sama….,” perkataan Ibu
Shifa menggantung
“Kak Risya, Bu,” sahut Ara dengan nada malas.
Ibu Shifa tersenyum, “ Nah iya. Itu maksud Ibu.”
“Udahlah Ma, Andra lagi males buat bahas cewek. Andra mau
mandi dulu,” Andra pun berlalu meninggalkan adik dan Ibunya.
Sepeninggal Andra, Ibu Shifa pun mendekati Ara,
“Kakakmu kenapa sih, Ra?,” tanya sang ibu kepada Ara
Ara mengedikkan bahunya sambil berkata, “ Palingan
masalah hati, Bu.”
Setelah mengatakan itu Ara pun beranjak meninggalkan
sang Ibu yang keheranan,
“Lho, Ara mau kemana ?,”
“Ara juga mau mandi, Bu. Gerah, Ibu nggak usah mikirin
kak Andra, nanti juga mood nya baik sendiri,” kata Ara.
Ibu Shifa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Ada-ada saja anak zaman sekarang.”
Terik menyengat
di atas ubun-ubun membuat semua orang selalu ingin mendekat kepada si penjual dawet,
siapapun itu. Antrian panjang yang ada di sekitar dawet membuat seorang gadis menghela
nafas,
“Huuufft…”
“Aku benar-benar kehausan.Tapi antrian begitu panjang.
Sudahlah mungkin lain kali,” gadis itu berbalik meninggalkan kerumunan orang di
sekitar penjual dawet.
“Hei, Syafa,” gadis yang mulanya ingin pergi itu berbalik.
“Mau ngga?” Risya -gadis yang memanggilnya-
mengacungkan sebuah plastik dawet kearah Syafa.
Syafa tersenyum hangat. Risya pun mendekat kepadanya.
Risya mengulurkan es dawet nya kearah Syafa, “Nih..”
Syifa menerima uluran tersebut, “Tahu aja aku lagi haus, hehehe...”
“Tadi kebetulan aja liat kamu, mana kamu masang muka sedih. Kasihan banget tahu,”
Jelas Risya.
Mereka masih terus bercerita dengan diselingi senda gurau. Namun tiba-tiba saja
suara Andra memanggil,
“Syafa!” tapi sepertinya Syafa tak mendengar.
Andra masih berusaha, “Fa… Syafa!”
Masih tak ada sahutan, dan ini justru membuat Andra geram.
“ NASYA FAURAZIA !”
Suara Andra yang begitu menggelegar membuat Syafa berbalik, tapi tidak dengan
Risya. Ia justru mematung di tempatnya.
Andra mendekat kearah Syafa, “Kamu kemanasih. Aku capek tahu cari kamu”
“Cari aku? Ngapain?,” Syafa bertanya dengan wajah bingung
“Besok aku tunggu di taman belakang sekolah,” setelah mengatakan itu Andra berlalu
dari hadapan Syafa.
“Ini maksudnya apasih?,” Syafa jadi bingung sendiri. Namun ia tersadar bahwa
di situ ada Risya yang sedari tadi hanya mendengar percakapan mereka.
“Eh, Sya, kok diam aja sih ?”
Risya berbalik menatap Syafa, “Nggak papa kok. Emang aku harus ngomong apa?
Tadikan kamu lagi ngobrol sama Andra.”
“Hehehe, iya juga sih.” Syafa hanya bisa cengengesan. Setelah itu mereka berdua
pun pulang kerumah masing-masing.
Keesokkan harinya, Syafa pergi kesekolah diantar oleh Papanya. Gadis berusia
tujuh belas tahun ini amat disayangi oleh kedua orang tuanya.Wajar saja, ia merupakan
satu-satunya anak perempuan di keluarganya. Setelah sampai di depan gerbang sekolah,
Syafa berpamitan dengan Papanya.
“Syafa masuk dulu yah, Pa. Papa yang semangat ngantornya. Syafa sayang Papa.”
Syafa mencium pipi Papa nya, lalu mencium tangannya, “Assalamualaikum.” Syafa
pun keluar dari mobil dan bergegas masuk kelas.
Dalam perjalanan menuju kelas, Syafa selalu menundukkan kepalanya. Hal ini sudah
menjadi kebiasaannya. Lantai adalah hal yang paling menarik bagi gadis cantik
ini di sekolah. Bahkan ia tak menyadari Andra yang datang dari arah berlawanan. Andra hanya melirik Syafa sekilas,
tak ada niatan untuk menegurnya. Mereka berlalu sesuai dengan arah mereka.
Sesampainya dikelas XI IPA II -kelas Syafa dan Risya- terlihat hanya beberapa
orang yang sudah mengisi bangkunya. Sisanya masih belum berpenghuni, padahal waktu
sudah menunjukkan pukul enam lebih empat puluh lima menit yang mana kegiatan pembelajaran
akan dimulai lima belas menit lagi. Mata Syafa menjelajahi kelas, tapi ia sama sekali
tak menemukan Risya. Selama ini Risya selalu datang lebih dulu daripada Syafa. Ia
selalu menyambut kedatangan Syafa begitu sahabatnya itu memasuki kelas, bahkan meskipun
Risya tak menegurnya, senyum manis pasti selalu terpatri di bibir gadis itu kala
melihat Syafa. Karena merasa heran, Syafa pun bertanya kepada Arfi.
“Fi…”
Arfi yang sedang menunduk itu pun langsung mendongak ketika mendengar namanya
disebut, “ Ya ?”
“Lihat Risya nggak ?”
“Risya Farrazi atau Maura Anggun Farisya ?”
“Maura Anggun Farisya,” jawab Syafa cepat.
“Kurang tahu Fa, belum keliatan dari tadi.” Kata Arfi.
Syafa langsung melepaskan ransel di pundaknya dan meletakkannya di atas meja
Arfi, “Nitip bentar, Fi” Syafa pun berlari meninggalkan kelas.
Di tempat lain, terlihat dua orang yang sedang
duduk berduaan menikmati matahari pagi, Risya dan Andra. Mereka hanya duduk tanpa
tahu apa yang ingin mereka ungkapkan di pagi buta ini. Nampaknya mereka masih betah
bersedekap dalam hening. Andra hanya menatap kosong lapangan basket di
depannya, sedangkan Risya memejamkan matanya yang tertimpa sinar mentari.
Masih terus begitu, sampai ketika Risya mulai berbicara,
“Hangat….”
“……..” Andra hanya diam
“Kamu tahu arti hujan nggak, Ndra ?”
“……….” Andra masih saja diam.
“Kata orang hujan itu kebaikan. Mereka juga bilang kalau setiap rintik yang
ada pada hujan mampu membangkitkan seperkian persen dari memori yang sudah
lalu. Dan kamu tahu Ndra, aku percaya sama semua kata-kata itu. A…”
“Kenapa?” Andra memotong perkataan Risya. Risya yang saat itu menatap
kosong kearah lapangan langsung menatap Andra dengan pandangan bingung.
“Apanya yang kenapa? Aku gaje yah bahas hujan pas cuacanya lagi
cerah ?”
Andra yang mengerti kebingungan
Risya itu melanjutkan pertanyaannya, “Kenapa kamu percaya?”
“Emm…. Karena setiap hujan turun, kenangan yang udah aku lupain
kembali berputar seperti dvd lama di
kepala ku, termasuk kamu.”
Andra sedikit terkejut mendengar perkataan Risya. Andra hanya diam untuk
menutupi keterkejutannya.
“Aku benci hujan,” jelas Risya tiba-tiba.
“Jadi sejak tadi kamu berbicara tentang apa yang kamu benci ?” Tanya Andra.
“Aku benci hujan bukan tanpa sebab. Aku benci hujan karena kamu,”
“Karena hujan adalah saat pertama aku mengenalmu, saat pertama kita menjadi
teman, dan untuk pertama kalinya saat
hujan kamu ketemu sama Syafa.”lanjut Risya
“Kamu lupa satu hal, Sya,” kata Andra
“Aku tahu kalau hal yang paling kamu suka di dunia ini adalah hujan, dan
aku nggak pernah lupa, Ndra” kata Risya.
“Dan mungkin kamu suka hujan karena Syafa,” lanjutnya lagi
“Kamu salah. Aku suka hujan bukan karena Syafa, tapi karena kamu” perkataan
Andra sukses membuat Risya tertawa.
“Apasih Ndra, kamu nggak perlu bohong sama aku. Aku tahu alasan kamu suka hujan,dan aku juga
tahu kamu suka sama Syafa”
“…………” Andra hanya menanggapinya dengan diam.
Suasana di antara keduanya
menjadi hening, hingga tiba-tiba suara bel terdengar.
Kringggg… kringggg…
Suara bel itu membuat Risya berdiri dari duduknya dan berpamitan pada
Andra, “Aku duluan ya, Ndra. Kamu juga masuk kelas gih, jangan bolos. Makasih
buat waktunya”
Risya pun melangkahkan kakinya menjauhi Andra. Namun tiba-tiba langkah
Risya terhenti akibat teriakan Andra,
“AKU SUKA HUJAN KARENA KAMU RISYA. KARENA KAMU AKU TAHU APA MAKNA HUJAN
SEBENARNYA, DAN KARENA KAMU UNTUK PERTAMA KALINYA AKU NGERASA JADI ORANG YANG
SPESIAL DI WAKTU HUJAN.” Risya sontak saja berbalik menghadap Andra. Keduanya
bertatapan dalam jarak yang jauh. Andra tersenyum, namun tidak dengan Risya.
Baginya itu hanyalah kebohongan belaka.
Suasana menjadi begitu
hening ditambah lagi dengan bentangan jarak di antara keduanya. Tak mau ambil
pusing dengan perkataan Andra, Risya pun segera berbalik menuju kelas. Namun
tiba-tiba kakinya menjadi kaku lantaran melihat Syafa di hadapannya.
“Syafa…” panggil Risya.
‘Apa Syafa mendengar semuanya ?’ cemas Risya dalam hati.
“Kamu dari mana sih, Sya. Aku cariin
lho dari tadi. Ayo masuk kelas,
pelajarannya udah mulai tuh.” Syafa menarik tangan Risya dan pergi meninggalkan
lapangan. Sebelum itu, Risya sempat berbalik kebelakang namun ia sudah tak
mendapati Andra di sana lagi.
Suasana di dalam kelas begitu
sepi. Semua murid terlihat sangat serius memperhatikan penjelasan sang guru, Bu
Rika.
“Jadi anak-anak, tubuh manusia itu terdiri atas rangka aksial dan rangka
apendikular. Rangka aksial merupakan rangka yang menyusun sumbu tubuh sedangkan
rangka apendikular adalah rangka yang menyusun anggota gerak tubuh. Ada yang
ingin ditanyakan ?”
Arfi mengangkat tangannya, “Rangka sumbu itu maksudnya apa Bu ?”
“Ada yang bisa menjawab apa maksud dari rangka sumbu ?,” bukannya menjawab,
Bu Rika justru bertanya kepada anak-anak yang lain.
“Rangka sumbu adalah rangka yang menyusun bagian utama tubuh mulai dari kepala
hingga tulang belakang,” celetuk Syafa
“Nahhh. Coba ulangi Risya !” pinta Bu Rika.
“…….”
Risya tak mendengar apa yang dikatakan oleh Bu Rika. Netranya menerawang
kosong, ia larut dalam pikirannya sendiri.
“Risya…. Risya.”
Karena Risya tak kunjung menyaut, Fira yang berada di samping Risya pun
menyenggol tangannya. Risya menoleh kearah Fira, dan Fira memberinya kode untuk
melihat kearah Bu Rika.
“Bisa kamu ulangi apa yang dikatakan Syafa, Risya?,” kata Bu Rika setelah
Risya menoleh kearahnya.
“Nggak, Bu,” cicit Risya
“Dari tadi kamu ngapain ?,” tanya Bu Rika. Namun Risya hanya menggeleng.
“Lain kali tolong diperhatikan, bukan hanya untuk Risya tapi untuk
semuanya. Dan juga tolong diingat minggu depan kita ulangan. Jangan lupa belajar dan berusahalah
semaksimal mungkin.” Kata Bu Rika.
Sepeninggal Bu Rika, susana kelas masih saja
sunyi selama beberapa menit. Mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing,
ada yang tidur, memperbaiki riasan wajahnya, nonton film, bercerita, dan masih
banyak lagi.
“Ngomong-ngomong, pelajaran sekarang apa sih?,” suara Riko memecah hening.
“Kimia,” sahut Arfi.
“Bu Silvi, ada nggak ?” Tanya Riko.
“Nggak ada,” kata Syafa.
“Fa…Syafa,” Risya menghampiri Syafa. Namun Syafa justru pergi meninggalkan
Risya.
Arfi yang memperhatikan hal itu kemudian bertanya kepada Risya, “Sya,
kenapa? Perasaan tadi kalian baik-baik aja”
“Nggak papa kok, lagi pms kali,” jawab Risya sembari tersenyum.
Jam pulang sekolah telah tiba. Waktu yang
sangat dinantikan oleh semua siswa. Koridor sekolah begitu ramai. Semua siswa
berlomba-lomba menuju gerbang surga yang mengantarkan mereka kepada kebebasan
yang sebenarnya. Namun tidak bagi dua orang yang sedang bercengkrama di taman
belakang sekolah.
“Udah lama, Ndra?”
“Nggak kok, baru aja aku duduk. Sini duduk !” kata Andra sambil
menepuk-nepukkan tangannya di atas bangku.
“Ada apa Ndra, kok tiba-tiba ngajak ketemuan?”
“Ada yang pengen aku kasih ke kamu,” kata Andra sambil menyodorkan sebuah
kertas kepada Syafa. Syafa menerimanya, dan Andra pun pergi meninggalkan Syafa.
“Cuman itu?”
“Iya. Maaf kalau ini udah ganggu waktu kamu,”
“Nggak papa kok, Ndra.”
“Aku tinggal yah, Fa,” Andra benar-benar pergi meninggalkan Syafa.
Kini hanya tersisa Syafa dan sebuah
kertas yang diberi Andra. Perlahan Syafa mulai membaca deretan huruf yang ada
di kertas itu.
Dear Nasya Faurazia,
Saat itu tanggal dua puluh lima November, bertepatan dengan hari guru.
Hujan mengguyur begitu deras membuat kita sama-sama terjebak di bawah atap
halte yang begitu kumuh. Atensiku hanya terpusat pada ribuan rintik yang
menghujami bumi, sama sepertimu. Kita berada dalam khayalan kita sendiri, dan
waktu terus berlalu meninggalkan kita.
Ketika hujan mulai pergi ,langit senja menjadi pengantar bagi kita untuk
memulai semua kalimat-kalimat canggung. Jujur saja, aku suka saat kamu
menanyakan namaku. Apakah aku kakak kelasmu dan mengapa kamu baru melihatku di
hari itu? Maaf saja, mungkin hari itu aku masih terlalu kaku berada di dekatmu.
Aku hanya belum terbiasa dengan keberadaan gadis lain di sekitarku.
Sama halnya ketika aku bertemu Risya, maaf karena aku membahasnya. Aku dan
Risya bertemu di waktu hujan, seperti kita. Saat itu entah mengapa aku merasa
sangat spesial berada di samping Risya, padahal tak ada satu huruf pun yang tertinggal sebagai tanda sapa di
antara kami. Begitu hujan usai, kami menempuh jalan kami masing-masing. Dan
seterusnya aku masih saja bertemu dengannya di waktu hujan, dan kami
benar-benar menjadi teman. Risya berbeda darimu yang tak pernah takut berkorban
untuk orang lain. Ia selalu menyimpan perhatiannya dalam diam. Aku menyukai
itu. Mungkin setiap penghujung tahun aku selalu bersamanya. Hingga Desember
pertama di tahun dua ribu lima belas, aku tak bertemu dengannya. Namun kamu
hadir menggatikannya di hari itu. Dan
kita pun menjadi teman. Siklus ini terulang padaku.
Aku tak tahu bahwa waktu menjadikan ku sebagai orang ketiga dalam
pertemanan kalian. Semua terlihat biasa saja, namun aku tahu itu adalah sampul
yang menghiasi kita.
Kau tahu, Syafa. Tak ada pertemanan yang begitu nyata di antara seorang
lelaki dan wanita. Hanya bibir mereka yang mengatakan bahwa mereka berteman,
tapi perasaan mereka tidak. Kamu, aku, dan Risya adalah contoh nyata dari semua
ini. Aku tahu tentangmu, terlebih dengan perasaanmu. Awalnya aku benar-benar
menyukaimu. Tapi semakin aku menyukaimu aku semakin bimbang dengan perasaanku,
dan ternyata waktu tak menempatkannya padamu. Ia memeberikannya pada Risya.
Aku benar-benar minta maaf untuk semua perhatian yang membuatmu berharap.
Aku tak bermasud seperti itu. Kita sama-sama tahu bahwa waktu mempermainkan
hati kita,dan kita bukanlah pemilik yang sebenarnya.
Dari sahabatmu, Diandra Praditma.
Tess tess.
Kertas itu basah bukan karena rintik hujan melainkan karena bulir-bulir
suci yang turun dari netranya.
“Hiks.. hiks.. aku benci… aku benci kamu, Ndra. Aku benci kamu, Sya.
Hiks..” isak Syafa sambil meremas surat itu.
Dua hari berlalu setelah
kejadian itu. Syafa benar-benar menjadi sosok yang cuek. Sekelas dengan Risya
membuat hatinya sekeras batu. Ia tak menyahuti panggilan dan sapaan dari Risya,
hanya orang tertentu yang ia gubris perkataannya. Perubahan Syifa begitu
dirasakan oleh semua orang, apalagi oleh Risya yang menjadi sasaran utama.
Saat jam istirahat Risya
langsung bangkit dari duduknya. Ia menghampiri Syafa, namun sang objek justru
menatapnya dengan sinis. Risya tak peduli akan hal itu, yang terpenting saat
ini adalah meluruskan semua kesalahpahaman di antara mereka. Ia menarik tangan
Syafa dengan paksa dan menyeretnya menuju taman belakang sekolah.
Syafa terus meronta tak terima atas perlakuan Risya. “Lepasih Sya, ini tuh
sakit,”
Risya tak mendegarkannya. Begitu sampai di taman belakang, Risya langsung
menghempaskan tangan Syafa.
“Maksud kamu apa sih nyeret-nyeret aku,” bentak Syafa
“Kamu dengar kan semuanya, Fa?”
Syafa pura-pura tak tahu, “Apa? Apa yang udah aku dengar?”
“Kamu dengarkan semua percakapan aku sama Andra di lapangan basket? Iyakan,
Fa? Jawab aku, FA!” marah Risya.
“Iya,”
“Fa, dengarin aku. Aku nggak….”
“Apa, Sya? Apa yang harus aku dengarin dari mulut kamu itu. Apa yang kalian
bicarakan di hari itu semuanya udah jelas. Andra sukanya sama kamu, bukan aku,
Sya,”
“Dan sekarang kamu lebih milih perasaan kamu ke Andra daripada pertemanan kita?,”
“Lima tahun aku temanan sama kamu, Fa. Kita jalanin semuanya sama-sama. Dan
sekarang, kamu lebih milih perasaan kamu,”
Air mata mengalir dari dua pasang mata yang berbeda. Hanya itu yang
menceritakan bagaimana sakit menghantui keduanya.
“Aku tahu, Fa, kamu kecewa, tapi asal kamu tahu kalau aku jauh lebih kecewa
sama kamu.” Risya pergi meninggalkan Syafa.
Seluruh siswa sekarang sedang
menikmati jam pelajarannya. Begitu banyak cara begi mereka untuk menikmati
semua itu, ada yang menikmatinya dengan cara tidur, ada yang berpura-pura menyahut
perkataan guru, ada yang diam saja tak menyahut, dan ada yang benar-benar
mendengarkannya. Andra termasuk salah
satu dari mereka. Pemuda yang duduk di pojok kelas XI IPA I ini memilih untuk
tak menyahut sama sekali. Ia terlihat sangat betah dengan posisinya saat ini,
tangan terlipat di atas meja dan pandangan menatap lapangan basket sekolahnya
melalui kaca jendela. Pikirannya berkecamuk memikirkan semua yang terjadi di
antara dirinya, Risya, dan Syafa, sampai-sampai ia tak sadar bahwa sudah satu
jam berlalu dan kini adalah saatnya untuk pulang.
“Ndra, nggak mau pulang?” tanya Farid, temannya yang sedang piket.
“Eh, udah pulang yah?”
“Kok malah balik nanya sih. Liat aja jam tanganmu,” kata Farid cuek.
Andra melihat jam tangannya, “Yaudah aku duluan ya, Farid”
Farid tak menjawab, ia hanya melirik Andra sekilas lalu melanjutkan
tugasnya kembali.
Andra menyusuri
koridor sekolah yang makin sepi. Pikirnya tak ada lagi orang di sekolah ini,
namun ketika melewati lapangan basket
Andra melihat Risya terduduk di sana.
“Risya?” Andra menghampirinya.
Andra kaget begitu Risya menoleh kearahnya. Mata gadis itu bengkak dan
memerah, “Kamu kenapa, Sya?”
Risya tersenyum, “Aku nggak papa, Ndra,”
“Bohong. Apanya yang nggak kenapa-kenapa, lihat mata kamu udah bengkak
kayak gini,” kata Andra sambil menangkupkan pipi Risya.
Risya melepaskan tangkupan itu, “Aku nggak papa kok, beneran.”
“Soal Syafa ya?”
Mendengar nama itu mata Risya kembali memanas, rasanya seperti ombak yang
melesak maju.
“Ndra…”
“Hm?”
“Kamu temen aku kan, Ndra?”
“Kok kamu nanya gitu sih, Sya. Aku ini jelas teman kamu,”
“Tapi aku ngerasa kalau kita nggak mungkin
bisa temenan,” kata Risya
“Dan aku yakin kamu juga sadar tentang itu.”
“ ……..”
“Kalau aja aku bisa ngulang waktu, aku nggak mau ketemu kamu, aku nggak mau
ngenal kamu, Ndra,”
“Jadi sekarang, kamu maunya apa?” tanya Andra.
“Aku ……. Aku nggak tahu, Ndra,”
“Aku bingung, Ndra, rasanya seperti aku terjebak dalam ribuan tahun yang
mencekam. Kamu dan Syafa bagaikan ruang yang mengurungku di dalamnya,”
“……..” keduanya diam.
Di tengah-tengah hening yang mencengkam, Syafa
melewati mereka. Ia begitu acuh, berjalan sambil mengangkat dagunya, sesekali
melirik sinis dua orang yang sedang duduk itu. Syafa tak sendiri, ia bersama
teman barunya, Arfi.
“Hai Sya, Ndra,” sapa Arfi.
“Berdua aja?”
“Yah, seperti yang kamu lihat,” jawab Andra.
Sementara Andra dan Arfi
saling menyapa, Syafa justru meninggalkan Arfi di sana.
“Ehh..ehh, Fa, tungguin dong, aku duluan, yah” kata Arfi berlari
menyusulnya.
“Yaudah, ayo kita pulang. Sekolah juga udah sepi, Sya. Nggak baik kalau
kamu terus-terusan sedih,” kata Andra. Risya hanya menanggapinya dengan
anggukan.
Di sebuah rumah yang megah
terlihat seorang pasutri dan anaknya yang sedang asyik mengobrol,
“Risya, gimana sekolahmu, Nak?,” tanya Pak Agung
“Emmm, baik kok, Pa,” bohong Risya, padahal air mata baru saja menghiasi
wajahnya beberapa jam yang lalu.
“Kamu nyaman nggak sama sekolah kamu?,” tanya Pak Agung tiba-tiba.
“Aku sih fine-fine aja pa. Emang kenapa, tumben banget Papa nanya
kayak gini?” kata Risya.
“Kita rencananya bakal pindah ke Medan, soalnya Papa kamu dapat promosi
dari kantor buat jadi direktur di sana,” Bu Ani datang membawa semangkuk buah
yang telah bersih dikupas.
“Uhuk…uhukk…” Risya tiba-tiba terbatuk. Bu Ani pun segera menuangkan
segelas air untuk diberikan kepada Risya.
“Pelan-pelan,” katanya.
“Terus kapan pindahnya?” kata Risya
“Lusa,” jawab Pak Agung.
Risya tiba-tiba bangun
meninggalkan ruang makan dan masuk kedalam kamarnya. Ia duduk merenung
memikirkan segala hal yang terjadi pada dirinya. Pikirnya begitu banyak masalah
datang menghampiri. Belum habis masalah hati dengan Andra, datang masalah baru
dari Syafa. Tak cukup dengan itu, kini waktu mengharuskannya untuk memilih tetap
di sini dan hadapi semua yang terjadi, atau pergi untuk melupakan segala yang
terjadi ?
“Mana yang harus aku pilih?” monolog Risya sambil menghempaskan tubuhnya di
atas kasur.
Ia menatap langit-langit
kamar tanpa kata. Menghabiskan sisa waktunya di hari itu dengan merenung hingga
lambat laun netranya memberat, menutup cahaya senja yang menyelinap masuk
kedalam kamarnya.
Keesokkan harinya, Risya
melakukan aktivitasnya seperti biasa. Kini ia dengan riang hati memasuki
gerbang sekolah. Tidur panjang semalam membuat dirinya melupakan sejenak
masalah yang terjadi.
“Hai Risya,” sapa Riko ketika Risya memasuki kelas.
“Hai juga,” jawab Risya.
Risya duduk di bangkunya. Ia
mengeluarkan beberapa buku pelajaran yang akan dimulai sebentar lagi. Begitu
bel berbunyi ramai siswa-siswi menghambur kedalam kelas. Mereka selalu sama
seperti hari-hari sebelumnya, menikmati waktu pelajaran dengan cara mereka
sendiri. Bagi mereka yang menganggap semua ini penting, mereka menikmatinya
dengan mengikuti semua pembahasan sang guru. Bagi mereka yang menganggap hal
ini biasa saja, yah mereka menikmatinya dengan cara yang biasa, kadang
memperhatikan kadang juga mengabaikan.
Risya menjadi salah satu di antara mereka yang menganggap hal ini biasa
saja. Risya kadang menyauti perkataan sang guru, kadang juga ia lebih memilih
menatap seluruh penghuni kelas untuk terakhir kalinya.
Setelah merenung kemarin
sore, Risya memutuskan untuk ikut orang tuanya pindah ke Medan. Ia ingin
menatap lamat-lamat seluruh teman kelasnya, berharap untuk hari ini saja jangan
ada masalah yang datang mengacaukan hari terakhirnya. Hari ini juga ia ingin
bertemu Andra dan bercerita panjang lebar dengannya. Semoga waktu bisa
mempertemukan mereka di kemudian hari.
Suara lonceng syurga mengalun
indah di sepanjang koridor sekolah. Kini saatnya bagi semua peghuni kelas
menikmati hal-hal di luar kelas. Risya memilih untuk mengunjungi Andra di
kelasnya.
“Andra nya ada?,” tanya Risya salah satu teman kelas Andra yang kebetulan
saat itu sedang berada di depan pintu.
“Oh ada kok, masuk aja,” katanya.
“Ah,,, bisa minta tolong panggilin, nggak?,” Risya malu untuk masuk kedalam
kelas Andra. Setelah kejadian di lapangan basket waktu itu, seantero sekolah
jadi tahu bahwa Andra menyukai Risya.
“Bisa kok… NDRA, ANDRA,” teriak temannya. Andra menoleh kearahnya, dan
netranya menangkap kehadiran Risya di sana. Andra segera keluar menemuinya.
“Ada apa, Sya? Tumben nyamperin kesini?,”
“Lagi pengen aja. Hehehe,” Risya cengengesan .
“Temenin ke rooftop, yuk,” ajak Risya, Andra hanya mengangguk
sebagai jawaban.
Sesampainya di rooftop,
mereka menikmati hembusan angin yang begitu kencang. Risya menutup matanya,
membiarkan wajahnya habis diterpa angin. Andra hanya memperhatikan lamat-lamat
wajah ayu Risya dari samping. Tanpa sadar rentetan huruf keluar dari mulutnya,
“Cantik,”
Risya bingung dengan apa yang dikatakan Andra, “Kamu ngomong apasih, Ndra
?”
“Apa? Aku ngomong apa? Oh.. itu langitnya cantik,”kata Andra gelagapan.
“kayak kamu,” sambungnya dalam hati.
“Ohhhh….” merasa paham Risya hanya ber-oh ria.
“Aku minta kamu kesini karena aku mau pamitan sama kamu,” kata Risya tanpa
menatap Andra.
“Maksudnya ?” bingung Andra
“Besok aku sekeluarga bakalan pindah ke Medan,” jelas Risya.
“Kapan kamu bakal balik kesini lagi?”
“Ngga tahu, mungkin nggak balik-balik,”
“Ndra, maaf yah,” kata Risya tiba-tiba.
“Untuk ?”
“Semua. Maaf karena udah hadir dalam kehidupan kamu, maaf aku pura-pura
nggak tahu sama perasaan kamu, maaf karena aku nggak bisa jadi teman yang baik
buat kamu,”
“Masih inget nggak hari dimana aku ngajak kamu ketemuan di kafe?,”
“Ya, emang kenapa ?”
“Aku sadar waktu itu adalah Desember ketiga yang nggak kita lalui sama-sama
kayak dulu. Hari itu aku cuman pengen hubungan pertemanan kita baik kayak dulu,
tapi kamunya cuek banget terus ninggalin aku sendiri,” ocehrnya, Andra hanya
mendengarkan.
“Eh, Ndra.”
“Hm?”
“Syafa cantik yah ?”
Andra mengikuti arah pandang Risya.
Gadis itu rupanya sedang memperhatikan Syafa di bawah sana . “Ya, tapi kamu
masih lebih cantik,”
“Apasih Ndra, gombal.” Katanya malu.
“Besok berangkat jam berapa ?”
“Jam delapan,”
“Mau dianter nggak ?”
“Nggak usah, nanti kamu ketinggalan pelajaran lagi,” tuturnya.
Andra melirik jam tangannya, “ Eh bentar lagi bel masuk. Balik ke kelas,
yuk,”
“Emmmm,” Angguk Risya.
Hari-hari dilalui Andra dengan sewajarnya. Tak ada yang spesial, setelah
semua masalah yang menghampirinya, hidupnya kini lebih monoton. Tapi setidaknya
inilah yang terbaik bagi mereka. Semoga saja mereka masih bisa bertemu di lain waktu.
Kini sudah seminggu setelah kepergian Risya ke Medan. Jika Andra menjalani
hidupnya dengan biasa-biasa saja, lain lagi dengan Syafa yang kebingungan
lantaran tak pernah menemukan Risya di kelas. Saat ia bertanya kepada temannya
pun, tak ada yang tahu. Karena rasa penasarannya, Syafa dengan berani
menghampiri Andra.
“Ndra,” panggilnya
Andra menoleh, melihat siapa yang memanggilnya.
“Dimana Risya?”
“Bukan urusan kamu,” Andra berniat meninggalkan Syafa. Tapi sebelum itu
Syafa kembali berbicara,
“Kamu bilang bukan urusan aku? Aku ini juga temannya Risya, Ndra,” Syafa
menaikkan nada bicaranya.
“Coba ulang, teman katamu? Cihh…” Andra mendecih.
“Nggak ada teman yang bakal buat temannya sendiri nangis,” kata Andra tegas
“Aku tahu aku salah Ndra, kasih tahu aku dimana Risya,” mohon Syafa.
“Nggak ada gunanya aku kasih tahu kamu, semuanya udah berlalu. Risya juga
udah maafin kamu,”
“Aku mohon, Ndra….”
Andra menarik nafas, tak tega melihat Syafa memohon kepadanya, “Risya udah
pindah ke Medan sejak seminggu yang lalu,” jelas Andra.
Syafa kaget bukan main, “Nggak usah bercanda, Ndra,”
“Aku serius. Nggak ada gunanya aku ngebohongin kamu,” kata Andra lalu
meninggalkan Syafa yang tertuduk lesu.
“Hikks.. hiksss aku salah, maafin aku Risya. Seharusnya aku nggak seegois
ini, harusnya aku lebih mikirin peretemanan kita daripada perasaan labil aku..
Aku salah, aku minta maaf Risya, hikss, hikks..”
( Epilog)
Di sebuah taman di kota Medan,
terlihat Risya sedang duduk disalah satu kursi taman dengan sebuah buku dipangkuannya.
Tangannya sibuk membuat goresan tinta di atas lembar cokelat untuk mewakili
persaannya.
Dear My self, Maura Anggun Farisya.
Aku memulai sesuatu yang tak
seharusnya ku mulai. Aku membiarkannya berlalu, mengalir dengan hidupku. Aku
berusaha mempertahankan apa yang harusnya kupertahankan, tapi waktu yang
kupunya mengulurku pada saat yang berbeda. Aku memilih untuk mempertahankan sesuatu yang justru membuat kami sama-sama terluka.
Aku layaknya batu yang diterpa ombak, semakin rapuh setiap saat. Aku
memikirkan perasaan orang lain sampai aku lupa pada persaanku sendiri. Tapi aku
bersyukur, jika seandainya waktu mendatangkan hal yang sama dengan sesuatu yang
berkebalikan, aku mungkin akan menjadi orang
yang lebih dewasa.
Aku tak bisa menyalahkan apapun dan siapapun. Waktu itu mati, ia tak pernah
berpikir seperti apa manusia ketika menjalani hidupnya. Ia hanya bisa berputar,
mempertemukan dan memisahkan. Di akhir titik yang memisahkan manusia mungkin
akan terus berharap untuk dipertemukan kembali, sama seperti aku.