Udara terasa menyejukkan kala itu, dimana langit masih
terlihat biru dan dibubuhi oleh cerahnya mentari. Aku tersenyum ketika
merasakan lembutnya hempasan angin yang menerbangkan dedaunan dan menciptakan euforia yang merdu bagaikan kicauan
burung dipagi hari.
Oktober,2070.
Aku terbangun dalam ruangan yang menyesakkan yang memberikan kehidupan dan oksigen
untukku bernapas. Menatap kearah jendela membuatku mendengus lucu, disana
terdapat berbagai wallpaper flora dan
fauna dan beberapa keindahan alam
lainnya yang dapat kuubah sesuai keinginanku. Tapi sayang, itu semua palsu, semu. Entah dimana hilangnya semua
keindahan dulu yang selalu disia-siakan oleh manusia.
Aku melangkahkan kakiku diatas
lantai yang terasa dingin, entah kenapa aku merindukan sarapan dengan telur dan
sayur kesukaanku sewaktu kecil, tak lupa meminum susu yang terasa manis hingga
tandas tak tersisa sebelum berangkat menuju sekolah lalu melambaikan tangan
kepada ibuku dan menyambut hari dengan senyuman yang cerah.
Aku menggelengkan kepala ketika mengingat
kenangan sewaktu aku kecil dulu, saat semuanya masih terasa alami tanpa semua
unsur kepalsuan ini. Kembali ku langkahkan kakiku menuju dapur dan melahap
sarapanku. Bahkan aku sendiri tak ingat definisi apa itu makanan, bubur lengket putih yang jika kau makan dapat
berubah rasanya sesuai keinginanmu. Bukankah terlihat canggih? Mungkin kalian
iri padaku. Tapi tidak, ini tidak se-nikmat yang kalian lihat. Ini menjijikkan.
Perlahan-lahan kupaksa makanan itu
masuk kedalam mulutku hingga habis.
Aku tak perlu repot-repot mencuci
piring, baju, menyapu rumah ataupun melakukan pekerjaan melelahkan lainnya. Aku
tinggal me-reset ulang barang-barang itu, maka semuanya akan terlihat baru
lagi. Entah itu pecah ataupun terbakar, semuanya akan kembali pada bentuk awal
saat pertama kali aku membelinya.
Kemudian, ku isi gelasku dengan gas
berwarna biru cerah dari dalam tabung berwarna-warni disamping rak piring yang
jumlahnya hanyalah tiga ataupun empat. Kalian tau sendiri aku hanya membutuhkan
satu, lantas untuk apa aku membelinya lagi? Itu semua karna aku bosan dan muak
memakai piring yang sama berkali-kali tanpa dicuci, aku hanya merasa menjilat
sisa makananku sebelumnya. Sebut saja aku boros, aku tak peduli. Lagipula uang
tak ada artinya dihidupku.
Aku sedikit menyunggingkan senyuman
ketika rasa minumanku seperti jus mangga buatan ibuku dulu, lembut sekali
teksturnya, ah aku dapat merasakannya sekarang. Sungguh luar biasa teknologi
jaman sekarang, tapi aku sama sekali tak berminat hidup di jaman ini, aku ingin
kembali ke masa kanak-kanakku dulu.
***
Ini semua terjadi pada pertengahan
tahun 2060, saat aku masih berumur dua belas tahun. Seluruh siaran televisi sedang
berlomba-lomba menyiarkan berita tentang perang ketiga yang akan terjadi pada bulan
Juli esok hari. Aku dengan asyik menontonnya ditemani pisang goreng buatan ibuku
yang paling enak, lalu kakakku dengan santai ikut-ikutan menonton sambil melahap
pisang goreng satu-persatu bersamaku. Tiba-tiba ayahku datang dan mengganti
siaran televisi dan menonton tayangan bola favoritnya.
“Ayahhh, kok ganti tiba-tiba? Lagi
seru tau yah.” Aku memprotes ayahku dengan mulut yang dipenuhi dengan pisang goreng.
“Iya yah ! Itu kan lagi ngebahas Tesla Death Ray yang berhasil ditemuin designnya. Ihh alat itu kan,
kayak mustahil aja gitu adanya.” Kakakku dengan semangat menjelaskan alat yg
membuatnya tertarik itu.
“Lagian kalian mentang-mentang lagi
liburan sekolah. Santai banget ya gak belajar, leha-leha kek sapi. Itu juga berita bohong gak usah dinonton apalagi
dipercaya.” Ayahku malah mengomeli kami berdua.
“Ssstt, udah udah ayo ini makan
saladnya, sudah ibu buat dengan sepenuh cinta dan kasih saying.” Ibuku mencoba
mengalihkan pembicaraan.
Kami melewati malam itu dengan penuh
tawa ditemani oleh semangkok besar salad yang berisi buah-buahan segar hasil
panen perkebunan di belakang rumahku. Sesekali abangku akan mengejek kakakku
yang menyukai seniornya di SMP. Aku hanya terdiam sesekali ikut tertawa.
Pikiranku melayang memikirkan Tesla Death
Ray, bagaimana bila semua itu sungguhan terjadi?.
Pagi itu aku bergegas menghabisi
sarapan dan susu kesukaanku, tak lupa mengecek kembali penampilanku di depan
cermin, aku terlihat cantik dengan balutan rok biru baruku. Ya ini hari
pertamaku di Sekolah Menengah Pertama, aku tak sabar bertemu teman-teman baru,
suasana baru, hingga ehem jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Harusnya hari itu adalah hari
bahagiaku, tapi entah kenapa saat menginjakan kaki pertama kalinya di sekolah
baruku, langit berwarna sedikit gelap. Aku berbalik badan hendak melambaikan
tangan kepada ayahku sebelum menyambut hari baru tapi dengan secepat kilat
sekelebat gelombang elektromagnetik
berfrekuensi tinggi menerjang seluruh permukaan Bumi disertai dengan guncangan
yg mematikan menghempaskan seluruh manusia yang tidak sempat berlindung.
Aku menangis sambil berlari hendak
menggapai mobil ayahku yang terbalik ditepi jalan. Namun, dengan sigap guruku
menahan tubuhku agar tidak keluar dari gerbang sekolah. Air mataku mengalir
dengan sangat deras saat itu, aku hendak melihat keadaan ayahku, aku ingin
menyelamatkannya, tapi semuanya menahanku. Aku mohon untuk terakhir kalinya
izinkan aku keluar dari sini.
Tepat tanggal 14 Juli perang dunia
ke-tiga pecah, ada sebongkah meteor jatuh dan seluruh Negara berlomba-lomba
hendak memiliki meteor itu yang kudengar memiliki kekuatan tak masuk akal, sama
tak masuk akalnya ketika ayahku tewas begitu saja di tepi jalan. Kalian pasti
bertanya-tanya mengapa aku selamat? Aku tentu saja selamat karena semua gedung
pembelajaran telah dilengkapi oleh pengaman paling canggih pada zaman itu,
bahkan nyamuk pun tak bisa melewati sensor pengaman, hal itu terjadi karena
banyaknya anak-anak yang menjadi korban gempa bumi dan tewas di gedung sekolah.
Sedangkan jalanan ataupun pemukiman hanya memiliki sensor pengaman anti
kebakaran. Itulah mengapa seluruh orang dewasa meninggal dan menyisakan
anak-anak lugu yang sudah sampai di sekolah. Aku yatim piatu sejak saat itu.
Entah apa yang terjadi, kita semua
digiring menuju aula sekolah, hendak berlindung. Semua anak menangis dan
memanggil-manggil orang tuanya, dan salah satunya adalah aku. Umurku masih
teramat muda untuk menerima fakta bahwa semua anggota keluargaku tewas begitu
saja, aku sendirian di dunia ini. Bukankah terdengar amat menyedihkan?
Kami bertahan berhari-hari, memakan
makanan seadanya yang tersedia di kantin dan beberapa sayuran di halaman
belakang sekolah. Aku mulai melupakan kesedihanku, dengan amat bahagia ku
memakan sarapanku yang telah ku masak sendiri hingga akhirnya orang-orang berseragam
lengkap dengan membawa senjata meneriaki kami.
“Semuanya
harap tenang, kami tidak akan menyakiti kalian bila kalian menurut.” Ucap
seseorang berwajah tampan yang menurutku adalah pemimpin mereka.
“Kyue,
aku takut sekali. Gimana kalo mereka nembakin kita sampe mati?.” Ujar Salsa, temanku.
“Udah
santai aja, yang penting gak usah ngelawan, nurut aja. Kan selesai urusannya.” Ucapku
menenangkan.
“Kami
disini akan memilih beberapa anak yang berpotensi memiliki kekuatan yang dapat
diandalkan, jadi mohon untuk semuanya berdiri dan diam.” Perintah pemimpin
mereka dengan suara tegas.
Mereka menempelkan alat aneh pada
leher kami satu-persatu, dan alat itu akan mengeluarkan warna sesuai kekuatan
kami. Hijau untuk kehidupan, merah untuk penyerang, hitam untuk kematian, kuning
untuk membuat pelindung dan coklat untuk orang yang normal. Beberapa anak
terpilih untuk dijadikan pasukan oleh mereka. Hingga akhirnya giliranku, alat
itu menempel erat pada kulit leherku, seketika alat itu berwarna putih cerah.
Orang-orang kaget melihat warnaku, terutama pemimpin mereka. Orang yang
memasangiku alat aneh itu dengan segera melepasnya dan memeriksa anak lainnya
dengan terburu-buru. Aku bernafas lega, akhirnya aku tak dipilih.
Anak-anak yang terpilih digiring
dengan kasar keluar aula. Aku menundukan kepalaku dan melihat sarapanku telah
hancur terinjak-injak. Saat aku hendak membereskannya, dengan kasar tanganku
ditarik oleh pemimpin mereka dan digiring bersama anak yang lainnya.
“
Salllll, tolonggg, aku gak mau ikut mereka, aku gak mau.”Aku menangis sambil
melepaskan tangannya dariku.
“Diam!
Atau kau akan pingsan.” Ujarnya memelototiku.
“Tolong
lepasin aku, aku gak mau ikut, aku gak punya kekuatan apapun, aku mohon.”
Ucapku memohon belas kasihan.
Dengan secepat angin tubuhku terasa
panas dan aku pingsan saat itu juga. Dan aku tak tau nasib apalagi yang akan
menantiku, seorang yatim piatu.
Aku membuka mataku dan ku lihat
ruangan kumuh di sekitarku. Ku pandangi sekelilingku dan ku dapati beberapa
anak lainnya. Beberapa ada yang memar dibagian wajah, kakinya berdarah bahkan
kepalanya bocor. Aku meringis ngilu melihatnya. Tak lama kemudian, terdengar
langkah kaki kearah ruanganku.
Tong
tong tong “ Bangun semuanya bangun. Nih !!! makan sampai habis awas ada yang
tersisa se-butir nasi pun!.” Dia
melemparkan piring-piring makanan kami dengan kasar sambil berteriak-teriak.
Setelah menghabisi makanan dengan
penuh ketidakseleraan, kami pun dengan segera diarahkan menuju suatu ruangan
yang biasa aku sebut ‘aula’ tapi ini berbeda, ada lorong-lorong berwarna-warni
disini dan ku akui cukup menakjubkan. Satu-persatu teman-temanku memasuki
lorong itu sesuai warna kekuatannya. Saat aku berjalan didepan lorong-lorong
itu, tiba-tiba semua lorong berpendar membentuk warna putih dan aku kebingungan
untuk memasuki lorong sebelah sana. Aku ditarik paksa menuju ruangan yang
dinding-dindingnya terbuat dari cermin. Aku tak tau harus berbuat apa dan aku
memutuskan untuk istirahat sejenak walaupun seluruh tubuhku kotor dan berbau
keringat.
Kurasakan pipiku yang sedang dielus,
aku pun dengan perlahan membuka mataku dan kudapati seorang laki-laki yang bila
tak salah kuingat merupakan pemimpin para pemberontak tadi.
“ Hey bocah, cepatlah bangun. Aku tak punya waktu
untuk hal-hal seperti ini.”
“
Ya?.”Aku yang masih belum sadar sepenuhnya hanya bisa menjawab seadanya.”
“
Cepat ceritakan kepadaku kenapa kau bisa memiliki semua kekuatan!.” Pipiku
ditekan olehnya dan dipaksa untuk menjelaskan semua keanehan yang ada pada
diriku.
“aku
tak tau apapun, tolong lepaskan aku”. Aku hendak menangis menjawab gertakannya.
Aku dipukuli habis-habisan olehnya
dan aku hanya bisa pasrah bila aku akan mati saat ini juga. Aku tak peduli
lagi, aku sendirian di dunia yang mengerikan ini. Kepalaku terasa pusing dan
akhirnya aku jatuh pingsan untuk kesekian kalinya.
Bertahun-tahun kekuatanku dilatih
olehnya –Forhes, aku diajarkan bagaimana cara menggunakan kekuatanku dengan
maksimal tanpa kelelahan. Aku baru tau satu fakta ditahun pertama mengenal Forhes,
umurnya hanya terpaut lima tahun denganku dan itu membuat kami nyambung untuk
mengobrol. Kami mulai terbuka hari demi hari dan itu membuat perasaan aneh ini
muncul untuk pertama kalinya.
“Kak
Forhes mau dibuatin sarapan apa?.” Aku berteriak sekencang mungkin dari arah
dapur.
“Apapun
itu yang menurutmu enak Kyue.” Kak
Forhes balas meneriaki dari kebun belakang.
“Huh
selalu saja seperti ini, sebenarnya dia itu suka makanan apa sih! Semuanya
dimakan!.”
“Tidak
usah menggerutu seperti itu, cepatlah buatkan aku makanan. Kau tak lihat
keringatku ini? Sudahlah aku mau mandi dulu.” Kak Forhes mengagetkanku.
Ya begitulah kehidupan kami selama
tiga tahun lamanya dalam proses pelatihan pengendalian kekuatan di sebuah
gunung yang jauh dari kehidupan manusia. Maklum saja, setelah keberadaanku
diketahui, para elite global berusaha mengincarku untuk mempermudahnya
mengambil alih dunia.
Saat
umurku 17 tahun, aku diberitahu satu hal penting dalam hidupku, yaitu tentang
kejadian 5 tahun lalu, peristiwa yang merenggut nyawa kedua orangtuaku.
Ternyata meteor jatuh itu bohong, itu hanya akal-akalan elite global saja.
Mereka menggunakan Haarp dan Tesla Death Ray untuk melakukan
pengurangan populasi agar mereka dengan mudah mengambil alih dunia. Aku
membenci mereka dan tidak akan pernah mau bekerja sama dengannya.
“Kyue, kalau suatu saat nanti elite
global mampu melacak kita, aku mohon pergilah menuju Pent Penzhulu. Disana
adalah tempat ter-aman selama aku melakukan ekspedisi.” Forhes memberitahuku
sambil mengelus lembut rambut panjangku.
“Siap komandan! Nanti Kyue yang
bangun rumah super besar disana pakai kekuatan yang sudah dilatih Kak Forhes 5
tahun.” Dengan semangat aku menyahutinya.
“Jadilah anak baik disana ya, Yuyu”. Kak Forhes tersenyum dengan
sangat tulus untuk pertama kalinya dan sungguh perasaan aneh ini semakin terasa
mengganjal.
Aku
bisa memasak tanpa menggunakan kompor ataupun pisau, tinggal menggerakan jari
semuanya bergerak sesuai keinginanku. Memotong, mengiris, menggoreng,
menumbuhkan tumbuhan, menyalakan api, dan semuanya terlihat lebih mudah.
Setahun
kemudian, tanpa ada persiapan apapun, para elite global berhasil mengepung
kami. Aku dan kak Forhes kewalahan menahan semua serangan. Aku kehabisan tenaga
dan begitu pula dengannya. Hidungku mengeluarkan darah dan dia berhasil
menangkap itu semua.
“kamu pergi ke Pent Penzhulu ya?
Biar saya yang mengalihkan mereka”. Dia
mencengkram erat lenganku, aku menggeleng kuat dan tentu saja aku tak mau
meninggalkannya sendiri dengan beratas-ratus monster ini dan dia tanpa rasa
takut memberiku anggukan yakin.
Aku
belum menguasai teknik berpindah tempat. Dia dengan secepat kilat berlari
berlawanan arah dariku sesaat setelah menyentuh dahiku hingga mengeluarkan
cahaya keabuan.
“ I love you. Hidup dengan baik ya
disana”. Aku melihatnya meneteskan air mata untuk pertama kalinya sebelum
benar-benar meninggalkanku. Dapat ku lihat timah panas bertubi-tubi
menghantamnya sebelum aku benar-benar menghilang dan mendarat dengan sempurna
didepan sebuah rumah sederhana.
Aku
terduduk menangis tersedu-sedu mengingat semua itu. Dadaku sesak tak
tertahankan. Kemudian untuk kesekian kalinya, aku berjalan menuju lingkaran
hitam tepat di depanku. Mencoba berulang kali kekuatan hitamku, kematian. Aku lelah terus bertahan hidup
bertahun-tahun dalam kesendirian. Ku injakan kakiku sekuat mungkin kearah tanah
yang sudah mengering akibat ulahku sendiri lalu cahaya hitam menyelimutiku
perlahan, rasanya sungguh menyakitkan tapi aku tak akan berteriak ataupun
menangis. Aku lelah akan semua ini.
“ oh tuhan, kumohon untuk kali ini
saja. Biarkan aku mati”. Tubuhku serasa dihisap kedalam lubang berwarna hitam.
Aku berharap di kehidupanku berikutnya, aku menjadi orang yang biasa saja yang
dapat hidup bahagia bersama Forhes. Tittttttt_____________
Tidak,
aku tidak akan mati secepat itu walaupun aku berusaha sekuat mungkin, aku akan
mati untuk 10 detik, kemudian akan dihidupkan kembali oleh kukuatan hijauku,kehidupan. Aku harus menghabiskan sisa hidupku
didalam rumah yang sudah ku beri tameng berlapis-lapis yang pastinya tidak ada
kekuatan apapun yang dapat mengusikku. Sungguh menyedihkan. Andai saja Kak
Forhes masih hidup dan aku dapat kembali ke masa lalu, 10 tahun yang lalu. Aku
ingin menghentikan elite global sebelum semuanya berakhir seperti ini.
“ Aku hanya ingin mengatakan bahwa
aku mencintai Kak Forhes sejak pertama kali aku melihatnya dan terima kasih
untuk mencintaiku”.
***
“Yu aku
disini, kumohon keluarlah dari tamengmu”.
Kyue tak
akan pernah tau, fakta bahwa Forhes masih hidup dan Forhes tak akan pernah tau
bahwa Kyue menganggapnya telah tewas.
Definisi
atau arti kata anomali berdasarkan KBBI Online:
anomali /ano·ma·li/ n 1 ketidaknormalan;
penyimpangan dr normal; kelainan; 2 Ling penyimpangan
atau kelainan, dipandang dr sudut konvensi gramatikal atau semantis suatu
bahasa; 3 Tek penyimpangan dr keseragaman sifat
fisik, sering menjadi perhatian ekplorasi (msl anomali waktu-lintas, anomali
magnetik)