Hari ini adalah hari yang sunyi,
Gazka menatap atap kamarnya, kamarnya hening seolah-olah dunia sedang tidur
nyenyak, dan satu-satu sumber suara adalah AC rusak yang menetes air.
“Aku harus memperbaikinya.”
pikirnya. Badannya tidak bisa bergerak, seperti batu. Dia mencoba mengedipkan
matanya untuk sadar, tetapi badannya tidak mau bergerak. Seperti ada di alam lain
rasanya dan ada hal supranatural disana.
Dia mengerang, lama kelamaan suara
tetesan air membuat Gazka merasa gila.
Tck.
Tck.
Tck.
Lalu, suara bising alarm keras mengganggu pikirannya
dan membuatnya sadar lagi. Dia bangkit, walaupun tadi dia sempat tidak bisa
bergerak. Dia merapikan rambutnya yang kusut lalu ia bergegas untuk cepat-cepat
mematikan alarmnya supaya tidak membangunkan Ibunya yang sedang tidur di kamar
sebelah.
“Enyahlah, argghh.”
Gazka melempar alarmnya yang tebal dan
butek itu lalu kembali tertidur lagi. Semenjak adiknya telah wafat Gazka telah berubah 180 derajat. Lelaki
yang dulunya senang bergaul dan bersosialisasi sekarang menjadi dingin dan mati
rasa. Sayangnya Darma meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan tragis yang
melibatkan Gazka. Gazka dihantui oleh hantu masa lalunya dan akan selamanya merasa
bersalah atas kematian adiknya. Setiap hari dia merasa tersiksa, ayahnya selalu
mengingatkannya bahwa kematian Darma adalah kesalahannya. Jelas bahwa ayah Gazka hanya merindukan Darma, tetapi dia
merasa tidak perlu menyalahkan semuanya padanya.
Sekarang yang dilakukan Gazka hanyalah tidur untuk melarikan
diri dari kenyataan yang pahit.
“Gazka, bangunlah! Sarapan sudah dibuat,
nak!” Teriak Ayahnya dari ruang tamu. Gazka bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas untuk mendatangi
Ayahnya. Dia melihat sebuah sandwich diatas meja ruang tamu yang ditemani
Ayahnya yang sedang duduk di depan TV, laptop di pahanya dan minuman keras yang
berwarna kuning di tangan kanannya. Gazka menyapanya selamat pagi dan mengambil sandwichnya untuk dimakan di
kamar.
“Kau mau kemana?” Tanya ayahnya.
Dia bahkan tidak bisa melepaskan matanya dari laptopnya untuk melihat muka anak
satu-satunya.
“Ke kamar.” Gazka jawab dengan nada yang datar. Mendengar itu, mata ayahnya melesat
ke atas untuk menatap wajah anaknya untuk pertama kalinya.
“Kenapa? Masih pagi, ngapain tidur lagi. Cobalah kamu seperti temanmu yang
keriting itu. Ayah kemarin ketemu dia lagi lari pagi di jalan.” Bilang Ayahnya
sambil minum alkoholnya sambil mengetik di laptop yang lebih mahal dari harga
uang sekolah bulanan Gazka, keyboard laptop Ayahnya mengeluarkan suara klik-klik keras yang
membuat Gazka muak.
Gazka berputar balik dan mengabaikan suara teriakan Ayahnya.
“Kembalilah ke sini, Gazka! Kalau kamu tidur lagi, akan aku kunci kamu di kamar!”
Tak
mengindahkan perkataan ayahnya, ia lebih memilih membanting pintu kamar tidurnya dan kembali tertidur.
—
Gazka terbangun, suara ledakan yang dahsyat mendering gendang
telinganya, dia melihat di sekitarnya dan tercengang.
“aku dimana?”
Dia bangun dari ranjang tidur yang
bukan miliknya dan berlari ke kaca dekat lemari kuno asing. Badannya mulai
bergetar melihat pandangan di depan wajahnya, ia memakai baju tidur aneh yang merasa gatal di badannya dan
rambutnya dipotong pendek dan bercorak aneh, dia tampak seperti anak alim. Gazka mulai panik, dimanakah dia dan
mengapa dia terlihat seperti ini? Apakah Ayahnya telah menjualnya dan dijadikan
budak tempat aneh ini?
Suara ledakan dapat terdengar di
kejauhan dan dia mulai panik lagi.
“Gazka dimanakah kamu? Turunlah dari
kamar, nak!”Gazka mulai berdebar dengan keras, dia cepat-cepat mengambil sepatu
busuk yang ada di dekat ranjang tidurnya dan dengan bodoh dia melompat dari
jendela kamar itu.
“Sial,” Gazka menangis kesakitan sebelum bangkit
lagi dan berlari jauh dari tempat itu.
Kota sedang berkabut, langkah
kakinya bergema dan kotanya sepi, seperti kota hantu yang terlupakan. Tetapi ia
bisa mendengar suara teriakan orang-orang di sekitarnya dan suara ledakan yang
membuat tubuhnya dan semua yang disekitarnya bergetar. Sambil berjalan, Gazka melihat sebuah gedung kecil yang
sudah runtuh, di luar gedungnya ada bunga-bunga yang sudah layu dan sebuah
banner yang terbuat dari kayu. Dia melihat lebih dekat dan menyadari bahwa
gedung itu adalah sebuah café.
Dia melangkah ke dalam café
tersebut dan melihat seorang laki-laki muda seumuran dia yang sedang duduk
sambil membaca koran. Ia memakai jas dan celana panjang kebesaran yang membuat
dia tampak seperti anak kecil, dan rambutnya yang panjang itu diikat ketat, dia
terlihat sangat kuno.
“Erm, permisi, bolehkah aku berbicara sebentar?”
“Maaf, aku sedang tidak ada uang, jangan minta-minta kepadaku.” Suara orang itu membuat Gazka kaget. Sepertinya dia perempuan.
Gadis itu menggeram. Dia menatap Gazka dari atas ke bawah dan melanjutkan
membaca korannya, Gazka berdiri seperti orang
kebingungan di depan gadis itu dengan baju piyamanya yang bermotif garis garis.
“Aku bukan mau mengemis uang,”
Gadis itu terdiam, dia melipat korannya dan menatap mata Gazka.
“Erm, apa yang sedang terjadi di
luar?” Tanya Gazka dengan polos. Gadis itu menatap Gazka dengan ekspresi yang kesal. Aduh,
sepertinya dia telah mengganggu perempuan cantik di depannya.
“Kamu bodoh atau bagaimana hah?”
“Maaf, aku punya amnesia.” Dia berbohong. Gadis itu menggelengkan kepalanya
sambil tersenyum dan menunjuk ke tempat duduk di sebelahnya. Gazka duduk di sebelah gadis itu dan melihat
wajahnya yang penat dan sedih.
“Ada perang.” Jawab perempuan itu
dengan suara monoton.
Gazka hanya bisa tampak tercengang.
Gazka melihat sekeliling cafe tak berwarna dan menjemukan, dindingnya
sudah retak dan tempat duduknya sudah kusam dan berdebu. Dan secara tiba-tiba,
sebuah ledakan meraung dari jauh, mengguncang seluruh cafe.
“Erm, ini tahun berapa dan dimana
kita?”
Perempuan itu tertawa dan membetulkan jas dia yang tebal itu. “Ini tahun 1939 dan kamu sedang berada di London.”
Mata Gazka membesar. Dia bukan ada di tahun 2022 lagi, tetapi di tahun 1939. Itu tidak masuk akal sama sekali,
bagaimana dia bisa kembali ke masa lalu? Dada Gazka mulai merasa sesak, dia merasa
ingin pingsan, penglihatan dia buram dan mata dia mulai berkaca-kaca.
“Apakah kamu baik-baik saja?” Tanya
perempuan cantik itu, Gazka hanya bisa tertawa dan menggelengkan kepala. Dia mungkin seperti
orang gila, rambutnya yang dipotong tidak karuan, bajunya yang tidak layak, dan
perilaku dia yang kebingungan.
“Ini-ini tidak masuk akal,” Bisik Gazka, Perempuan itu menatapnya kebingungan.
“Jangan bohongi aku! Aku tahu ini pasti ulah Ayah ku, aku telah diracuni
olehnya dan sekarang aku diperbudak di kota aneh ini.” Teriak Gazka, sambil membanting tangannya ke
meja. Perempuan itu mulai marah, ekspresinya telah berganti dari kesal ke
marah.
“Eh, jangan coba-coba ya, kamu! Memang kamu pikir kamu siapa? Aku bahkan tidak
kenal kamu atau ayah kamu,” Perempuan itu terengah-engah.
“Nih, kalau tidak percaya, bacalah.” Perempuan itu memberikan Gazka selembar dari koran yang tadi ia
baca. Walaupun sebagian besar dalam bahasa Inggris dan dia tidak bisa bahasa
Inggris, Gazka masih bisa membaca tanggal dan tahun diujung koran itu.
“Memangnya kamu kenapa?” Tanya perempuan itu dengan
polos, Gazka hanya bisa terdiam.
“Aku baik-baik saja.” Dia berbohong, his hands started to get clammy and his
body started to sweat katanya
dalam hati.
“Kamu butuh bantuan medis tidak? Apakah kamu terluka?” Gadis itu bertanya
sambil berdiri dan merapikan bajunya yang berkerut.
“Tadi aku sempat terjatuh.” Gazka menunjuk ke lututnya yang tergores dan berlumpur dan perempuan
itu memegang lututnya dan melihat goresannya dengan lebih dekat.
“Itu saja?”
“Erm, iya.” Gazka tertawa, perempuan ini membuatnya malu. Dia mengambil perban di
laci depan dan mulai membalut kakinya dengat erat. Gazka memperhatikan mukanya perempuan
itu, dan wajahnya tampak kosong. Dia berpaling, seolah terintimidasi oleh sikap
dinginnya.
“Nama aku Jolinne. Tapi Joi juga bisa” Katanya, dengan suara monotone.
“Itu nama yang unik, namaku hanya Gazka.”
Joi tertawa, sambil membalut kaki Gazka.
“Itu nama nenek ku,” Kata Joi, Gazka mengangguk kepala dan mengagumi perban yang ada di lututnya. Joi
berdiri lagi untuk melihat diluar jendela café. Kotanya sudah sunyi, tidak ada
suara ledakan atau teriakan orang lagi yang membuat Gazka merasa tidak nyaman.
“Apa yang terjadi tadi, diluar?”Gazka menyahut dari belakang, sambil
memegang erat lututnya yang diperban. Joi hanya bisa melamun, dia terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan Gazka.
Café sempat hening sebentar,
sebelum suara Joi mengisinya.
“It’s the Germans,”
“Jadi, Jerman yang membom London?” Tanya Gazka dengan polos, Joi menganggukkan kepalanya dan kembali duduk
bersama Gazka. Mukanya pucat, dan ekspresi dia lelah. Mungkin dia khawatir, pikir Gazka.
“Kita di ujung London, jadi berterimakasih lah kita tidak terkena ledakannya. Tetapi kakak ku belum tentu selamat.” Dia
menunduk, air mata sudah mulai terbentuk di ujung matanya.
“Aku dulu sempat menjadi kakak,”
Jawab Gazka, Joi hanya bisa duduk terdiam, dia menyeka air matanya sebelum
menatap Gazka. Matanya bengkak dan merah, dan badannya bergetar ketakutan.
“Adik ku meninggal karena ulah ku.” Kata Gazka dengan tenang. Gazka mengulurkan tangannya untuk meraih
tangan Joi, sebelum Joi menepis tangannya.
“Sial.” Pikirnya.
“Bagaimana bisa, Gazka?” Tanya Joi sambil tersedu dan
memegang erat jasnya.
Tragedi adiknya selalu menghantuinya, kejadian itu terus berputar di
kepalanya. Teriakan ibunya saat tubuh tak bernyawa adiknya ditarik dari lautan,
dan mayat adiknya yang pucat dan tergores akan selama-lamanya terukir di
pikirannya. Dia menyalahkan dirinya atas kematiannya, jika dia memperhatikan
adiknya daripada sibuk dengan pacarnya, mungkin Darma akan masih hidup sampai
sekarang.
“Dia tenggelam. Ayahku selalu
menyalahkanku karena kematiannya.” Jawab Gazka secara monoton.
“Oh.” Hati Joi terguncang, dia berdoa kepada Tuhan supaya kakaknya aman dan
tidak terluka. Walaupun Joi dan kakaknya tidak begitu dekat, dia masih
berhubungan darah dan masih bersaudara.
“Hey, sepertinya sudah aman jika kita pergi keluar.
Aku ingin melihat situasi diluar.” Ucap Gazka sambil menyodok lengan Joi, Joi tersenyum dan mengangguk
kepalanya.
Kotanya hancur, pemadam kebakaran
berlarian di semua sudut London memadamkan api-api yang menjilat kota itu
dengan lahap. Korban-korban berserakan di jalan raya dan anak-anak menjerit karena
kehilangan para orangtuanya. Mereka harus menyaksikan semua kekerasan yang terjadi, sementara yang bisa mereka
lakukan hanyalah menonton, menyaksikan mayat orang yang mereka cintai diseret
di jalan.
Gazka hanya bisa terdiam, menyaksikan konsekuensi dari perilaku egois
manusia. Menurut dia, tidak adil bagaimana rakyat yang harus menderita walaupun
mereka tidak bersalah apa-apa.
“Anakku!” Teriak sebuah ibu yang
sedang menggendong anaknya yang berlumuran darah.
Gazka dan Joi melompati percikan darah untuk memasuki sebuah
perpustakaan yang sudah hancur dimakan api. Berbagai buku gosong, dan rak kayu
yang dulu kokoh sekarang hancur dilahap sang merah. Mereka duduk di sebelah tumpukan kayu yang sudah terbakar, abu
dan debu berterbangan dan berkelap-kelip di udara yang terasa pengap.
“Gazka, kamu boleh jujur dengan ku.”
Ungkap Joi sambil memainkan debu yang menghiasi lantai.
“Kamu dulu direkrut tidak?” Gazka kaget mendengar itu.
“Tidak lah, aku bukan seorang tentara.”
“Iya, tapi maksudku dulu.” Joi tertawa, tidak nyaman dengan situasi.
“Aku punya teori, mungkin kamu kabur lalu pergi ke Inggris dimana kamu menjadi
pengemis dadakan.” Gazka menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Menurut dia, Joi memang
cantik tetapi ide-ide yang dia punya tidak masuk akal sama sekali.
“Aku bukan seorang pengemis, astaga.” Joi tertawa sambil menendang sebuah buku
yang setengahnya berubah menjadi debu.
“Aku merindukan adikku.” Ungkap Gazka secara tiba-tiba.
Joi menatap wajah Gazka sambil cemberut, walaupun suara
tangisan rakyat terdengar dari luar tapi satu-satunya suara yang Gazka pilih untuk mendengar adalah suara miliknya.
“Gazka, aku tahu kau merindukan adikmu
dan Ayahmu tidak terlalu memperhatikanmu, apa yang telah kamu alami memang
beban yang sangat besar tetapi, tolong jangan berbuat kasar kepada orang-orang
disekitarmu, khususnya Ayahmu. Walaupun dia tidak bersikap baik kepadamu, kau
harus tetap menyayanginya.”
“Aku tahu.” Gazka menatap muka Joi sambil tersenyum, meskipun dia hanya bertemu Joi
sebentar, dia memang benar-benar tertarik dan senang bisa meluangkan waktu
sejenak untuk bersamanya.
Tiba-tiba ada sebuah ketukan besar
yang membuat semua badan Gazka terguncang. Lalu, penglihatannya mulai gelap, dan semua yang ada
di depan dirinya lama-lama berubah menjadi debu.
—
“GAZKA!” Teriak sebuah suara familiar
dengan lantang. Gazka mulai sadar lagi dan melihat di sekitarnya, ada jam dinding
modern yang digantung di dekat TV, koleksi action figure ditata dengan rapi,
dan sandwich yang sudah dingin terlentang di meja belajar. Dia sudah kembali ke
kamar lamanya. Tidak ada hal-hal yang kuno, tidak ada suara ledakan yang
mengguncang tubuhnya, dan tentu juga tidak ada Joi.
“Gazka, ngapain kamu di dalam?” Itu suara
Ayahnya. Gazka bergegas bangkit dari ranjang tidurnya dan membuka pintu kamarnya
dimana ia bertemu dengan Ayahnya yang bersinar dengan kemarahan.
Semua itu adalah mimpi selama ini.
Tapi Gazka bersyukur bisa bertemu Joi, meski mungkin dia tidak nyata dan
hanya dalam imajinasinya. Joi mengajarinya untuk menghargai hidup apa adanya,
karena itu mungkin akan diambil dari kita sebelum kita bisa menyadarinya.
Bahkan jika apa yang kita miliki tidak banyak, daripada murung karena memiliki
sedikit, bersyukurlah dengan apa yang kita miliki.