Rintik hujan basahi bumi, bau tanah
menguar menyeruak ke dalam penciuman. Gadis itu masih termenung dengan tatapan
nanar, memandang air yang berjatuhan seperti berlomba-lomba terjun menuju
permukaan bumi. Ia masih mengingat kejadian yang menimpanya. Sebelumnya, dia
masih kuat menahan air matannya, tapi sejak semalam air matanya banjir tanpa
bisa dihentikan, tapi sekarang air mata itu sudah tidak mau keluar lagi, seperti
ada benteng yang menyekapnya, terpenjara dalam sebuah duka yang membelenggu.
Dan sekarang ia berusaha meyakini dirinya sebuah kenyataan bahwa ia sudah
ditinggalkan oleh seseorang dalam hidupnya.
Dua hari yang lalu …
“Ayah, kenapa pulang terlambat?”
Tanya Viona pada Ayahnya, Vino. Ayahnya ternyata datang bersama seseorang.
“Maaf, tadi ada urusan. Oh iya Ayah bawa seseorang nih”. Seorang laki-laki yang
berjalan dibelakang ayah tersenyum kepadanya. “Kamu tau orang ini? Atau merasa
pernah ketemu?” Tanya Ayah kepadanya. Setelah lelah berfikir, dia tidak bisa
menebak siapa laki-laki ini “Siapa? Aku tidak tau, sepertinya Aku tidak pernah
melihatnya”. Jawabnya tak acuh dengan laki-laki asing itu. “Ini adalah kakakmu
yang hilang 12 tahun yang lalu”. Jawab Ayah sambil tersenyum “Kak Virza?”,
sahutnya dengan wajah berbinar.
Di taman belakang rumah, dia dan
Virza duduk. “Mau ngomong apa?” Tanyanya, karena sedari tadi dilihat Virza
masih saja diam, padahal dia yang mengajaknya ke taman belakang untuk
membicarakan sesuatu.
“Na, Kakak minta maaf atas kejadian yang dulu, gara-gara Kakak,
kamu …”. “Aku udah maafin Kakak, Aku juga udah lupain kejadiannya”, dia segera
memotong perkataan kakaknya. Dia tidak mau mendengar kejadian itu lagi, ‘cukup,
semuanya sudah berakhir’ batinnya.
Dia bohong, kejadian itu mungkin tidak akan pernah bisa
dilupakannya. Tapi dia tidak mau kakaknya terus merasa bersalah karena kejadian
itu. Dia tahu, kejadian itu bukan karena kesalahan kakaknya. Dia sudah
menyiapkan dirinya untuk terlihat tidak apa-apa didepan kakaknya.
“Semudah itu?” Tanya Virza, seperti kurang yakin dengan apa yang
didengar. “Kak, itu udah lama, mendingan nggak usah dibahas. Sekarang kita
hadapi yang didepan, yang udah lalu biarin aja berlalu”. Virza akhirnya diam
tidak ingin membicarakan kejadian itu lagi. “Aku tau, Kak Virza pergi waktu itu
karena merasa bersalah, kan?”. Dia mengatur nafasnya, mencoba meredam emosinya
untuk tetap melanjutkan perkataannya, “Itu bukan kesalahan Kak Virza, jadi
nggak usah minta maaf dan merasa bersalah”. Setelah mengucapkan itu dia pergi meninggalkan Virza.
Ketika makan siang sudah selesai, tiba-tiba Virza menanyakan
keberadaan bunda, “Yah, Bunda mana? Kok dari tadi nggak pernah keliatan?”
keduanya bungkam, bingung harus menjawab bagaimana. “Ayo kita pergi!” hanya
kalimat itu yang bisa diucapkan oleh ayahnya. Viona hanya diam, ketika Virza
menatapnya seperti meminta kejelasan. Dia takut mengatakan yang sebenarnya,
ketika ayahnya akan mengajak mereka ke suatu tempat, “ikut Ayah aja!”
Sekarang, disinilah mereka, di sebuah tempat pemakaman umum.
Didepan mereka ada segundukan tanah dengan bertuliskan ‘Vania Calista’ di batu
nisannya. Dia lihat Virza terdiam cukup lama melihat gundukan tanah itu “Bunda
kenapa?” Tanya Virza. Ayah mereka sudah pergi karena ada urusan, tinggallah dia
yang harus menjawab pertanyaan itu. Dia menarik nafas dan menghembuskannya
secara perlahan, “Bunda meninggal dua tahun lalu, setelah penyakit berbahaya
itu menyerang tubuh Bunda” jelasnya. “Penyakit apa?” Tanya Virza, “leukemia”.
Mengatakan hal itu dan menyebut penyakit itu membuatnya bergidik ngeri,
mengingat bundanya sudah tiada setelah mengidap penyakit itu.
Dia melihat kakaknya diam saja di perjalanan sejak pulang dari
makam tadi. Dia tidak berani bertanya, karena sepertinya ada sesuatu yang
mengganjal, dia yakin kakaknya diam bukan hanya karena mengetahui bunda telah
meningggal, pasti ada yang lain. Didalam mobil keduanya sibuk dengan pikiran
masing-masing. Sampai di rumah, dia langsung masuk ke kamarnya melihat Virza
masih saja diam, seperti memikirkan sesuatu.
Di sore hari, dia menemukan Virza pingsan di kamarnya. Setelah meminta
bantuan sopirnya, Virza berhasil dibawa ke rumah sakit. Melihat ayahnya datang
setelah dihubungi, dia merasa sedikit lega. “Virza kenapa?” Tanya ayahnya
dengan nafas memburu. “Aku juga tidak tau, Yah. Aku menemukan Kak Virza pingsan
di kamarnya, ketika Aku panggil, nggak ada yang nyahut, makanya Aku buka
kamarnya, dan lihat kak Virza di pinggir kasurnya udah nggak sadar. Aku nggak tahu
pingsannya sejak kapan dan kenapa” jelasnya penjang lebar sambil menghela nafas.
***
Ruangan tempatnya sekarang, seperti dalam penjara bawah tanah,
sepi, gelap, dan sendiri. Viona tidak tahu bagaimana untuk mengekspresikan
kondisinya sekarang.Yang dirasakan seakan lidahnya kelu untuk berbicara,
badannya kaku untuk digerakkan. Dia harap semua ini hanya sebuah mimpi yang
tidak akan pernah menjadi nyata, setelah dia bangun semua baik-baik saja,
keadaan tidak seperti ini. Dia harap ada seseorang yang bisa membangunkannya
segera, dari mimpi buruk ini. Tapi sepertinya dia salah, penjelasan ayahnya
masih terngiang dengan jelas diingatannya.
‘Pintu terdengar dibuka “Apa yang dikatakan dokter?” Tanya Viona
sembari melihat ayahnya datang setelah kembali dari ruang dokter. “Jangan
kaget, janji, Viona harus kuat setelah mendengarnya”. Perkataan ayahnya itu
membuatnya semakin was-was terhadap kondisi kakaknya.
“Kak Virza sudah di vonis mengidap penyakit leukemia”. Duarr…..,
perkataan itu bagai bom atom dalam diri Viona. ‘penyakit itu lagi’ batinnya.
Ayahnya kembali bersuara “terkena karena faktor keturunan, lebih tepatnya dari
bunda”. Lemas, seluruh tubuhnya meluruh jatuh ke bangku di belakangnya, tubuhnya
seperti diserang meriam bertubi-tubi. Dia tidak mampu menangis, air matanya
seketika menguap setelah mendengar
berita yang didengarnya. Dia ingin teriak, tapi suaranya lenyap bersama
datangnya kabar buruk ini.
Sekarang dia hanya bisa diam menatap kakaknya yang masih terbaring
lemas dengan berbagai selang menempel di tubuhnya. Dia ingin bercerita banyak
tentang dirinya tanpa kehadiran kakaknya, tapi bibirnya seperti enggan untuk
digerakkan. Dia ingin marah, tapi ke siapa? Dia ingin menangis, memohon,
meminta kakaknya bangun, apa itu bisa menghilangkan penyakit itu? Dia ingin
meneriaki kakaknya, meminta untuk bangun dengan kasar, tapi apa itu bisa? Pada
kenyataannya, bibirnya masih tertutup dengan rapat, teriakan itu hanya terendam
dalam hati, tidak mampu untuk muncul ke permukaan.
Hingga larut malam, mata itu masih terjaga, kantuk sama sekali tak
dirasakan. Bibir itu masih tertutup, hingga saat ini air matanya, setetes pun
tak ada muncul. Hanya hati dan pikiran yang masih bersua.
‘Dia melihat keadaan di sekitarnya, rumput luas dengan keindahan
yang masih menyertai. Tidak jauh dari tempatnya ada ribuan bunga dandelion melambai-lambai.
Ketika angin keras menerjang sekumpulan dandelion itu berlari menuju ke
arahnya. Mengikuti hembusan angin, dandelion itu mengitari dirinya. Tidak lama,
sekumpulan dandelion dengan keindahannya itu terbang kembali mengikuti hembusan
angin meninggalkan dirinya tanpa jejak sedikitpun. Ingin dia mengejar, tapi
dirasakan tubuhnya beku di tempat, yang bisa dilakukan hanyalah menatap
kepergian sekumpulan dandelion indah itu.’
Viona berjalan dengan senyum merekah di lorong rumah sakit saat
menuju ruangan tempat kakaknya dirawat. Semalam, ayahnya memaksanya untuk
pulang, tidur dan istirahat di rumah. Dia berusaha tegar dengan semuanya, dia
berusaha terlihat kuat di depan orang-orang, dia membenci orang yang kasihan
dengannya. Di tangan kirinya menempel dengan sangat elegan sebuah jam tangan
baru berwarna hitm kesukaannya. Jam itu diambil dari kamar kakaknya karena
dilihat diatas kotaknya sebuah kertas kecil bertuliskan ‘for my beloved
sister’. Dia memakainya dengan penuh percaya diri, dia yakin, beloved sister
yang dimaksud adalah dirinya, karena hanya dialah saudara perempuan kakaknya.
Sesampainya didepan ruangan, tempat kakaknya dirawat, dia menarik
nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya dengan keras agar terlihat tegar.
Setelah membuka pintu, dia membeku ditempatnya berdiri. Dilihat ayahnya diam
dengan tatapan kesedihan di sofa, terlihat berusaha untuk tetap kuat. Tubuhnya
lemas melihat dokter dengan beberapa suster, sedang mencabut selang-selang yang
terhubung dengan tubuh kakaknya. Dia terduduk di lantai, kakinya tidak kuat
menopang tubuhnya. Dia melihat tubuh kakaknya terbujur kaku, dengan susah payah
dia menyeret kakinya untuk mendekati tubuh kakaknya. Dia lihat wajah pucat itu sambil
menahan air mata, dia tidak ingin dilihat menangis. Dia hanya bisa diam
memandang tubuh kakaknya sudah terbujur kaku, tenggorokannya tercekat, dengan
susah payah dia mengeluarkan suara “selamat jalan kakakku, semoga tenang dan
bahagia di alam sana, semoga cepat bertemu bunda disana”. Dia berusaha membasahi
tenggorokannya, untuk melanjutkan perkataannya “terima kasih sudah datang
kembali untuk perpisahan, walaupun cuma sebentar, nggak apa-apa. Sekali lagi
terima kasih” setelah mengucapkan itu, dia berusaha tersenyum, kemudian
semuanya gelap.
Setelah bangun dari pingsannya, disini dia sekarang. Dia merasa
lelah dengan apa yang terjadi, tidak mampu untul menangis, dia duduk dengan
tatapan hampa menghadap nisan bertuliskan nama kakaknya ‘Virza Ardian’. Ayah
merangkulnya disampingnya, seperti menyalurkan tenaga untuk tetap kuat setelah
melewati semua ini.
Dia baru menyadari maksud mimpi tadi malam, dandelion yang
mengelilinginya seperti kedatangan kakaknya kembali yang hanya sebentar. “Terima
kasih kak, sudah datang untuk pamit dengan kami” dia mengucapkan itu sambil
tersenyum, berusaha merelakan kepergian kakaknya dengan senyuman.
Rintik hujan basahi bumi, bau tanah menguar menyeruak ke dalam
penciuman. Gadis itu masih termenung dengan tatapan nanar, memandang air yang
berjatuhan seperti berlomba-lomba terjun menuju permukaan bumi. Ia masih
mengingat kejadian yang menimpanya. Sebelumnya, dia masih kuat menahan air
matannya, tapi sejak semalam air matanya banjir tanpa bisa dihentikan, tapi
sekarang air mata itu sudah tidak mau keluar lagi, seperti ada benteng yang
menyekapnya, terpenjara dalam sebuah duka yang membelenggu. Dan sekarang ia
berusaha meyakini dirinya sebuah kenyataan bahwa ia sudah ditinggalkan oleh
seseorang dalam hidupnya.
Sudah satu minggu setelah kepergian kakaknya, baru sekarang dia
berani untuk membuka sebuah buku yang dilihat di kamar kakaknya. Selesai
membaca isi buku itu, air matanya tidak bisa dihentikan. Kakaknya datang memang
untuk pamit, untuk perpisahan, karena kakaknya sudah tahu, kalau dia sudah di
vonis mengidap leukemia beberapa bulan sebelumnya. Air matanya semakin deras
saat mengetahui, kalau jam tangan warna hitam itu memang untuknya, memang untuk
dikenang. Semakin dia mengingat hal-hal yang berkaitan dengan kakaknya, semakin
terasa sakit mengingat dia sudah ditinggalkan. Tapi satu hal yang tidak dia
lupakan, dia bersyukur, dia masih bisa melihat kakaknya sebelum pergi, pergi
yang tidak akan pernah bisa kembali.
***