Langsung ke konten utama

SEPENGGAL KISAH


 “Kring.. kring..kring..

Suara alarm membangunkanku dari tidur. Ku lirik jam weker di atas meja belajarku. Tepat pukul 03.00, aku segera bangkit untuk mematikan alarm dan bergegas ke kamar mandi. Setelah mandi, wudhu’ dan merapikan kasur, aku keluar dari kamarku untuk membangunkan teman-teman yang lain. Lantunan indah bacaan Al-Qur’an terdengar dari masjid pondokku, segera ku laksanakan shalat tahajjud dan witir, kemudian ku sampaikan segala hajat pada Rabb-ku. Sebelum adzan shubuh berkumandang, aku bergegas berangkat ke masjid, dan beginilah rutinitas pagiku sebagai santri di Pondok Pesantren Al-Azhar.

***

“Ais...”sapaku riang pada sahabatku yang baru saja kembali ke Ma’had.

“Iya Fatim.. rindu Ais yaa, hehe....” jawabnya sembari memelukku. Beginilah dia, senyum manis dan sifat kekanak-kanaknya, membuatku selalu nyaman menjadi sahabatnya. Aku hanya menjawab dengan mengerlingkan mataku.

“Oh iya Fatim, tadi Ustadz Gafur manggil, kata beliau ada hal penting yang harus disampaikan ke Fatim.”

“Beneran? Ih Ais.. jangan bohong deh.”

Ukhty Fatim...Ana gak bohong, coba deh sana. Ana gak bakalan kemana-mana kok. Ana selalu disini buat Fatim.”

“Idih, lebay kali lah kau nak,” jawabku sambil tertawa.

Sejujurnya, aku tahu apa yang ingin Ustadz Gafur sampaikan. SPP sekolahku sudah 2 bulan belum aku bayar. Aku tidak mau merepotkan Abi dan Ummi, sedangkan aku pun tidak tahu bagaimana cara membayar SPP sekolahku. Tak terasa, aku sudah di depan ruangan Ustadz Gafur.Aku ragu untuk masuk ke dalam.Aku takut, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan nanti pada Ustadz Gafur. “Hufh...” ku hela napas panjang. “Aku harus berani,” kataku pada diriku sendiri. Akhirnya, aku pun mengetuk pintu ruangan Ustadz Gafur, sembari mengucapkan salam.

“Assalamu’alaikum, Ustadz. Ini Fatim.”

Wa’alaikumussalam. Oh, ayo nak silahkan masuk.” Ku lihatUstadz Gafur tersenyum ramah ke arahku.

Ustadz menyerahkan secarik kertas kepadaku. ‘Lomba Pidato Islam?’. Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti mengapa kertas itu di serahkan padaku.

“Ustadz tau, cara Fatim menyampaikan ceramah sangat bagus. Ustadz sangat mengharapkan Fatim untuk mewakili pondok dalam perlombaan kali ini.”

Ku lihat baik-baik brosur yang ada di tanganku saat ini. Hadiah yang cukup besar tak elak menggodaku. “Astagfirullah.. Istigfar, Tim. Kamu tak pantas mengikuti lomba jika hanya berharap menghadapkan hadiah. Berniatlah karena Allah! Berniatlah untuk berdakwah!” Tapi sejujurnya aku malu, aku tidak pernah berbicara di depan umum kecuali di pondokku ini. Aku malu, memikirkan hal itu saja sudah membuatku takut, tapi tak pantas juga rasanya jika menolak Ustadz.

“Fatim?” Suara ustadz menyadarkanku dari lamunan. “Bagaimana nak? Ini kesempatan Fatim untuk terus berkembang. Jadikah ini sebagai ladang pahala bagi Fatim. Orangtua Fatim pasti bangga dengan Fatim. Ustadz tahu, Fatim anak yang cerdas, bahkan terus juara kelas. Nanti jika Fatim menang, Ustadz janji akan mengusahakan beasiswa bagi siswi cerdas seperti Fatim.”

Aku terharu dengan perkataan Ustadz, beliau paham akan keadaan ekonomi keluargaku. Aku tak bisa menolak. Aku harus berusaha membuat bangga orang-orang yang percaya kepadaku.

Na’am Ustadz, akan Ana usahakan. Tapi Ustadz, kapan lombanya dilaksanakan?” tanyaku pada Ustadz yang tentu saja dapat membaca keraguan di mataku.

“Dua minggu lagi, nak. Masih ada kesempatan untuk berlatih. Jangan malu, tunjukkan pada semua orang bahwa Fatim bisa.” Beliau terus saja menyemangatiku, membuatku tak mungkin menolak.

“Baik Ustadz, akan Fatim coba.Kalau begitu, Fatim kembali ke kelas dulu, Ustadz. Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikumussalam,” jawab beliau sambil tersenyum.

                                                                        ***

Aku berlari menuju kelasku sambil tersenyum. Kulihat Mira, teman sebangkuku, sedang asyik mengobrol dengan teman-teman yang lain. Dia melirik ke arahku yang telah duduk manis.

“Tadi kata Aisyah, Ustadz Gafur manggil Fatim. Ada apa?” tanyanya dengan cemas. Dialah yang paling paham akan kondisiku, aku tidak tahu lagi bagaimana caraku berterima kasih atas rasa pedulinya yang begitu luar biasa.

“Tenang, Mir. Gak ada apa-apa kok,” jawabku sembari tersenyum.

“SPP nya, Tim? Fatim jangan bohong deh! Cerita dong tim, ada apa? Aku juga mau dong dengar cerita Fatim, jangan aku doang yang cerita.”

“Ustadz Gafur hanya meminta Fatim ikut lomba pidato, Mira, bukan masalah SPP kok. Tenang aja!” Aku memang tidak pernah berbagi cerita kepada sahabat-sahabatku mengenai masalahku. Aku hanya tak ingin mereka khawatir kepadaku.

“Wah, bagus dong! Nanti pokoknya udah harus mulai latihan! Fatim gak boleh malu kayak biasanya! Pokoknya harus bagus, harus-”

“Ihh, iya iya. Siap, Bu Boss!” kataku memotong pembicaraanya. Aku lihat Mira cemberut karenaku. “Hehe.. liat tu Ustadzah Izza mau masuk.”

“Eh..iya, Fatim” jawabnya .

                                                            ***

Sudah 3 hari, pidato pun sudah selesai ku buat. Tinggal berkonsultasi lagi dengan guru bahasa indonesia di ponpesku, untuk di revisi tentunya. Saat ini, aku berada di taman. Disinilah aku menghabiskan waktu istirahatku, sembari membaca Al-qur’an atau buku. Terkadang, di tempat ini pula aku suka merenung, betapa harusnya aku bersyukur akan hidup ini, memiliki anggota tubuh yang lengkap, kesehatan, memiliki Mira dan Aisyah sebagai sahabatku, dan begitu banyak nikmat yang Allah berikan, bahkan dengan keadaan perekonomian keluargaku pun aku tetap merasa cukup. Ayahku yang seorang buruh dan Ibu ku seorang ibu rumah tangga yang luar biasa, harus mencukupi aku dan ketiga saudaraku. Aku selalu bangga dengan kedua orangtuaku yang tetap menyekolahkan aku dan adikku meski dalam keadaan apapun. Aku sebagai anak sulung merasa seperti belum memberikan apapun untuk mereka.

“Assalamu’alaikum, Ukhty!Suara seseorang yang sudah sangat lama aku kagumi memutus lamunanku.

“Wa’alaikumussalam, Akhy. Ada apa?” Segera ku tundukkan pandanganku ketika melihatnya tepat beberapa langkah di depanku. Ku lihat sekelilingku, takut hanya berdua di taman.

“Kata Ustadz Lukman, kalau pidatonya mau di revisi, datang saja nanti sore ke sekolah, sekalian untuk latihan juga. Oh ya, temannya di ajak juga ya, Ana gak mau latihan berdua aja.

Na’am Akhy, ya sudah Ana ke kelas dulu. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.” jawabnya.

Kata-kata Kak Ali tadi begitu saja terngiang di kepalaku.Ana gak mau latihan berdua aja’. Itu berarti Kak Ali juga ikut lomba? Ya Allah.. bagaimana caraku harus bersikap nanti? Hufh.. Aku harus terlihat biasa, siapapun tidak boleh tahu kalau aku menyimpan rasa untuk Kak Ali.

                                                                        **

Sepulang sekolah, aku dan Mira menunggu Aisyah di depan ke kelasnya, ketika Aisyah tepat di depanku, aku menyapanya.

“Assalamu’alaikum Ais..”

“Wa’alaikumussalam..” jawabnya seraya pergi begitu saja meninggalkan aku dan Mira tanpa senyuman sedikitpun.

Entah apa yang terjadi dengan Ais belakangan ini, aku sudah berusaha menyapanya, tapi Ais terus saja menghindar. Bahkan kadang aku tak pernah bertemu dengannya seharian, ia seperti hilang di telan bumi. Aku tidak boleh su’udzon, mungkin Ais sedang ada masalah atau mungkin sedang sibuk dan tidak ingin di ganggu. Akhirnya sore itu, aku ditemani Mira untuk latihan, ternyata benar saja, Ustadz Gafur memilih Kak Ali sebagai perwakilan dari putra. Tentu saja aku senang. Aku dapat mendengar suara Kak Ali dan juga berdiskusi dengannya, tapi aku harus tetap ingat tujuanku berlomba bukanlah untuk dekat dengan Kak Ali, melainkan untuk berdakwah dan meraih ridho Allah. Sepulang latihan, aku menghubungi kedua orangtuaku untuk memberitahukan bahwa aku akan mengikuti lomba pidato.

“Assalamu’alaikum Abi.. ini Fatim, Bi.”

“Wa’alaikumussalam nak, apa kabar? Maafkan Abi ya, belum sempat menengok Fatim.” Terdengar suara Ayahku yang sangat aku rindukan, aku rasanya ingin menangis saja mendengar beliau berkata seperti ini.

“Fatim Alhamdulillah baik Abi, iya tidak apa-apa, Bi. Oh ya, Abi, Ummi dan Adik-adik sehatkan?” tanyaku menyembunyikan tangis.

Alhamdulillah nak, semua sehat..”

Alhamdulillah.. Abi.. Fatim menelpon Abi untuk memberitahu, Fatim diutus pondok untuk mewakili lomba pidato. Do’akan Atim ya, Bii..”

“Masya Allah nak, pasti, Ummi dan Abi selalu mendo’akan yang terbaik untuk Kakak Fatim. Alhamdulillah Kak Fatim sudah tidak pemalu lagi, Ummi pasti sangat senang mendengar Kak Fatim ikut lomba pidato. Ini kan yang sangat Ummi inginkan, nanti Abi dan Ummi akan usahakan untuk datang.

Iya Abii.. Insyaallah Fatim akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Ummi dan Abi bangga!

“Prestasi Fatim sangat membuat Ummi dan Abi bangga, Kak Fatim.. Maaf, Abi belum bisa mengirimkan uang untuk Fatim, SPP juga belum Abi bayar. Abi pasti akan berusaha kakak.. Maafkan Abi ya.” Aku sudah tidak sanggup lagi mendengar Abi meminta maaf kepadaku, air mata ini sudah tidak sanggup ku bendung lagi.

“Abi..” Aku menggigit bibir, takut kalau saja Abi mendengar aku menangis. Ku jauhkan telepon itu dari telingaku. “Tidak apa-apa Bi, Fatim masih ada uang tabungan, uang SPP bisa dibayar saat Abi sudah ada rezeki. Maafkan Fatim yang selalu merepotkan Abi yaa..”

Tidak apa-apa kak, Abi dan Ummi tidak pernah merasa di repotkan.

“Hiks..hiks..hiks.. Abi... Fatim sayang Abi dan Ummi. Yasudah Bi, Fatim siap-siap shalat maghrib dulu ya, Bii. Assalamu’alaikum.” Air mataku mengalir begitu saja membasahi pipiku.

Iya nak, jangan nangis ya. Abi dan Ummi juga sayang Kak Fatim. Wa’alaikumussalam.”

Aku berlari menuju kamar Aisyah. Aku memanggilnya, tapi dia tak menoleh sedikitpun ke arahku. Ya Allah ujian apa lagi ini? Mengapa begitu sesak rasanya? Aku butuh teman namun temanku bahkan tak mau menoleh ke arahku. Sakit sekali rasanya melihat Aisyah memperlakukanku seperti ini.

“Ais.. ada apa sih sebenarnya?” tanyaku sambil memegang tangannya. “Fatim salah apa? Ais marah sama Fatim? Kenapa Ais diemin Fatim seperti ini? Cerita dong kalau Ais ada masalah. Tolong jangan diam saja Ais.. Fatim gak bisa lihat Ais seperti ini.” Tangisku pecah begitu saja.

“ih.. apa sih, lebay deh!” Ais menghempas tanganku lalu pergi begitu saja. Betapa sakitnya aku melihat Aisyah memperlakukanku seperti ini. Aku malu, teman-teman kamar Aisyah melihatku. Aku berlari menuju kamar mandi. Ku nyalakan keran air, aku menangis di kamar mandi sejadi-jadinya. Sudah puas rasanya menangis, aku langsung mengambil air wudhu’ dan segera menuju ke kamarku untuk mengambil mukenah. Selepas shalat maghrib aku membaca al-qur’an, air mataku lagi-lagi jatuh begitu saja. Setelah shalat isya’ aku berdiam diri di masjid, aku benar-benar ingin menyendiri saat ini. Saat pikiranku sudah tenang, ku langkahkan kaki keluar dari masjid, hingga ku dengar suara seseorang menyapaku.

“Assalamu’alaikum, Ukhty Fatim..” Ternyata itu Kak Ali. Aku hanya menundukkan pandanganku, ternyata hanya aku dan dia yang berada di luar masjid.

Wa’alaikumussalam, Akhi. Ada apa?” tanyaku. Aku hanya ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini. Aku takut menimbulkan fitnah karena hanya berdua di sini.

“Tidak ada sih, Ana melihat ukhty keluar dari masjid, makanya Ana menyapa ukhty. Matanya kenapa ukhty? Kok bengkak? Ukhty habis menangis, ya?” Perhatianya ini membuatku senang. Huh.. tapi aku tak boleh berharap kepada selain Allah.

Eh.. tidak apa-apa kok Akhy. Ana awwalan.. Assalamu’alaikum.” Aku hanya ingin segera mengakhiri pembicaraanku denganya. Aku tak mau dia melihat semburat merah di pipiku.

“Oh yaudah, hati-hati, ukhty. Wa’alaikumussalam,” jawabnya.

Aku tidak bisa bohong pada perasaanku, meski berbincang hanya sebentar dengan Kak Ali, itu membuatku sedikit bahagia. ‘Bolehkah aku memendam perasaan ini untuknya?’ tanyaku pada diriku sendiri. Perhatian kecilnya membuatku senang. Aku sudah tidak mengerti lagi dengan perasaanku. Sudahlah, aku tak mau memikirkan hal itu terus menerus. Aku melangkahkan kaki menuju kamar Mira, ingin rasanya berbagi cerita kepadanya. Aku mengetuk pintu kamarnya dan mengucapkan salam, Mira membuka pintu untukku.

Wa’alaikumussalam..” Mira mempersilahkan aku masuk. Aku pun duduk di kasurnya.Tadi aku nyari Fatim, tapi gak ada di kamar. Di masjid ya?”

Iya, Mir. Tadi diam dulu di masjid, eh pas balik ketemu sama Kak Ali.

Uhh.. ketemu pujaan hati ni yee..” katanya meledekku.

Apaan sih Mir, Fatim gak ada apa-apa sama kak Ali,” jawabku sambil cemberut.

Gak ada atau gak ada, nih..?” goda  Mira.

“Mira... Fatim gak ada apa-apa sama Kak Ali. Serius deh! Aku hanya tersenyum pada Mira. Aku yakin Mira memang tahu perasaan ku pada Kak Ali, tapi aku belum siap untuk menceritakan Mira tentang itu.

Eh.. itu matanya kenapa, Tim? Kok bengkak sih? Udah nangis, ya?” Mira terus saja menghujaniku dengan pertanyaan. Baru saja dia bertanya, air mataku sudah tumpah. Aku menarik tangan Mira ke Masjid, aku tidak mau orang lain melihatku menangis. Beruntungnya aku, karena tidak ada orang di masjid. Tangisku pecah disana, aku menceritakan semuanya pada Mira, tentang masalah keluargaku dan juga tentang sikap Aisyah yang entah kenapa berubah. Mira menyodorkan sekotak tisu kepadaku, ia sangat sabar menungguku selesai bercerita. Ia dengan khusyu’ mendengarkanku tanpa menyela sedikitpun.

“Aku bisa bantu Fatim yang masalah SPP, aku gak mau Fatim nolak. Fatim udah banyak banget bantu aku, jangan nolak ya, Tim. Fatim harus sabar apapun yang terjadi. Allah sedang menguji kesabaran Fatim. Aku juga gak tahu tim kenapa Aisyah begitu, dia juga mulai menjaga jarak dengan aku. Mungkin memang sedang tidak ingin di ganggu. Fatim yang sabar ya, aku tahu Fatim kuat. Semangat, Tim! Disini ada aku, jangan sedih yaa.. Aku gak mau liat Fatim nangis, aku nangis kan ni jadinya, huhuhuhh..” Mira memelukku erat.

Makasih, Mir. Makasih banyak. Fatim minta maaf merepotkan Mira.”

“Hush.. gak usah gitu deh, kita kan saudara,” jawabnya. Ah.. gadis ini terus saja membuatku terharu. Aku tak mau melepaskan pelukanku, hingaa seseorang menyodorkan air putih ke arahku.

“Ini minum, Tim..” Kak Ali menyodorkan segelas air mineral padaku. Tentu saja aku kaget. ‘Sudah berapa lama dia berada disini? Apakah dia melihatku menangis?’ tanyaku dalam hati. “Em... diambil dong, ukhty,” katanya. Aku pun langsung mengambilnya. Mira meliriku, entah apa maksud senyuman Mira saat ini.

“Akhy, makasih airnya. Udah lama disini?” tanyaku padanya, aku malu jika dia mendengarku menangis.

“Ana dari tadi emang disini kok. Ana juga dengar ukhty nangis, jangan nangis lagi ya! Ana gak mau liat Fatim sedih,” jawabanya sukses membuatku malu, pipiku memerah. Untung saja jaraknya cukup jauh denganku, semoga dia tidak bisa melihat pipiku ini, ya Allah.

“Uhh.. kalian ini lucu sekali, pipinya dikondisikan dong, Tim, udah kaya kepiting rebus aja.” Mira semakin meledekk. Aku menutup mukaku karena malu, Kak Ali pun menggaruk tengkuknya yg pasti tak gatal. Aku berpamitan pada kak Ali, tak lupa berterimakasih atas airnya. Aku menarik tangan Mira keluar dari Masjid. Sepanjang perjalanan menuju asrama, Mira tak henti-hentinya meledekku. Aku tak mengerti mengapa Kak Ali sangat peduli kepadaku. Apakah kak Ali memiliki perasaan yang sama denganku? Hmmm sudahlah, bukan saatnya ku memikirkan tentang itu.

                                                                        ***

            H-5 perlombaan, tiba-tiba Abi datang ke pondokku. ‘Ummi Sakit’ itu kata yang pertama kali keluar dari mlut Abi. Sedih, sesak, dan takut. Itu yang kurasakan. Abi tak pernah menjemputku jika hal itu tak begitu penting, aku tahu Ummi sering sakit, tapi tak pernah sampai Abi menjemputku. Separah apa sakit yang diderita Ummi sekarang? Sepanjang perjalanan, aku tak henti-hentinya berdo’a. Aku menangis, apakah Allah sedang menguji kesabaranku? Aku takut Allah mengambil Ummi dariku. Aku takut, Ya Allah.

            Setibanya dirumah, hal yang pertama kali aku dengar adalah tangisan adik-adikku. Mereka menangis tempat di samping Ummi. Aku berlari memeluk Ummi, menguatkan diriku untuk tidak menangis di depan adik-adikku. Ummi tersenyum padaku dan memberi isyarat pada Abi untuk meninggalkanku berdua dengannya.

            “Kakak...” Ummi berbicara lirih.

            “Iya, Mi.. Atim ada disini. Ummi istirahat dulu ya, jangan banyak bicara.” Aku berbicara dengan air mata yang terus mengalir di pipiku.

            “Ummi senang Atim sudah berani tampil di depan orang banyak. Ummi bangga, Ummi ingin sekali melihat pertunjukan Fatim. Fatim, Ummi tahu Fatim orang yang pemalu. Adakalanya malu itu perlu dan berani itu juga perlu. Teruslah menyebar kebaikan dengan berani nak, tunjukkan pada dunia kalau Fatim bisa. Berjanjilah pada Ummi, Fatim akan tumbuh menjadi anak baik, anak yang luarbiasa. Fatim akan menjadi seperti bunga, terus menebar kebaikan bahkan kepada tangan yang merusaknya. Jagalah adik-adik untuk Ummi, Tim, Ummi sayang Fatim dan adik-adik. Maafkan Ummi, nak. Ummi tidak bisa mendampingi Fatim sampai Fatim menjadi wanita yang luar biasa. Maafkan Ummi, nak..” Ummi dengan susah payah mengucapkan semua kata-kata itu. Entahlah aku tidak tahu lagi harus berkata apa, aku menangis tentu saja. Ummi meninggalkanku. Ummi pergi, tepat di pelukanku. Aku menghapus air mataku, aku keluar memanggil Abi.

            “Abi..” panggilku dengan lirih. “Ummi pergi, Bii..” Abi memelukku dan adik-adikku.

            Proses pemakaman Ummi dilaksanakan esoknya. 3 hari setelah kepergian Ummi, aku kembali ke pondok. Mira memelukku, tentu saja aku tak ingin menangis didepanya. Aisyah tetap saja tak mau berbicara denganku. Aku tak memikirkan hal yang tak penting lagi, aku harus fokus pada lomba pidato yang akan di laksanakan dua hari lagi. Seperti biasa aku juga bertemu dengan Kak Ali setiap latihan, tapi aku tak mau memperdulikan hal itu. Aku berusaha untuk menghindar sebisaku jika bertemu dengan Ais dan Kak Ali. Aku tidak mau sakit hati. Aku harus tenang sebelum perlombaanku, aku harus berikan yang terbaik untuk madrasahku, Abi, mendiang Ummi, dan semua orang yang menyayangiku.

                                                                        ***

            Aku melangkahkan kaki ke aula tempat perlombaan. “Bismillah,” ucapku pelan. Aku berjalan dengan mantap, aku harus menghilangkan segala keraguan dalam hatiku. Aku mengambil no peserta lalu melihat angka 03 tertera di kartu peserta-ku. Sembari menunggu giliran tampil, aku terus berdzikir dan berdo’a kepada Allah. Semoga aku bisa melakukan yang terbaik. Aku yakin, hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha.

            “Sselanjutnya, mari kita saksikan penampilan dari Fatimah Azzahra.” Mc menyebut namaku. Ini giliranku untuk menunjukkan pada dunia bahwa aku bisa.

            Sambil membaca bismillah, aku berjalan menaiki panggung. Pidato-ku berjudul “Berbakti kepada kedua orang-tua”. Aku menangis saat berpidato, aku mengingat Ummi. Lantunan QS.Al-Isra ayat 24 yang kubacakan menggema di seluruh ruangan. Penonton terbawa suasana dengan pidato-ku. Aku melihat para penonton yang juga ikut menangis. Ketika aku menyelesaikan pidato-ku dengan salam, suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Aku sangat terharu. Aku berlari menuju ustadzah yang mendampingi-ku.

            “Pidato yang luar biasa, nak..” puji ustadzah.

            Syukron, ustadzah,” jawabku sembari tersenyum tipis. Setelah itu aku pamit pada ustadzah untuk ke toilet.

            Ketika aku selesai dari kamar mandi, seseorang mencekal tanganku. Aku begitu kaget. Ternyata itu Mira. Aku memeluknya. Mira memberi tahuku bahwa teman-teman yang lain ternyata menonton.

            “Ais juga ikut, Tim.. Kita ke taman yuk, Ais nunggu disana,” ajak Mira sambil menarik lenganku. Mungkin ini kesempatan yang tepat untuk berbicara dengan Ais, pikirku.

            “Assalamu’alaikum, Ais..” sapaku dan Mira.

            “Wa’alaikumussalam..” Ais menjawab dengan senyuman. Ah..  begitu rindunya aku melihat Ais tersenyum ke arahku. Aku pun memeluknya. Mira mengerti aku butuh waktu berdua dengan Ais, ia pun pamit untuk kembali pada teman-teman yang lain.

            “Fatim, Ais minta maaf, yaa...” katanya sembari menghapus air mata. “Sebenarnya Ais kesal, kenapa yang dipilih untuk ikut pidato itu Fatim, bukan Ais. Ais juga kesal melihat Fatim dekat dengan Kak Ali, itu karena Ais sebenarnya menyimpan rasa pada Kak Ali. Maafkan keegoisan Ais ya. Fatim boleh marah pada Ais, Ais merasa tidak pantas menjadi teman Fatim. Bahkan, Ais tidak ada saat Fatim butuh teman. Ais tidak ada waktu Ummi Fatim pergi. Ais kesal dengan diri Ais. Ais egois, Ais tidak pantas jadi teman Fa–”

            “Hush..” Aku memotong perkataan Ais. “Ais, tidak apa-apa, sudah Fatim maafkan. Fatim juga minta maaf karena tidak mengerti perasaan Fatim. Yang penting sekarang, kita baikan. Kita sahabat baik, kan?” Aku tersenyum ke arahnya.

            “Iya Fatim, terimakasih. Ini Ais bawain Fatim coklat putih, kesukaan Fatim.”

            “Wah.. makasih yaa...” Aku pun memakan coklat itu dengan Ais. Kami tertawa bersama. Aku begitu senang, masalahku perlahan-perlahan mulai terselesaikan. Aku mengerti, Ais seperti itu karena cemburu padaku. Sudahlah, persahabatan memang lebih penting dari segalanya.

            Pengumuman pemenang sebentar lagi akan diumumkan, aku dan teman-temanku masuk ke dalam ruangan. Aku tidak berpikir untuk menang. Bagiku, ikut dalam lomba ini saja merupakan hal yang sangat luarbiasa. Pengumuman pertama bagi peserta pidato putera. Kak Ali mendapatkan juara 2, dia memang penyampai pidato yang luar biasa. Selanjutnya pembacaan pemenang bagi yang puteri. Juara ketiga bukan aku, juara kedua juga bukan aku. Aku tidak berharap menjadi juara pada perlombaan ini. Aku hanya mendengarkan MC membacakan pemenangnya.

            “Inilah, yang kita tunggu-tunggu. Juara satu pada lomba pidato kali ini dimenangkan oleh....” MC diam sejenak, menciptakan atmosfir menegangkan di sekitar kami “Fatimah Azzahra..!!!”

            Kaget. Terharu. Bahagia. Itu yang kurasakan. Ummi pasti bangga melihatku. Aku menaiki podium untuk menerima hadiahku. Tepat ketika turun dari podium, Kak Ali memanggilku. Dia memberiku secarik kertas. Aku juga tidak lupa mengucapkan selamat kepadanya.

            Sesampainya aku di pondok, teman-teman memelukku dan mengucapkan selamat. Aku juga tidak lupa mengabari Abi. Aku melangkahkan kaki menuju kamarku, membuka surat dari kak Ali.

            Assalamu’alaikum ukhty..

Mohon maaf atas kelancanganku mengirimkan surat ini

Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyukaimu, jauh sebelum Ustadz memilihmu dan aku menjadi utusan lomba pidato. Aku malu menyampaikan langsung padamu. Cukup surat ini mewakili aku menyampaikan isi hatiku. Jangan bersedih dan menangis, Fatim. Melihatmu menangis membuatku sakit. Tersenyumlah. Aku mengagumi ketegaranmu. Kamu wanita luarbiasa yang pernah aku kenal. Maaf kalau aku telah lancang mencuri pandang padamu. Maafkan aku telah mencintaimu.

Ali                               

            Aku senang mendapat surat itu dari Kak Ali. Ternyata bukan hanya aku yang memiliki perasaan itu. Aku tahu jawaban apa yang harus kuberikan pada Kak Ali, agar aku tak menyakiti hati Aisyah. Hari itu, hari yang sangat luar biasa bagiku. Aku pun mulai menulis surat balasan untuk kak Ali.

            Wa’alaikumussalam akhy..

Terimakasih untuk itu. Cukuplah perasaan Fatim tidak ada yang mengetahui selain Allah. Fatim ingin memiliki kisah cinta seindah kisan cinta sayyidina Ali dan Fatimah Azzahra. Tidak ada yang mengetahui perasaan mereka sampai Allah akhirnya menyatukan mereka dalam satu ikatan. Maaf akhy, bila Fatim tidak ingin memberitahu akhy mengenai apa yang Fatim rasakan pada akhy. Biar waktu yang menjelaskan perasaan ini, akhy. Terimakasih sudah peduli pada Fatim dan terimakasih sudah mencintai Fatim.

                                                                                                                        Fatimah

            Pagi itu, aku bertemu Kak Ali di depan ruang guru, setelah menyerahkan piala pada sekolah.

“Assalamu’alaikum Akhy, ana sudah baca suratnya. Terimakasih. Ana permisi dulu ya, assalamu’alaikum..” ucapku sembari menyerahkan surat balasan. Aku bergegas kembali ke asrama dan menemui teman-temanku.

            “Aisyah..Mira..” panggilku pada mereka. Aku memeluk mereka dengan sangat erat. Begitulah kisahku, indahya persahabatanku. Dan inilah secuil dari kisah cintaku.

“Begitulah hidup, akan banyak sekali ujian dan rintangan yang menghadang. Tapi percayalah, semua bentuk ujian adalah wujud dari rasa sayang Allah pada kita” -FatimahAzzahra

Postingan populer dari blog ini

Teks Ceramah

 A. Definisi dan Ciri-Ciri Ceramah     1. Definisi Ceramah          Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ceramah adalah pidato oleh seseorang di hadapan banyak pendengar mengenai suatu hal atau pengetahuan. Ceramah juga berarti penuturan bahan pembelajaran secara lisan. Ceramah merupakan pidato yang bertujuan untuk memberikan nasihat dan petunjuk mengenai suatu permasalahan kepada audiensi yang bertindak sebagai pendengar. Secara umum, ceramah mempunyai pengertian tentang suatu kegiatan berbicara di depan umum dalam situasi tertentu untuk tujuan tertentu dan kepada pendengar tertentu.         Pada dasarnya, pidato, ceramah, dan khotbah memiliki persamaan, yakni pengungkapan pikiran di hadapan banyak orang. Namun, dalam pelaksanaannya, antara pidato, ceramah, dan khotbah memiliki perbedaan. Pidato sering kita ikuti dalam acara-acara resmi, misalnya seminar, rafat pleno,. Ceramah diadakan untuk acara-acara tert...

Teks Laporah Hasil Observasi

            Sebuah laporan hasil observasi dapat disajikan dalam bentuk teks tertulis maupun teks lisan. Kamu sering melakukan observasi atau pengamatan, tetapi belum memahami cara menyusun teks laporannya dengan baik. Untuk itu, kamu perlu memerhatikan penyusunan laporan hasil observasi yang kamu dengar atau kamu baca dari media televisi, koran, majalah, atau internet. A. Pengertian, Ciri-Ciri, Sifat, dan Contoh Teks Laporan Hasil Observasi 1. Pengertian Teks Laporan Hasil Observasi          Teks laporan hasil observasi adalah teks yang berisi penjabaran umum mengenai sesuatu yang didasarkan pada hasil kegiatan observasi/pengamatan. Kegiatan observasi merupakan kegiatan pengumpulan data atau informasi melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat di lapangan atau lokasi. 2. Ciri-Ciri Teks Laporan Hasil Observasi     Teks laporan hasil observasi memiliki ciri-ciri yang membedakann...

ANEKDOT

A. Definisi. Ciri, dan Jenis Anekdot   1. Definisi Teks Anekdot     Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau orang terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Orang-orang penting yang diceritakan dalam anekdot bermacam-macam, seperti tokoh politik, sosial, dan agama.  Sementara itu, peristiwa yang diceritakan dalam anekdot merupakan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun seiring perkembangan zaman anekdot juga digunakan untuk menceritakan tokoh dan peristiwa fiktif.     Anekdot mengandung humor. Humor dalam anekdot dibentuk dengan kelucuan atau kekonyolan tokoh. Tindakan ataupun ucapan tokoh menimbulkan humor karena adanya peristiwa ganjil yang mendasarinya. Humor juga dapat diciptakan melalui permainan kata, makna, ataupun pelesetan terhadap suatu kata ataupun frasa.     Humor dalam anekdot bukan hanya bersifat menghibur. Bia...