Apa kalian yang membaca ini mencintai Indonesia? Ini
adalah pertanyaan biasa yang selau membuat banyak orang ragu, apa mereka benar
mencintai negara tempat kelahiran mereka ini? Bayak keraguan yang meliputi
hati, termasuk hati Rahayu.
Pagi ini adalah pagi yang sangat segar di puncak
gunung Ijen, Banyuwangi. Setelah puas menonton blue fire saat waktu
subuh di kawahnya, kembali mata kita dimanjakan dengan indahnya sunrise.
“Udah belum?” tanya Rian ke seorang gadis yang sedang
fokus mengatus lensa kamera.
“Bentar lagi” jawabnya tanpa memalingkan tatapan
matanya dari fokus kamera. Rahayu namanya, seorang gadis yang sering travelling
keliling Indonesia, tentunya dia tidak lupa mengabadikan semua pemandangan
yang dia lihat dengan kamera.
“Dah sholat belum?” kata Rahayu sambil melihat hasil jepretan
kameranya. Belum sempat Rahayu menoleh, Rian yang ditanyainya sudah kabur
duluan. Rahayu hanya menghela napas melihat kelakuan sepupunya itu.
Saat ini mereka sedang dalam perjalanan turun,
tentunya setelah Rian melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Hawa
saat perjalanan turun terasa nyaman meneyelimuti tubuh.
“Tumben, gak dingin banget” komentar Anya, teman
seperjalanan Rahayu dan Rian, mereka hanya mengangguk meng-iya kan pendapat
Anya. Belum sempat Rahayu melanjutkan komentar Anya, ponselnya berdering
setelah mendapat sebatang sinyal telepon.
“Halo, Assalamu`alaikum ama?” itu dari ibunda tercinta
Rahayu.
“Wa`alaikum salam, Ayu sekarang dah nyampe
mana? Ama mau jemput” Rahayu mempercepat jalannya untuk mencari lebih banyak sinyal
sekaligus untuk mendapat sedikit privasi.
“Kok tumben? Ga papa kok ma, aku bisa sama yang lain”
Rahayu menolak tawaran mamanya.
“Ini ada ‘Beliau’, mau ngomong katanya” Langkah Rahayu
terhenti, dia terdiam menatap layar ponselnya. Tiba-tiba Anya menepuk bahu
Rahayu yang membuat dia terkejut dan tanpa sengaja langsung menutup teleponnya,
tentu Anya juga terkejut dengan respon Rahayu.
“Guys, aku dijemput sama mama dan ayahku”
mereka saling bertatapan dengan bingung, lalu serempak menatap Rahayu. Yang
ditatap hanya tersenyum kecil. Akhirnya mereka bersama turun menuju tempat
parkir di kaki gunung, disana sudah menunggu mama Rahayu di depan mobil bewarna
silver. Dia melambai ke arah gerombolan Rahayu sambil tersenyum. Teman-teman
Rahayu melepas kepergiannya dengan tatapan pemberi semangat.
“Ayu” suara berat yang familiar terdengar memanggil
nama Rahayu, dia melihat ke arah pemilik suara. Pemilik suara berat itu hanya
memberikan sinyal dengan tatapan mata, Rahayu menarik napas panjang menenangkan
diri. Dengan Langkah mantap, dia membuka pintu mobil dan melihat sesosok wanita
tua penuh wibawa.
“Mbah” Rahayu segera mencium tangan neneknya
dan mengambil posisi di samping neneknya.
“Ayu gimana kabarnya nak?” suara yang keluar dari
nenek Rahayu terdengar sangat lembut. Akan tetapi semua anggota keluarga sudah
tahu, dibalik suara yang penuh kelembutan itu terdapat perintah yang tak dapat
dibantah siapapun.
“Alhamdulillah masih baik aja mbah” jawab
Rahayu sopan. Biasanya setelah ini akan dimulainya perintah ‘yang tak akan
terbantah’.
“Mbah pikir, sepertinya akan lebih baik jika
kamu mengikuti kegiantan santren kilat di Lombok” tanpa basa basi nenek Rahayu
langsung mengutarakan niatnya untuk menemui Rahayu. Rahayu mematung, otaknya
masih memproses perkataan neneknya beberapa detik lalu.
“Kamu terlalu sering travelling, jarang di
rumah. Mbah khawatir ilmu agama kamu memprihatinkan, walau kamu selalu
menjaga sholat 5 waktumu, tapi sampai sekarang kamu masih terlalu sibuk untuk
mencari ‘alasan untuk mencintai negri’, sampai kamu lupa mencari ‘alasan untuk
mencintai agamamu’.” Perkataan nenek Rahayu menusuk langsung ke hati nuraninya.
Memang benar, walau Rahayu tetap menjaga amalan wajibnya sampai sekarang dia
masih belum memakai jilbab. Dia hanya menutup aurat dengan memakai pakaian yang
tidak membentuk dan menutup anggota badan, kecuali bagian kepala yang masih
dibiarkan terbuka. Rahayu menunduk, dia tahu bahwa hal ini akan disinggung
cepat atau lambat. Tapi dia tidak menyangka bahwa hari yang akan datang itu
adalah hari ini.
“Kamu tahu sendiri kalau mbah memang tidak suka
memaksa, akan tetapi mbah sayang ke kamu, cucu perempuan satu-satunya mbah.
Kamu tidak boleh mengikuti jejak tante kamu yang agama dan adabnya juga nihil. Mbah
pengen kamu menjadi salah satu wanita surga, gak lebih dan gak kurang”
perkataan lanjutan neneknya membuat Rahayu makin diam tertunduk. Bayangkan saja
jika berada dalam posisi Rahayu, ingin menolak karena tak inigin, akan tetapi
tidak enak untuk menolak karena alasannya tidak salah. Mama dan ayah Rahayu
hanya diam, sepertinya terbesit di pikiran mereka sebagai orang tua bahwa
pendapat nenek itu benar. Setelah menunduk diam beberapa saat, Rahayu
mengangkat kepala sambil tersenyum.
“Tidak ada alasan untuk menolak bentuk sayang mbah
ke Ayu” mendengar jawaban itu nenek Rahayu senang sampai memeluknya, mama
Rahayu menoleh, melihat putrinya yang dipeluk ibu mertuanya. Seakan mengerti,
Rahayu tersenyum pada mamanya seakan berkata ‘Ayu tidak apa-apa’.
Setelah diskusi yang dipenuhi peran batin itu selesai,
sisa perjalanan mereka dipenuhi dengan cerita masa muda nenek Rahayu yang penuh
semangat masa muda akan tetapi disertai juga dengan penyesalan mendalam karena
tidak mendalami ajaran agama.
Seminggu kemudian Rahayu berangkat dari bandara Juanda
menuju Lombok International Airport. Sebagai informasi program santren
kilat yang diikuti Rahayu adalah program untuk kalangan umum menjadi pembina
asrama selama 3 bulan. Tugas mereka adalah menjaga dan mengatur santri, mereka
juga memiliki kewajiban untuk mengikuti kegiatan asrama para santri seperti,
mengaji, kajian bersama, bahkan jika ada acara bersih-bersih bersama, mereka
juga diwajibkan mengikutinya.
Karena akan menjadi ‘Musyrifah’, Rahayu banyak
dibelikan gamis dan jilbab yang besar oleh neneknya. Dia sama sekali tidak
diperbolehkan membawa pakaian pendek, tapi dia tetap boleh membawa baju-bajunya
yang oversize. Kamera tentunya tidak lupa dibawa olehnya, untung saja
barang elektronik masih diizinkan selama yang membawa mau bertanggung jawab.
“Baiklah, sekarang siapa yang akan menjemputku?”
Rahayu baru saja keluar dari bandara. Instruksi neneknya, dia harus langsung
keluar ketika sampai, karena penjemputnya tidak mau masuk ke dalam, dia hanya
mau mengunggu di parkiran.
“Mbak Rahayu!!” suara teriakan anak kecil yang
memanggil Rahayu membelah keributan bandara hari itu.
“Yang mana sih, yang namanya mbak Rahayu!!” anak kecil
itu makin keras berteriak mencari Rahayu. Rahayu maju menuju sumber suara, dia
melihat dua orang anak kecil, laki-laki dan perempuan. Suara teriakan anak
kecil tadi berasal dari yang perempuan, dan yang laki-laki hanya diam sambil
matanya mencari keberadaan Rahayu.
“Saya Rahayu” sesaat kedua anak kecil itu diam dan
melihat Rahayu dari atas ke bawah. Yang dilihat terdiam mematung, tentunya dia
kebingungan dengan tindakan labil dua orang bocah itu.
“Aisyah, Ali, dah ketemu?” ditengah kecanggungan itu
datanglah pria asing yang memanggil dua anak kecil itu.
“Ini ustadz Hilal!” seketika anak laki-laki itu
menunjuk ke arah Rahayu yang masih mencoba mencerna kejadian sepersekian detik
yang lalu.
“Assalamu`alaikum mbak Rahayu” panggil Hilal-ustadz
yang bertugas menjemput Rahayu, dia membangunkan Rahayu dari lamunannya.
“Ah, kamu yang jemput saya?” Rahayu kembali sadar dari
lautan pikirannya.
“Iya! Kita yang jemput mbak Rahayu, mbak lama banget!”
kini Ali yang sedari tadi diam mengomeli Rahayu. Langsung saja Aisyah menutup
mulut Ali.
“Sstt, gak sopan Ali! Ingat kata Umma!” ucap Aisyah
memarahi Ali, dengan wajah datar Ali mencubit punggung tangan Aisyah yang
membuatnya berteriak kesakitan.
“Kamu yang teriak di tempat umum juga gak sopan” Ali
berkata seperti itu dengan nada bicara yang dingin. Mata Aisyah sudah mulai
berkaca-kaca, sebelum dia benar-benar menangis Hilal menggendongnya.
“Ayo pulang” katanya sambil berbalik, Ali mengekor di
belakangnya.
“Hei tunggu! Saya…” belum Rahayu selesai bicara, dia
melihat ke belakang dan berkata.
“Maaf, bawa sendiri dulu kopernya. Saya masih gendong Aisyah,
cuman dua kan?” setelah berkata begitu, dia kembali berjalan menuju parkiran.
“Haah” sangat terlihat wajah kesal Rahayu, siapa pula
yang tidak kesal ditinggal begitu saja. Rahayu terlihat bersusah payah membawa
dua koper, satu tas ransel, dan satu lagi tas jinjing. Dia segera duduk di
kursi samping pengemudi, Rahayu melirik lewat spion dalam mobil, terlihat
Aisyah sudah tertidur pulas setelah menangis sesaat dan Ali duduk di sebelahnya
dengan tenang sambil menghadap ke luar jendela.
“Maaf sedikit ribut” ucap Hilal sambil masuk ke dalam
mobil, terdengar permintaan maafnya terlalu datar seperti tanpa rasa bersalah. Rahayu
diam tak menjawab, dia merasa kesal mendengar permintaan maaf Hilal, juga
karena tadi ditinggal dan tidak dibantu mengangkat barang. Mobil segera melaju
menuju pondok pesantren, dan selama perjalanan mereka, Rahayu dan Hilal tidak
berbicara sama sekali.
Sesampainya di pondok pesantren Rahayu turun dari
mobil, kali ini Hilal membantu menurunkan tas-tas Rahayu. Disana Rahayu sekamar
dengan 4 orang lainnya, ada Sri dari kabupaten Bima, Shofi dari kota Mataram,
Ajeng dari provinsi Bali, dan Ratu dari kota Selong.
“Assalamu`alaikum mbak, namanya siapa?” Shofi yang
pertama bicara pada Rahayu saat dia baru datang. Dengan senyuman manis Rahayu
menjawab.
“Saya Rahayu, panggil Ayu aja” Rahayu mengulur
tangannya untuk berjabat tangan. Bukannya balas mengulurkan tangan, Shofi malah
memeluk erat Rahayu, dan dia hanya bisa diam mematung, sangat terlihat kalua
Rahayu tidak begitu nyaman dengan sentuhan fisik berlebih.
“Senang berkenalan denganmu Ayu!” begitu kata Shofi.
Selanjutnya Shofi mengenalkannya dengan yang lain. Selebihnya Rahayu hanya diam
memerhatikan teman-teman kamarnya yang asyik bercerita tentang tempat asal
mereka.
“Eh, Rahayu yang justru dari Surabaya tentu paling
banyak ceritanya kan?!” seru Ratu dengan semangat 45’. Seketika Rahayu yang
baru saja selesai menata lemari menggeleng keras.
“Gak ada apa-apa kok. Ini kan sudah mau waktu makan
malam, harusnya kita makan aja dulu” segera Rahayu menghentikan topik, dia
tidak ingin ditanyai, atau lebih tepatnya dia tidak mau banyak berbicara. Dia
sudah kehilangan separuh tenaganya selama perjalanan. Untungnya teman kamar
Rahayu segera meng-iya kan perkataan Rahayu.
Saat perjalanan untuk makan, banyak santriwati yang
melewati mereka sambil bicara kegirangan. Walau kebingungan mereka tidak bisa
bertanya, tentu saja malu jika baru datang malah bertanya ‘hot news’ apa
yang terjadi. Di tengah perjalanan mereka menemukan segerombol santriwati yang
diam seperti menonton sesuatu.
“Masya Allah, nikmat mana yang engkau dustakan” ucap
salah satu santriwati samil menutup mulutnya terkagum.
“Iya, kapan lagi bisa lihat Ustadz Hilal bak future
husband gitu” sambut yang lain.
“Ya Allah, kapan Uatadz Hilal bakal liat ana
sebagai salah satu wanita surga untuknya” ternyata mereka menonton Hilal yang
menemani duo ‘Aisyah dan Ali’ bermain. Hilal menggendong Ali di punggungnya,
dan Aisyah sibuk merengek sambil menarik baju kokonya. Rahayu dan empat teman
kamarnya ikut menonton hal yang membuat asrama putri gempar.
“Aku tahu ustadz itu, kemaren dia yang jadi imam” Sri
yang pertama angkat suara.
“Ya, suaranya Masya Allah. Adem banget” Ajeng
melanjutkan perkataan Sri.
“Coba dia jodoh kita, tapi sedih deh dah ada yang
duluan deket ternyata” sambung Ratu sambil berlagak sok sedih. Setelah Ratu
bicara semua santriwati yang berkerumun terdiam tanpa melihat ke arah mereka.
“Enaknya kemaren Shofi didatangin langsung, dikasih
bajunya yang ketinggalan!” Ajeng bicara dengan suara yang agak dibesarkan,
Shofi yang disebut malah tertunduk tersipu.
“Hilal itu teman dekat rumah kok, kebetulan kemarin
bunda emang nitip ke Hilal, soalnya Hilalnya juga sekalian mau balek ke pondok
dari Mataram” Shofi berusaha mengendalikan nada bicaranya agar tidak terlihat salting.
Semua santriwati yang berkerumun mulai bubar satu persatu, mereka menyadari
kalau kesempatan mereka pupus sudah.
Di tengah percakapan panas itu Rahayu diam sambil
berpikir ‘Mereka sadar gak sih, kalau yang diliatin itu cuman kelihatan dari
celah pagar yang jaraknya 200 meter’ batin Rahayu sambil menggeleng,
sebelum percakapan itu makin panjang Rahayu melanjutkan perjalanan menuju
tempat makan.
Teman kamar Rahayu sampai sepuluh menit kemudian,
mereka dating dan bergabung dengan Rahayu yang duduk sendirian di meja makan
Panjang. Walau makan, mereka tetap saja asyik bercerita, tapi tidak dengan
Rahayu. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya ‘Sekarang diamana aku bisa
mencari alasan mencintai Indonesia. Waktuku terbuang, seharusnya dalam waktu
tiga bulan aku bisa ke Gunung Semeru dan Gunung Batur, setelah it uke Raja
Ampat atau ke Sungai Kapuas’. Karena tenggelam dengan pikirannya, tak
terasa makanan Rahayu sudah ludes. Menunya malam ini tak mewah, hanya sambal
goreng tempe dan sayur bening, bagi Rahayu yang sudah biasa travelling
lauk pauk sederhana ini sudah cukup. Dia bukan orang yang terlalu pemilih dalam
urusan makan.
Begitulah setengah hari pertamanya dijalani dengan
lancar, walau sudah kembali ke kamar Rahayu tetap menolak bercerita dan
berusaha mengubah pembicaraan, memancing agar mereka kembali bercerita lagi.
Mereka mulai
mengikuti kegiatan asrama pada keesokan harinya. Dari sholat tahajud bersama,
dilanjutkan dengan sholat subuh berjamaah dan membaca Al-qur`an. Lalu khusus
untuk musrif/ah yang datang dari luar pondok akan belajar agama bersama
ustadz/ah disana pada jam sekolah para santri, mereka mendapat tugas untuk
menuliskan teks laporan di akhir sebelum mereka kembali ke tempat asal mereka.
Siang adalah waktu bebas, lalu di sore hari mereka mendapatkan pendidikan
Bahasa Arab atau Bahasa Inggris sesuai jadwal, dan pada waktu magrib mereka
mengikuti kajian bersama para santri, setelah sholat isya adalah waktu bebas
sekaligus waktu istirahat. Hari libur jatuh pada hari jum`at dan sabtu, tentu
hari libur nasional juga akan diliburkan.
Rahayu menjalani kegiatan disana dengan patuh tanpa
kendala. Setiap hari libur Rahayu selalu mencari-cari waktu untuk memotret apa
saja yang menurutnya indah, hal apapun itu walau hanya sekedar kerikil di
pinggir jalan, rumput ilalang di lahan kosong pondok, bahkan macam-macam lumut
yang tumuh di tembok bangunan asrama dan sekolah.
Hubungan Rahayu dan teman sekamarnya biasa saja.
Tidak, lebih tepatnya Rahayu yang menjaga jarak, dia selalu tidak ingin
didekati mereka, mengalihkan pembicaraan jika di ajak bercerita. Pergi untuk
makan atau mencuci selalu di saat yang lain tak ingin pergi atau sudah
melakukannya, dia rela untuk makan paling awal atau terakhir, atau mencuci di
tengah malam sebelum orang-orang bangun sholat tahajud. Bukannya Rahayu tidak
menyukai teman sekamarnya, dia hanya tidak ingin dekat dengan siapapun dalam
kurun waktu 3 bulan ini, hanya tak ingin ada perasaan merepotkan yang menggangu
waktu terakhir disini. Lagipula neneknya hanya ingin dia sedikit mendalami
pelajaran agama, neneknya sudah berjanji jika setelah belajar di pondok tidak
membuatnya memakai jilbab, maka neneknya tak akan memaksanya, seidaknya dia
sudah memiliki dasar agama untuk masa depan.
Sudah sebulan lamanya Rahayu menjalani kehidupan
asrama, bagi Rahayu waktu sebulan bukan sesuatu yang spesial. Tapi bagi
teman-temannya ini adalah waktu yang sangat ditunggu, akhirnya mereka mendapat
kesempatan untuk keluar pondok bersama keluarga, teman, atau seseorang di hati.
Mereka diperbolehkan keluar dan menginap sebulan dua kali, begitu aturan untuk
santri, begitu juga aturan untuk musyrif/ah yang dari luar pondok.
Hari ini semua teman kamar Rahayu janjian untuk ke
luar, jalan-jalan bersama sekaligus menginap di rumah Ratu, semua kecuali
Rahayu tentunya. Rahayu yang sendirian
di hari libur ini memilih mengambil jatah keluarnya untuk berjalan-jalan
mencari objek untuk difoto.
“Padahal dulu aku selalu memotret gunung, kawah, laut,
atau hewan-wan di hutan. Sekarang aku seperti orang gabut mencari semua
hal untuk difoto” Rahayu mengeluh melihat kameranya yang berisi foto rumput,
batu, lumut, bahkan lumpur dan tanah juga ada.
“Pakai jilbab juga merepotkan, aku jadi tidak bisa
mengangkat lenganku tinggi-tinggi” kali ini Rahayu mengeluhkan jilbabnya, dia
mengeluh sambil berjongkok memperbaiki jilbabnya.
“Ah susah banget” Rahayu mengeluarkan kamera yang
dikalungkan di lehernya dan menaruhnya di sampingnya, sedang dia memajukan
jilbabnya untuk merapikan rambutnya yang keluar. Saat memasang kembali
jilbabnya, betapa terkejutnya Rahayu, tiba-tiba saja ada yang memotretnya dari
samping.
“Wih bagusnya, padahal tiba-tiba tapi hasilnya bagus. Entah
karena kameranya yang bagus, atau objek fotonya yang kece” suara khas dari
orang yang selalu dipuja-puja para santriwati. Dia terenyum sambil melihat
hasil fotonya.
“Lihat, bagus kan?” Hilal menunjukkan hasil fotonya
sambil tersenyum bangga. Rahayu terdiam sesaat, lalu bangkit sambil menatap
dingin Hilal.
“Tidak sopan” ucapnya singkat. Hilal ikut bangkit dan
mengembalikan kamera milik Rahayu.
“Maaf, saya hanya terlalu sering melihat kamu
sendirian. Apa tidak kesepian” saat Hilal selesai bicara, Rahayu melihatnya
dengan tatapan kesal.
“Kamu tuh gak ada bagus-bagusnya, kenapa bisa
diidolakan banyak orang. Rambut berantakan, style fashion yang aneh dan amburadul,
hobi ninggalin orang, sekarang tiba-tiba sewot sendiri. Kalau kamu mau saya
bisa list seratus hal buruk tentang kamu! Saya heran banget, padahal
ganteng banget juga enggak, di pulau Jawa ada banyak yang lebih cakep, dan
tentunya lebih tinggi dari kamu” tanpa sadar Rahayu mengeluarkan uneg-uneg
nya tentang Hilal. Menurutnya semua orang yang mengidolakan orang macan Hilal
adalah orang paling lebay. Tapi kapan sih warga Indonesia gak over
reacting?
“Hah, separah itu ya?” wajah Hilal tidak mendukung
perkataannya yang terdengar terkejut, lihat ekspresinya yang jelas terlihat dia
tahu isi pikiran Rahayu tentangnya. Merasa membuang waktu dan tenaga, Rahayu segera
oergi meninggalkan Hilal.
“Kamu cinta Indonesia?” satu pertanyaan itu membuat
Rahayu terdiam. Satu pertanyaan itu yang selama ini membuatnya kalut selama 5
tahun terakhir, dia tak pernah sekalipun menemukan jawabannya. Rahayu berbalik
dan menatap dalam Hilal.
“Apa kamu tahu, bagaimana cara mencintainya? Kamu
tahu?” Rahayu terpancing, dia mengeluarkan pertanyaan absurd yang sudah
dia tanyakan ke puluhan orang di sekitarnya. ‘Bagaimana cara mencintai
Indonesia?’.
“Kamu merasa tidak bisa menemukan jawabannya karena
terkurung disini?” pertanyaan Hilal membuat Rahayu terdiam untuk kedua kalinya,
benar-benar tepat sasaran. Sebenarnya jawaban pertanyaan Hilal sudah terlihat
dari perilaku Rahayu, bahkan dari matanya saat ini, terlihat jelas seperti anak
burung yang ingin keluar sangkar untuk mencari jati dirinya.
“Ikut aku” Hilal berbalik berjalan. Kali ini Rahayu
sudah terjebak, dia tak akan bisa menolak perkataan Hilal selama beberapa waktu
ke depan.
Mereka berjalan menyusuri jalan menuju perkampungan
dekat pondok, Hilal terlihat sudah kenal dengan banyak orang disana. Dia
menyapa dan bercengkrama dengan Bahasa Sasak, bahasa daerah Lombok. Sesekali
orang-orang melihat Rahayu dan kembali bicara dengan Hilal.
“Ne Rahayu, dengan Jawa. Dendek ngeraos
kance ie kadu bahase Sasak, ndek ie paham” (ini Rahayu, jangan bicara
dengannya pakai Bahasa Sasak, dia tidak paham) orang-orang tertawa setelah
mendengar itu. Rahayu yang disebut namanya keingungan, dia pikir dirinyalah
yang ditertawakan.
“Aro, arak-arak doang side jak. Tumben de perhatian
lek kanak nine” (Duh, ada-ada aja kamu, tumben
perhatian sama anak gadis) kata seorang ibu-ibu sambil memukul-mukul punggung
Hilal. Rahayu jadi semakin yakin bahwa dirinya yang ditertawakan, lihatlah
ibu-ibu itu tertawa dengan terbahak-bahak sampai memukul Hilal. ‘Ah, mau
balek aja. Nyesel aku ngikut ni orang, rasanya aku diejek sama orang-orang
desa’ batin Rahayu mengutuk keputusannya yang mau saja mengikuti Hilal.
“Duh, diilangin jangan pakai Bahasa Sasak, kasihan dia
gak ngerti” Hilal mundur menghindari pukulan ibu itu. Warga desa tertawa
mendengarnya.
“Maafkan kami, kamu pasti tidak mengerti percakapan
kami daritadi” salah seorang bapak-bapak meminta maaf duluan, Rahayu hanya
mengangguk-angguk pelan.
“Tenang kok, kami tidak mengejekmu. Malah kami
mengejek dia” ibu-ibu tadi bicara sambil menunjuk Hilal yang masih was-was akan
dipukul lagi. Rahayu makin bingung, dia merasa serba salah.
“Namamu Rahayu? Ayu ne, podo ambek jeneng e”
(cantiknya, sama seperti namanya) kali ini ada seorang nenek tua yang bicara
dengan Bahasa Jawa, Rahayu tidak menyangka akan ada yang bisa berbahasa Jawa.
“Ini papuq Ani (nenek dalam Bahasa Sasak), dia
tinggal di Jawa selama masa mudanya” jelas salah seorang warga, Rahayu hanya
mengangguk paham.
“Saya tidak terlalu fasih, lagipula sudah banyak yang
lupa, maklum faktor usia” papuq Ani menjelaskan. Rahayu tersenyum, dia
tak menyangka akan bertemu dengan orang yang setidaknya tahu akan pulau
asalnya.
“Papuq Ani, tinggalnya di Jawa mana?” ini yang pertama
kalinya dalam hidup Rahayu dia bertanya duluan, selama ini dia tidak pernah
merespon selama dia di sini. Hilal yang mendengar saja terkejut, dia masih
tidak percaya seorang Rahayu yang dia lihat enggan berinteraksi dengan
orang-orang di pondok, malah tertarik dengan seorang nenek tua dari desa
sekitar.
Percakapan Rahayu bersama orang-orang itu tak berhenti
sampai di situ. Setelah bercakap beberapa menit, para warga mengajak Rahayu
untuk singgah di berugak rumah warga. Di sana para warga menyambut Rahayu
dengan berbagai macam makanan daerah, untuk makanan pembuka diberikan gorengan
risoles, pastel, dan ote-ote. Untuk makanan utama diberikan ayam bakar
Taliwang, lengkap dengan pelecing khas bumi Sasak. Dan sebagai penutup
diberikan es Doger khas Bandung, berbagai macam jajanan manis seperti kue
Klepon, lapis ketan dan kue Sus.
“Walau es nya bukan khas Sasak, tapi yang bikin tetap
orang Sasak” begitu kata seorang ibu-ibu yang membuat semua menu masakan yang
sudah ludes dilahap tamu dari pondok.
Setelah selesai makan dan bercengkrama setelah makan,
Hilal mengajak Rahayu untuk pergi ke spot foto alam yang bagus. Tak jauh
dari desa ada bukit yang memiliki mata air, jalannya tidak begitu terjal, dalam
waktu 10 menit mereka telah sampai ke puncaknya.
“Waah, aku gak pernah tahu ada bukit begini di dekat
pondok” Rahayu sudah fokus ke kameranya.
“Iya, bukit ini kehalang sama bangunan asrama putra.
Jadi kalau gak pernah keluar dari asrama putri kamu gak bakal tahu” Rahayu
melihat sinis Hilal, dia merasa kalau dirinya disindir.
“Yaudah, serah” setelah berkata begitu Rahayu kembali
fokus memotret permukiman desa sekaligus pondok mereka yang terlihat dari atas
sana. Hilal tersenyum melihat reaksi Rahayu. Disaat Rahayu sibuk melihat hasil
tangkapannya Hilal mendekat.
“Kamu sering bepergian ya?” tanya Hilal, Rahayu
berhenti melihat kameranya dan melihat sosok Hilal di sampingnya yang tenang
melihat pemandangan di bawah.
“Ya begitulah” jawab Rahayu, dia merasa ada sesuatu
yang aneh dan tak beres.
“Apa aitu hobimu?” kali ini Hilal bertanya sambil
melihat wajah Rahayu. Rahayu terdiam beberapa saat lalu menarik napas.
“Tidak” kali ini Rahayu menjawabnya dengan suara yang
kecil hampir tak terdengar.
“Tapi kamu sering melakukannya” Hilal kembali bicara,
dia terlihat penasaran dengan apa yang disembunyikan Rahayu dibalik matanya
itu.
“Ya dan tanpa sadar itu menjadi kebiasaanku” kata
Rahayu sambil menoleh ke pemandangan di hadapannya. Matanya berubah menjadi
sendu, seakan sedang melihat kilas masa lalu, sepertinya bukan masa lalu yang
indah untuk dikenang.
“Haah, sepertinya ini bukan saatnya” Hilal menghela
napas pasrah, Rahayu menoleh ke Hilal dengan tatapan bingung.
“AKU INGIN TAHU ALASANMU!” tiba-tiba Hilal berteriak
keras, Rahayu terpaku mendengarnya.
“SEMOGA KAU INGIN MEMBERITAHUKU SUATU SAAT NANTI!”
kembali Hilal berteriak semakin kencang sampai Rahayu menutup telinganya.
“Berisik sekali” Rahayu pergi setelah berkata berkata
begitu, dia tidak peduli dengan Hilal yang masih diam di atas sana.
‘Haah, apa maskudnya coba?! Dia mau tahu alasan apa?
Alasanku? Kenapa coba, gabut banget. Aneh, gila!’
Rahayu mempercepat langkahnya, pikirannya sedang kacau sekarang. Saat turun dia
melewati rumah para warga, semua warga yang dia temui tadi menyapanya, karena
tidak enak Rahayu meladeni mereka sambil was-was Hilal datang. Beruntungnya
Hilal tak kunjung terlihat, akhirnya Rahayu bisa kembali dengan selamat ke
pondok sebelum adzan magrib berkumandang. Dia kembali dengan membawa nasi
sekaligus lauknya, sesampainya di kamar dia disambut teman-teman kamarnya yang
baru saja kembali. Untungnya dia sudah menaruh nasi dan lauk yang dia terima di
dapur, jadi taka da teman kamarnya yang tahu dia keluar hari ini.
Hari-hari selanjutnya akan menjadi hari yang aneh bagi
Rahayu. Dimulai dari pagi ini, dia terkejut mendengar suara adzan subuh, bukan
tanpa alasan, tapi karena Hilal yang adzan subuh ini. Sanging terkejutnya dia
sampai terpeleset di tempat wudhu, dia terkejut begit pula teman kamarnya yang
tumben melihat Rahayu bereaksi begitu.
Lalu di siang hari dia melihat Hilal yang lewat di
depannya, sontak dia kaget dan mundur. Ternyata yang lewat hanya paman OB yang
membawa alat pel, Rahayu memukul kepalanya yang berhalusinasi. Kejadian itu
bukan hanya terjadi sekali atau hanya sehari, hal itu terjadi berulang selama 3
minggu setelah dia berjalan-jalan ke desa.
“Haah, bisa gila aku” kata Rahayu depan kaca wastafel
kamar mandi, dia melihat Hilal dimana-mana.
“Aku harus memeriksa kepalaku” Rahayu keluar dari
kamar mandi sambil memegang kepalanya.
“Kamu sakit?” terdengar suara menakutkan bagi Rahayu,
dia menoleh untuk memastikan sosok menakutkan itu tak ada. Sayangnya dia salah,
Hilal sedang berdiri tepat di belakangnya. Wajah Rahayu bersemu merah,
bersembunyi saat petak umpet saja selalu kalah, apalagi menyembunyikan
perasaan.
“Gak… usah peduli. Aku biasa saja kok” Rahayu berusaha
berbicara dengan lancer sambil melihta wajah Hilal yang bingung. Tanpa sadar
ada beberapa santriwan dan satriwati yang mengekor di belakang Hilal ‘Aduh
aku lupa, ini kan toilet daerah sekolah’ Rahayu kesal dengan dirinya,
kenapa juga bisa sampai ke kawasan sekolah.
“Kalau begitu saya duluan ya Ustadz” Rahayu menunduk
dan buru-buru pergi.
“Eh, bentar mbak Ayu!” Rahayu kaget sampai tak sengaja
tersandung pinggiran lantai lorong dan membuatnya terjatuh ke deretan tanaman hias
depan kelas. Segera para santriwati membantu Rahayu untuk bangkit sambil
bertanya keadaannya, Rahayu segera menjawab sambil tersenyum bahwa dia tidak
apa-apa.
“Ini, saya cuman mau minta nomornya. Disuruh sama mudir”
Hilal menyodorkan ponselnya, wajah Rahayu sudah merah padam mendengarnya, dia
merasa terlihat sangat bodoh di depan para santri.
Setelah kejadian itu Rahayu menjadi trend topic
selama seminggu full. Teman kamarnya bertanya padanya, begitu juga dengan
beberapa satri dan pembina asrama ‘asli’, Rahayu hanya bisa beralasan kalau
waktu itu anemianya kambuh, akan tetapi semua orang tahu kalau itu
bohong. Mereka jadi menebak-nebak apa yang terjadi di antara Rahayu dan Hilal.
Yang paling Rahayu takutkan jika Shofi bertanya padanya. Tapi di luar
ekspetasi, Shofi bertanya dengan semangat membara, dia terlihat riang saat
mendengar gosip tentang Rahayu dan Hilal. Belajar dari kesalahan, Rahayu mulai
mencoba mengendalikan diri saat berinteraksi dengan Hilal. Walau masih
kelepasan beberapa kali, sekarang Rahayu sudah bisa mengobrol dengan nyaman.
Tapi dia masih ingat untuk menjaga jarak dengan Hilal, Rahayu masih ingat bahwa
Hilal adalah seorang ustadz yang harus menjaga nama baiknya.
Tak terasa waktu yang Rahayu jalani di pondok
pesantren semakin cepat berlalu. Dia tetap rutin mengunjungi warga desa, walau
tanpa Hilal dia bisa berjalan-jalan sendiri bahkan Rahayu mulai sedikit-sedikit
mempelajari Bahasa Sasak dari para warga desa. Pada hari libur nasional
terkadang Rahayu curi-curi waktu untuk keluar, kadang bercengkrama dengan
warga, atau berjalan-jalan di sekitar bukit, memotret apa yang dia temukan.
Yang lebih bagusnya lagi setelah masalah ‘trend topic’ itu, Rahayu
menjadi lebih terbuka kepada teman-temannya yang lain, kali ini dia tidak
menyendiri dan bahkan bercerita sedikit tentang dirinya.
Hari ini adalah hari libur terakhirnya di pondok
pesantren, akhir-akhir ini teman-temannya sibuk memikirkan laporan akhir
mereka. Tidak dengan Rahayu, dia kembali sibuk memikirkan ‘alasannya untuk
mencintai Indonesia’. Dan hari ini adalah hari Rahayu ingin meminta jawaban
yang selama ini dia cari sepanjang hidupnya.
Rahayu keluar sambil membawa kameranya, memotret
apapun di sekitarnya, kali ini bukan batu, rumput, apalagi lumut. Kamera Rahayu
penuh akan foto orang yang bekerja di sawah, seorang ibu menemani anaknya
bermain engklek, ada juga foto papuq Ani yang sedang asyik
memakan rujak soto buatan Rahayu.
Rahayu berjalan sampai di perbatasan antara desa dan
kaki bukit, dia melihat Hilal yang memakai pakaian santai tanpa ada sarung,
baju koko, ataupun peci. Mereka akan mengobrol sambil mendaki bukit.
“Jadi mana jawabanku?” Rahayu bertanya tanpa basa
basi.
“Ceritakan dulu kisahmu” kata Hilal menagih janjinya,
Rahayu mulai menarik napas bersiap untuk memulai cerita.
“Dulu aku punya sahabat pena dari Australia, Harry
namanya. Ceritanya lucu, dulu aku iseng menulis surat dengan Bahasa Inggris dan
memasukkannya ke dalam botol, aku menaruh nomor telepon rumah dan berharap aka
nada seseorang yang menelpon. Walau terdengar mustahil nyatanya aku berhasil
setelah 5 bulan menunggu, aku gembira bukan kepalang, ide bodohku berhasil.
Awalnya hanya menelpon dengan telepon rumah, lalu dia memberitahuku nama sosmed
nya dan kita berganti perantara. Suatu hari aku mengatakan padanya bahwa aku
sama sekali tidak menyukai Indonesia, banyak tempat indah tapi tak dijaga,
banyak tradisi unik tapi tak dilanjutkan, banyak korupsi dan kejahatan yang
diacuhkan. Akan tetapi Harry bilang kalau justru dirinya menyukai Indonesia,
walau berjuta keburukan kukatakan Harry tetap mencintai Indonesia. Sampai saat
dia bilang akan pindah ke Indonesia! Itu nyata, Harry benar pindah dan menetap
di kontrakan dekat komplek rumahku. Bohong kalau aku bilang kami tidak dekat,
apalagi tidak memiliki perasaan. Semakin aku dekat dengan Harry dia semakin
tertarik dengan Indonesia, dan bahkan Islam. Aku tak menyangka aka nada orang
asing yang cintanya terhadap negara ini dan agama Islam bisa setulus itu. Aku
tetap tidak bisa mencintai Indonesia, walau Harry sudah berjuta kali
mendoktrinku dengan hal-hal baik tentang Indonesia. Semua berjalan lancer
sampai saat tahun pertama kuliah” ekspresi Rahayu berubah.
“Harry ditemukan lompat dari gedung lantai lima di
kampus, itu kasus pembunuhan, pelakunya sudah ditangkap dan divonis penjara
seumur hidup. Di pesan terakhirnya dia menuliskan. ‘Ayu cintailah negri ini.
Carilah alasanmu!’, satu kalimat itu mulai mengubahku. Aku mulai dari sekitar,
selama kuliah aku tidak pernah menemukannya, yang ada aku semakin memandang
buruk Indonesia. Setauh yang lalu aku meminta izin ke orang tuaku, aku mulai
mengelilingi tempat-tempat indah Indonesia bersama eberapa orang pecinta alam
dari kampus. Aku mengabadikan setiap pemandangan indah yang kulihat, berharap
ada satu hal yang menyentuh hatiku, tapi semua hanya harapan semata. Masih taka
da alasan aku mencintai Indonesia, sampai di titik nenekku menegurku yang lupa
untuk mencintai agama” Rahayu terdiam sejenak, dia melihat Hilal yang setia
mendengar.
“Aku sangat payah bukan?” mata Rahayu berubah menjadi
sendu. Hilal menarik napas, bersiap bicara.
“Kamu tidak payah, tapi kamu hanya tidak melihatnya
saja” Hilal kembali berjalan menuju puncak bukit, Rahayu mengekor di belakang.
Akhirnya mereka sampai di puncak bukit. Langkah Hilal terhenti dan berbalik
menghadap Rahayu.
“Kalau kamu tidak bisa mencintai lewat apa yang kamu
lihat, kamu tinggal ambil alih di dalamnya” Hilal maju dan mengambil kamera
Rahayu, dia terlihat mencari-cari foto.
“Lihat ini” Hilal menyerahkan kamera yang
memperlihatkan foto Rahayu bersama orang-orang desa dan pondok.
“Kapan ini…” belum selesai Rahayu bicara, Hilal
melanjutkan.
“Aku yang mengambil fotonya. Lihat dalam foto itu,
kamu dan orang-orang di sekitarmu. Selama ini kamu berfikir kalau Indonesia
adalah sebuah tempat yang layak dicintai karena keindahannya, kamu tak berfikir
kalau negri ini layak dicintai karena apa yang selama ini kamu dapatkan di
dalamnya. jika kamu tidak ada di Indonesia, bisa jadi kamu tidak lahir menjadi
orang Islam, bisa jadi kamu tidak bertemu Harry, teman-teman kamarmu, atau
bahkan diriku” Rahayu diam mencerna perkataan Hilal.
“Lihatlah dari sudut yang berbeda, cintailah Indonesia
sebagai negri yang mempertemukanmu dengan orang-orang yang kamu cintai. Inilah
tanah tempat kelahiranmu, bukannya itu patut menjadi alasan kecil mengapa kamu
harus mencintai lalu menjaga agar negri ini menjadi tempat yang lebih baik
untuk orang-orang yang kau cintai” Rahayu menangis, mengapa selama ini dia
tidak menyadarinya. Padahal semua ada di depan matanya, dia melihat, mendengar,
bahkan ikut menjadi bagian di dalamnya.
Sekarang dia bisa menulis laporan akhirnya. Bukan
hanya laporan akhir, tapi jawaban atas pertanyaan yang membuatnya ragu selama
hidupnya. Acara perpisahan ‘santren kilat’ berjalan lancar, bahkan Rahayu
berfoto dengan teman kamar dan orang-orang desa. Ali dan Aisyah menangis,
selama ini mereka banyak menghabiskan waktu dengan Rahayu, bahkan saat hari
ulang tahun Ali, Rahayu yang membuat acara ulang tahun sekaligus surprise
untuknya. Aisyah juga merasa bersenang-senang selama Rahayu menemani mereka.
Sudah 3 hari setelah hari perpisahan pondok, keluarga
Rahayu datang ke Lombok untuk menjemput sekaligus jalan-jalan. Selama keluarga
Rahayu di Lombok, Hilal yang menjadi tour guide untuk mereka.
Saat hari terakhir di bandara.
“Makasih ya le (sebutan untuk anak laki-laki)”
kata nenek Rahayu berterima kasih.
“Nggih mbah” jawab Hilal sopan. Setelah itu
satu-persatu anggota keluarga Rahayu pamitan kepada Hilal, dan terakhir Rahayu
yang berpamitan.
“Alhamdulillah sekarang kamu istiqomah pake jilbab”
ucap Hilal tersenyum, dibalas senyuman bangga oleh Rahayu.
“Moga istoqomah sampai di Jawa ya” kali ini Hilal
berkata sambil mendekatkan wajahnya ke Rahayu dan membuat dia terdiam kaku.
“Kalo berhasil bulan depan pas aku wisuda di Malang
aku bakal jemput kamu ke rumah”.