Langsung ke konten utama

RAINAIRA


“RAINA AYOK TURUN SARAPAN”

“IYAA TUNGGU BENTAR MA”

Dengan cepat aku mengenakan seragam dan merapikan buku. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah liburan. Seperti biasa aku bersiap siap dan beginilah keadaannya, mama yang sudah dari tadi menunggu di meja makan untuk sarapan bersama. Dengan segera aku turun menuju ruang makan.

“Beresin buku itu harusnya dari tadi malem Ra. Jangan dibiasaan nyiapin buku pas pagi, gini kan jadinya” kata mama sambil menyiapkan beberapa slice roti dan susu untuk sarapan

“Iya maaf ma, tadi malem Raina ketiduran” jawabku

“Ketidurannya tiap malem ya? Selalu ada aja alasan kamu, mama selalu liat kamu peluk novel ya pas tidur. Jangan terlalu sering begadang apalagi cuma untuk baca novel.”

“Baca novel juga menambah literasi lo ma” kataku sambil menghabiskan sarapan

“Nggak Papanya nggak anaknya sama aja, keras kepala.” kata mama dengan ekspresi kesal

“Iyaaa mamaa, janji deh terakhir” kataku sambil menghabiskan sarapan.

Seperti biasanya, pagi ini aku hanya sarapan bersama mama. Papa yang sudah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali dan Ragas, saudara laki-lakiku yang entahlah mungkin masih berpelukan dengan bantal kesayangannya.

“Tumben cantik banget Ra, mau ketemu siapa sih?” Kak Ragas yang baru saja turun, terlihat mukanya seperti orang bangun tidur.

“Apasih kak, orang biasanya juga begini” jawabku dengan nada kesal

“Ini wangi banget Ra, biasanya lo nggak mandi juga jadi.”

“Itumah lo ya kak, dasar jorok”

“Udah-udah nanti lagi berantemnya, Ra ayok cepetan itu udh ditunggu sama pak Den” kata mama

“Yaudh Raina berangkat dulu ya ma”

“Hati hati, nanti mama jemput pas pulang jadi jangan kemana mana”

Aku langsung mengacungkan jempol dan berpamitan dengan mama, dan kak Ragas? Mungkin dia sudah kembali lagi ke kamar untuk melanjutkan tidurnya. Di sepanjang perjalanan, aku hanya diam menikmati alunan lagu yang berasal dari handphone ku. Membayangkan apa saja yang akan ku lakukan hari ini di sekolah, apakah ada novel pengeluaran terbaru di perpustakaan hari ini, apakah ada menu baru di kantin hari ini atau mungkin saja ada murid pindahan. Aku tersadar saat pak Den menghentikan mobil tepat di depan gerbang sekolah. Aku keluar dari mobil dan memasuki wilayah sekolah, dengan wajah tersenyum berharap bahwa hari ini akan ada sesuatu yang membuat suasana hatiku lebih baik.

 

Jam sudah menunjukkan pukul 15.00, aku menunggu mama yang tadi pagi sudah berjanji akan menjemputku. Hari ini berjalan seperti biasanya, tidak ada yang special. TIN..TIN.. aku seperti mengenal suara itu. Benar saja, saat aku menengok keluar gerbang, sudah ada papa yang menunggu.

“Mama nggak bisa jemput, masih ada urusan sama klient”

Aku hanya ber-oh saja. Aku sudah memperkirakan hal ini akan terjadi, mama yang akhir-akhir ini memiliki banyak pertemuan dengan klient dan mengurus butiknya yang sedang padat dipenuhi pesanan. Hening. Tidak percakapan antara aku dan papa selama perjalanan pulang. Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamar untuk mengganti baju dan istirahat. Baru saja ingin melangkahkan kaki ke tangga, papa memanggilku.

“Kamu kuliah disini. Papa nggak izinin kamu buat kuliah di luar negeri”

Seketika aku langsung menghentikan langkah kakiku.

“Raina tetap mau kuliah di luar, biarin aku nentuin kemauan aku sendiri”

“Papa akan daftarkan kamu di kampus Ragas. Jangan membantah”

“Nggak mau pa, aku tetap mau kuliadh di luar”

“Mau jadi apa kamu? Setiap hari bisanya cuma ngebantah perkataan orang tua” kata papa

“Ngebantah papa bilang? Aku nggak bakal kayak gini kalau papa mau dengerin aku, kalau papa mau ngertiin aku. Aku dari dulu nggak pernah minta yang aneh aneh kok sama papa. Papa mau dengerin aku aja udah cukup buat aku pa. Udah deh pa aku capek” Kataku.

Aku langsung meninggalkan papa yang masih berdiri di depan tangga. Aku berjalan menuju kamar dan menguncinya. Mataku mulai berkaca-kaca. Selalu saja seperti ini, papa dengan sifat egois dan keras kepalanya.

“Kak Naira kenapa ninggalin Raina secepet ini. Kakak udh janji sama Raina untuk selalu ada sama Raina. Cuma kak Naira yang selalu pengertian sama Raina. Raina sendirian kak” kataku sambil mengangis. Sejak 6 tahun yang lalu, setelah kematian kak Naira kehidupanku berubah 180 derajat. Terutama papa yang sampai sekarang masih saja menyalahkanku atas kematian kak Naira. Dimana papa yang dulu? Dimana papa yang selalu dengar cerita-ceritaku?. Hari pertama sekolah, yang kuharapkan ada kabar gembira yang bisa mengisi diary kebahagiaanku. Bahkan hari ini aku sama sekali tidak mendapatkannya.

 

 

Seharian ini aku hanya berdiam diri di kamar, keluar hanya untuk makan. Untung saja mama mengerti dan memintaku untuk istirahat. Setelah pertengkaran kecil tadi, aku belum melihat papa lagi. Aku mengambil hp di meja dan langsung membuka whatsapp. Ku lihat sebuah notifikasi sebuah grup yang pesannya sudah mencapai dua ribu. Entah apa yang sedang dibicarakan teman kelasku sampai hp ku sedari tadi tidak berhenti berbunyi karena banyaknya notofikasi yang masuk. Lalu aku tertarik dengan satu notifikasi yang masuk. Jefan, sahabat sekaligus teman ceritaku. Sejak sd kami sudah saling mengenal dan mulai dekat saat SMP sampai sekarang. Aku membuka notifikasi itu dan membacanya. “Ra, kerjain tugas Bahasa Indonesia yuk. Gue langsung tunggu di tempat biasa ya. Jangan lama-lama”. Aku langsung turun dari Kasur dan bersiap-siap.

“Ma Raina pergi dulu ya, sama Jefan kok”. Tidak ada jawaban.

 “Mau kemana kamu?”. Itu bukan mama. Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati papa yang berjalan dari arah dapur masih dengan pakaian kantornya, sepertinya baru pulang.

“Aku mau kerjain tugas sama Jefan” kataku

“Nggak bisa kamu kerjakan sendiri? Balik ke kamar. Jangan pernah berani keluar lagi apapun alasannya. Belajar sekarang, persiapkan untuk ujian akhir” Kata papa sedikit emosi

“Papa kenapa sih? aku keluar juga buat belajar pa. Papa nggak bisa terus-terusan kekang Raina” kataku

“Kenapa kamu tidak bisa seperti Naira? Keras kepala, egois. Coba kamu seperti Naira yang selalu dengar perkataan papa”. Aku tidak suka jika papa sudah seperti ini, menganggap bahwa aku bisa seperti kak Naira. Mengharuskan aku untuk bisa seperti kak Naira.

“Papa nggak bisa terus terusan samain aku sama kak Naira. Kita beda pa. Aku juga bukan kak Naira yang selalu nurutin kemauan papa. Aku juga nggak mau jadi orang yang keras kepala, orang yang egois. Tapi kenyataannya papa juga sama kan, egois. Semua kemauan papa harus dituruti. 6 tahun pa. Apa papa nggak capek kayak gini terus? Aku capek. Kapan papa bisa maafin aku atas kematian kak Naira?”

“Terus sekarang mau kamu apa? Seharusnya kamu sadar sama kesalahan kamu.”

Papa pergi begitu saja meninggalkanku di teras. Ku kira hari ini semuanya akan selesai, aku kira hari ini aku bisa memeluk papa lagi. Hari ini lagi dan lagi ekspetasiku dipatahkan oleh kenyataan.

 

 

 

Keesokannya, aku tidak masuk sekolah karena kepalaku yang pusing dan demam. Mama yang seharusnya mendatangi pertemuan bersama klient hari ini dibatalkan,ingin menemaniku katanya.

“Gimana Ra? Demamnya udh turun ni” tanya mama

“Lumayan ma, tapi masih pusing aja” jawabku

“Raina, apa nggak capek kayak gini terus sama papa? Mau sampai kapan nak?”

“Aku harus jelasin gimana lagi ke papa ma? Mama tau sendiri papa itu keras kepala. Kenapa papa selalu ingin aku seperti kak Naira? Aku pengen jadi diriku sendiri ma. Aku nggak bisa sehebat kak Naira, aku nggak bisa sepintar kak Naira. Yang aku butuhin Sekarang cuma papa yang dulu. Bukan papa yang sekarang, selalu nyalahin aku selalu banding-bandingin aku. Aku nggak sekuat itu, aku juga capek ma. Tapi papa nggak pernah ngerti.” Aku meluapkan semua beban dan kesedihanku pada mama. Aku selalu menyembunyikan semua kesedihanku selama ini, berharap bahwa aku bisa menyelesaikannya sendiri. Tapi kenyataannya? Aku kewalahan. Aku kehabisan cara bagaimana agar papa mau memaafkanku. Mama dan kak Ragas juga sering membicarakan hal ini pada papa bahwa semua ini hanya kesalah fahaman dan tidak mungkin aku sengaja melakukan itu pada kak Naira. Tetapi omongan mama dan kak Ragas tidak dihiraukan oleh papa. Kak Naira adalah anak kesayangan papa, dari kecil kak Naira sudah banyak meraih prestasi. Aku dan kak Ragas tidak seperti kak Naira, kami berbeda dengan karakternya masing masing. Sebelum kak Naira meninggal, papa tidak seperti ini. Aku juga selalu disayang oleh papa, tidak ada perbedaan antara aku, kak Naira dan kak Ragas. Papa juga tidak pernah memaksaku untuk melakukan ini dan itu. Tapi setelah kak Naira pergi, aku selalu dituntut oleh papa untuk bisa seperti kak Naira. Aku mencoba untuk tidak menangis saat bercerita dengan mama, tapi tidak bisa. Bahkan sekarang terlihat mama yang sedang mengusap pipinya, mama juga menangis.

“Mama nggak tau kalau kamu sampai kayak gini. Kamu kenapa nggak pernah cerita, Ra?” tanya mama dengan muka sembab karena menangis

“Aku nggak mau pikiran mama terganggu. Aku bersyukur hari ini mama bisa dengar cerita aku”.

Aku berharap, semua masalahku dengan papa cepat selesai. Aku cuma butuh papa.

“Kak  Naira bantuin Raina dari sana ya” gumamku dalam hati.

 

 

 

Seminggu telah berlalu. Sepertinya hari ini akan melelahkan, semua pelajaranku sangat tidak bersahabat. Aku segera turun kebawah untuk sarapan.

“Kak Ragas, tumbenan udah bangun? Ada apanii” kataku setelah melihat kak Ragas yang sudah menyantap sarapannya. Tumben sekali dia bangun cepat.

“Tebak sendiri” kata kak Ragas sambil memakan roti slai coklat

“Lo mau ngapelin orang ya? Hati-hati kak kalau masih pagi biasanya nggak direstuin” Melihat penampilan kak Ragas yang serapi ini, bisa saja hal itu terjadi.

“Sembarangan kalau ngomong. Ini itu lebih penting dari sekedar ngapelin orang. Menyangkut masa depan.”

“Lho mama kira Raina udh tau, kak Ragas mau ujian skripsi” kata mama yang tiba-tiba saja datang dari arah dapur.

“Serius mau ujian skripsi lo? HAHA akhirnya kelar juga. Semoga nggak lulus ya kak” kataku dengan nada ejekan

“Punya adek gini amat, doa itu yang baik biar besok nular juga” Kata kak Ragas sambil merapikan kemejanya.

“Iya iyaa semoga lancar terus nanti kalau lulus jangan lupa traktir Raina, minimal 2 novel lah ya”

“Kebiasaan banyak maunya. Yaudah ayok cepetan ntar telat” kata kak Ragas

“Lho Raina berangkat sama kak Ragas? Nggak salah denger ni. Tumben banget, kesambet apaan lo kak?” kataku dengan semangat. Bagaimana tidak, terakhir kali kak Ragas mengantarku ke sekolah saat aku kelas 10, itupun hanya satu kali. Kak Ragas selalu beralasan ke mama agar tidak mengantarku, sampai sekarang aku juga tidak tau alasannya kenapa. 3 tahun ini aku selalu ke sekolah bersama pak Den.

“Udah ah nggak usah banyak tanya, ayok cepet”

“Sabar dikit bisa kan kak. Ma, Raina sama kak Ragas berangkat dulu” kataku samil mencium tangan mama

“Iyaa belajar yang rajin Ra. Kak jangan lupa jagain adeknya, jangan ngebut-ngebut” kata mama

“Iyaa maa. Yok Ra”.

Selama di perjalanan, aku menceritakan banyak hal dengan kak Ragas. Mulai dari kak Ragas yang menceritakan lika liku pengerjaan skripsinya, aku yang juga menceritakan tentang keseharianku dan juga masalahku dengan papa yang masih belum selesai. Tidak terasa, mobil kak Ragas sudh berhenti di wilayah sekolah.

“Belajar yang rajin, nanti kalau pulang jangan kemana-mana, tunggu disini aja. Masalah papa nggak usah dipikirin dulu” kata kak Ragas

“Iya kak tauu, Raina masuk dulu. Jangan lupa novelnya kak”

Kak Ragas langsung melajukan mobilnya menjauhi area sekolah.

 

 

 

“Raina, aku duluan ya”

“Iyaaa, hati-hati”

Hari ini aku telat keluar kelas, karena ada beberapa tugas yang harus ku selesaikan. Sekolah sudah sepi, hanya menyisakan beberapa siswa yang sedang menunggu jemputan dan beberapa pedagang jajanan yang bersiap-siap untuk pulang. Kak Ragas baru saja menelpon dan akan menjemputku. Aku menunggu kak Ragas di halte sekolah sambil melihat kendaraan yang berlalu Lalang. Tetapi ada yang menarik perhatianku. Dari kejauhan aku melihat sesuatu tepat berada di tengah jalan, seekor anak kucing. Sepertinya dia tidak bisa berjalan. Aku melihat keadaan jalan yang cukup sepi, sepertinya aman untuk aku berjalan menuju tengah dan mengambil kucing itu. Saat hendak melangkah, tiba-tiba saja mobil dengan kecepatan tinggi datang ke arahku. Badanku tiba-tiba terasa kaku, ingin berbalik arah namun kakiku seperti mati rasa. Aku mencoba untuk menghindar tetapi seperti ada sesuatu yang menahanku. BUUGGHH!! Pada saat yang bersamaan aku merasakan tubuhku yang melayang. Apa-apaan ini, mengapa aku tidak bisa merasakan berat tubuhku. Dan aku baru tersadar setelah tubuhku jatuh ke aspal. Area sekolah yang tadinya sepi, kini sudah kulihat orang ramai datang ke arahku. Apa yang terjadi padaku beberapa detik yang lalu?? Mengapa ada banyak orang yang datang kearah ku?. Saat itu pulaAku merasa seperti dejavu.

 

 

 

6 tahun yang lalu

Sudah hampir 2 jam aku menunggu disini, sendirian. Sedari tadi anak-anak lain sudah dijemput dan sekarang hanya menyisakan aku dan dua anak lainnya yang aku sendiri juga tidak kenal, mungkin saja mereka anak kelas 4. Hari ini adalah hari pertama sekolah dimana aku sudah naik kelas 6 sd. Tadi pagi papa sudah berjanji akan menjeputku, tapi sampai sekarang juga tidak ada tanda-tanda mobil papa akan datang.  

“RAINAA”

Dengan cepat aku menoleh ke sumber suara. Kak Naira yang sekarang sudah berada di seberang jalan. Sejenak aku berpikir,  untuk apa kak Naira kesini? Apa mau menjemputku? Tidak seperti biasanya. Bisa dibilang sekolahku dengan kak Naira lumayan jauh jika ditempuh dengan jalan kaki. Ah iya aku lupa, kemarin aku sudah berjanji dengan kak Naira untuk pergi ke toko buku yang letaknya berada di sebelah sekolahku. Kak Naira ingin membeli beberapa buku pelajaran SMP, aku juga membutuhkan beberapa alat tulis. Dari seberang ku lihat kak Naira memberi isyarat “kamu tunggu disitu aja, biar kakak yang nyebrang”. Aku meng-iya kannya dengan anggukan kepala. Kak Naira melihat kekiri dan kanan, aman. Kak Naira datang ke arahku dengan sedikit berlari, saat itu juga aku melihat dari kejauhan sebuah mobil putih yang datang kearah kak Naira dengan kecepatan tinggi.

“KAK NAIRA AWASS!!”

Aku berteriak dan dengan segera aku pun ikut berlari kearah kak Naira. BUUGGHH!! Langkahku terhenti, aku terlambat. Apa yang baru saja terjadi dengan kak Naira? Aku masih belum bisa berpikir jernih. Aku melihat darah yang mengalir dari kepala kak Naira. Mobil putih tadi langsung pergi setelah mendapati kak Naira yang tergeletak di aspal. Aku bingung harus melakukan apa pada saat seperti ini. Aku hanya berdiri melihat kak Naira yang masih setengah sadar, lalu melihatku sekilas seperti orang yang meminta pertolongan. Dengan langkah cepat aku berbalik memasuki sekolah, berharap ada orang yang bisa membantu. Tanpa kusadari, aku menangis. Ku lihat seluruh area sekolah, kosong. Kemana semua orang? Seakan memang inilah yang ditakdirkan tuhan, aku tidak tau harus meminta pertolongan kepada siapa. Aku berlari lagi menjauhi area sekolah. Saat keluar, aku sudah tidak melihat kak Naira lagi. Kak Naira dimana? ak Naira sudah tidak ada dan hanya menyisakan darah di jalanan. Aku melihat mobil hitam milik papa dengan papa yang sudah berada di kursi kemudi. Sudah dipastikan bahwa kak Naira ada disana. Baru saja aku ingin berlari menghampiri papa, mobil papa sudah berjalan menjauhi sekolah.

 

 

“Kamu sudah puas setelah buat Naira meninggal? Kemana saja kamu saat Naira minta pertolongan?”

Aku hanya diam sambil menangis. Hari itu juga aku ditinggal oleh orang yang paling aku cintai. Kak Naira tidak bisa diselamatkan setelah dokter menjelaskan bahwa ada pendarahan yang parah di otaknya.

“JAWAB PAPA RAINA”

“Udah pa udah, nggak mungkin Raina ngelakuin ini”. Kata mama membelaku

“Urus anak mu itu. Raina, jangan harap papa bisa memaafkan kamu”

Papa  pergi begitu saja. Aku berlari menuju kamar untuk menenangkan diri. Aku mendapati kak Ragas yang sedang duduk di kamar kak Naira dengan kepala tertunduk. Tanpa bertanya pun aku sudah tau, kak Ragas menangis. Aku masuk kamar dan mengunci pintu, menangis dan menyesali apa yang sudah kuperbuat pada kak Naira. “Kak, maafin Raina”.

 

 

 

Tut…..Tut….. Tut….. dengan samar-samar ku dengar suara itu diiringi dengan suara tangisan. Muncul banyak pertanyaan di dalam pikiranku. Siapa yang sakit? Siapa yang meninggal? Siapa juga yang sedang menangis dan mengapa? Perlahan aku mencoba untuk membuka mata. Putih, seperti bukan di kamarku, lalu aku dimana?. Suara tangisan itu semakin keras saat aku sudah membuka mata sepenuhnya. Mama? Mengapa mama menangis? Aku juga melihat ada kak Ragas dan papa yang berjalan kearah ku. Pikiranku semakin dipenuhin pertanyaan setelah melihat kak Ragas bahkan papa juga ikut menangis. Tolong jelaskan sekarang, sebenarnya apa yang sedang terjadi? Mama langsung memegang tanganku dan mengelus kepalaku.

“Rainaa, mama tau kamu kuat sayang. Maafin mama sayang, mama belum bisa jaga kamux denxgan baik” tangisan mama semakin deras. Aku mulai sadar, ini memang bukan di rumah ataupun dikamar tapi tempat dimana pada saat itu kak Naira dinyatakan sudah tidak ada oleh dokter. Kak Ragas menghampiriku dengan membawa sebuah totebagdi tangannya.  

“Dek, kakak lulus skripsi. Lihat, ini novel yang Raina mau kan. Kakak tau Raina bakal sembuh, nanti kita baca bukunya bareng-bareng yaa. Maafin kakak” Kak Ragas yang juga sudah memegang tanganku. Setelah aku hidup selama 18 tahun, baru kali ini aku mendengar sebutan ‘dek’ dari kak Ragas. Aku ingin membalas semua ucapan mama dan kak Ragas, tapi tidak bisa. Seperti ada sesuatu yang menahanku, rasanya sangat tidak enak. Aku hanya tersenyum tipis, tipis sekali bahkan mungkin semua orang tidak akan tersadar bahwa aku sedang tersenyum. Aku melihat papa yang berjalan mendekati ranjang ku, matanya sudah sembab. Tiba-tiba papa memelukku dengan keadaan ku yang masih berbaring. Papa juga sempat mencium keningku. Sudah lama, lama sekali aku menunggu hari ini terjadi. Meskipun aku tidak bisa membalas pelukan papa, tetap saja aku bahagia.

“Maafin papa, jangan tinggalin papa lagi kayak Naira. Papa janji bakal jagain Raina. Maafin papa.” Aku merasa lega, aku merasa beban yang selama ini memenuhi hari-hariku sudah hilang. Papa yang dulu sudah kembali.

“Pa, apa Raina harus gini dulu baru papa mau maafin Raina? Apa Raina harus masuk rumah saki dulu baru papa mau maafin Raina? Kalau memang iya, Raina tetep senang pa. Raina nggak pernah sama sekali membenci papa, Raina selalu sayang sama papa. Raina harap papa bisa tepatin janji papa ke Raina entah kapanpun itu. Papa jangan pernah menyesal punya anak seperti Raina ya. Semoga papa selalu bahagia dalamkeadaan apapun. Makasih papa yang udh mau maafin Raina. Raina sayang papa.” Kataku dalam hati sebelum aku kembali menutup mata.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Postingan populer dari blog ini

Teks Ceramah

 A. Definisi dan Ciri-Ciri Ceramah     1. Definisi Ceramah          Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ceramah adalah pidato oleh seseorang di hadapan banyak pendengar mengenai suatu hal atau pengetahuan. Ceramah juga berarti penuturan bahan pembelajaran secara lisan. Ceramah merupakan pidato yang bertujuan untuk memberikan nasihat dan petunjuk mengenai suatu permasalahan kepada audiensi yang bertindak sebagai pendengar. Secara umum, ceramah mempunyai pengertian tentang suatu kegiatan berbicara di depan umum dalam situasi tertentu untuk tujuan tertentu dan kepada pendengar tertentu.         Pada dasarnya, pidato, ceramah, dan khotbah memiliki persamaan, yakni pengungkapan pikiran di hadapan banyak orang. Namun, dalam pelaksanaannya, antara pidato, ceramah, dan khotbah memiliki perbedaan. Pidato sering kita ikuti dalam acara-acara resmi, misalnya seminar, rafat pleno,. Ceramah diadakan untuk acara-acara tert...

Teks Laporah Hasil Observasi

            Sebuah laporan hasil observasi dapat disajikan dalam bentuk teks tertulis maupun teks lisan. Kamu sering melakukan observasi atau pengamatan, tetapi belum memahami cara menyusun teks laporannya dengan baik. Untuk itu, kamu perlu memerhatikan penyusunan laporan hasil observasi yang kamu dengar atau kamu baca dari media televisi, koran, majalah, atau internet. A. Pengertian, Ciri-Ciri, Sifat, dan Contoh Teks Laporan Hasil Observasi 1. Pengertian Teks Laporan Hasil Observasi          Teks laporan hasil observasi adalah teks yang berisi penjabaran umum mengenai sesuatu yang didasarkan pada hasil kegiatan observasi/pengamatan. Kegiatan observasi merupakan kegiatan pengumpulan data atau informasi melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat di lapangan atau lokasi. 2. Ciri-Ciri Teks Laporan Hasil Observasi     Teks laporan hasil observasi memiliki ciri-ciri yang membedakann...

ANEKDOT

A. Definisi. Ciri, dan Jenis Anekdot   1. Definisi Teks Anekdot     Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau orang terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Orang-orang penting yang diceritakan dalam anekdot bermacam-macam, seperti tokoh politik, sosial, dan agama.  Sementara itu, peristiwa yang diceritakan dalam anekdot merupakan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun seiring perkembangan zaman anekdot juga digunakan untuk menceritakan tokoh dan peristiwa fiktif.     Anekdot mengandung humor. Humor dalam anekdot dibentuk dengan kelucuan atau kekonyolan tokoh. Tindakan ataupun ucapan tokoh menimbulkan humor karena adanya peristiwa ganjil yang mendasarinya. Humor juga dapat diciptakan melalui permainan kata, makna, ataupun pelesetan terhadap suatu kata ataupun frasa.     Humor dalam anekdot bukan hanya bersifat menghibur. Bia...