“RAINA AYOK TURUN SARAPAN”
“IYAA TUNGGU BENTAR MA”
Dengan cepat aku mengenakan seragam dan merapikan
buku. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah liburan. Seperti biasa
aku bersiap siap dan beginilah keadaannya, mama yang sudah dari tadi menunggu
di meja makan untuk sarapan bersama. Dengan segera aku turun menuju ruang
makan.
“Beresin buku itu harusnya dari tadi malem Ra. Jangan
dibiasaan nyiapin buku pas pagi, gini kan jadinya” kata mama sambil menyiapkan
beberapa slice roti dan susu untuk sarapan
“Iya maaf ma, tadi malem Raina ketiduran” jawabku
“Ketidurannya tiap malem ya? Selalu ada aja alasan
kamu, mama selalu liat kamu peluk novel ya pas tidur. Jangan terlalu sering
begadang apalagi cuma untuk baca novel.”
“Baca novel juga menambah literasi lo ma” kataku
sambil menghabiskan sarapan
“Nggak Papanya nggak anaknya sama aja, keras kepala.”
kata mama dengan ekspresi kesal
“Iyaaa mamaa, janji deh terakhir” kataku sambil
menghabiskan sarapan.
Seperti biasanya, pagi ini aku hanya sarapan bersama
mama. Papa yang sudah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali dan Ragas, saudara
laki-lakiku yang entahlah mungkin masih berpelukan dengan bantal kesayangannya.
“Tumben cantik banget Ra, mau ketemu siapa sih?” Kak Ragas
yang baru saja turun, terlihat mukanya seperti orang bangun tidur.
“Apasih kak, orang biasanya juga begini” jawabku
dengan nada kesal
“Ini wangi banget Ra, biasanya lo nggak mandi juga
jadi.”
“Itumah lo ya kak, dasar jorok”
“Udah-udah nanti lagi berantemnya, Ra ayok cepetan itu
udh ditunggu sama pak Den” kata mama
“Yaudh Raina berangkat dulu ya ma”
“Hati hati, nanti mama jemput pas pulang jadi jangan
kemana mana”
Aku langsung mengacungkan jempol dan berpamitan dengan
mama, dan kak Ragas? Mungkin dia sudah kembali lagi ke kamar untuk melanjutkan
tidurnya. Di sepanjang perjalanan, aku hanya diam menikmati alunan lagu yang
berasal dari handphone ku. Membayangkan apa saja yang akan ku lakukan hari ini
di sekolah, apakah ada novel pengeluaran terbaru di perpustakaan hari ini,
apakah ada menu baru di kantin hari ini atau mungkin saja ada murid pindahan.
Aku tersadar saat pak Den menghentikan mobil tepat di depan gerbang sekolah.
Aku keluar dari mobil dan memasuki wilayah sekolah, dengan wajah tersenyum
berharap bahwa hari ini akan ada sesuatu yang membuat suasana hatiku lebih baik.
Jam sudah menunjukkan pukul 15.00, aku menunggu mama
yang tadi pagi sudah berjanji akan menjemputku. Hari ini berjalan seperti
biasanya, tidak ada yang special. TIN..TIN.. aku seperti mengenal suara itu.
Benar saja, saat aku menengok keluar gerbang, sudah ada papa yang menunggu.
“Mama nggak bisa jemput, masih ada urusan sama klient”
Aku hanya ber-oh saja. Aku sudah memperkirakan hal ini
akan terjadi, mama yang akhir-akhir ini memiliki banyak pertemuan dengan klient
dan mengurus butiknya yang sedang padat dipenuhi pesanan. Hening. Tidak
percakapan antara aku dan papa selama perjalanan pulang. Sesampainya di rumah,
aku langsung menuju kamar untuk mengganti baju dan istirahat. Baru saja ingin
melangkahkan kaki ke tangga, papa memanggilku.
“Kamu kuliah disini. Papa nggak izinin kamu buat
kuliah di luar negeri”
Seketika aku langsung menghentikan langkah kakiku.
“Raina tetap mau kuliah di luar, biarin aku nentuin kemauan
aku sendiri”
“Papa akan daftarkan kamu di kampus Ragas. Jangan
membantah”
“Nggak mau pa, aku tetap mau kuliadh di luar”
“Mau jadi apa kamu? Setiap hari bisanya cuma ngebantah
perkataan orang tua” kata papa
“Ngebantah papa bilang? Aku nggak bakal kayak gini
kalau papa mau dengerin aku, kalau papa mau ngertiin aku. Aku dari dulu nggak
pernah minta yang aneh aneh kok sama papa. Papa mau dengerin aku aja udah cukup
buat aku pa. Udah deh pa aku capek” Kataku.
Aku langsung meninggalkan papa yang masih berdiri di
depan tangga. Aku berjalan menuju kamar dan menguncinya. Mataku mulai
berkaca-kaca. Selalu saja seperti ini, papa dengan sifat egois dan keras
kepalanya.
“Kak Naira kenapa ninggalin Raina secepet ini. Kakak
udh janji sama Raina untuk selalu ada sama Raina. Cuma kak Naira yang selalu
pengertian sama Raina. Raina sendirian kak” kataku sambil mengangis. Sejak 6
tahun yang lalu, setelah kematian kak Naira kehidupanku berubah 180 derajat.
Terutama papa yang sampai sekarang masih saja menyalahkanku atas kematian kak
Naira. Dimana papa yang dulu? Dimana papa yang selalu dengar cerita-ceritaku?. Hari
pertama sekolah, yang kuharapkan ada kabar gembira yang bisa mengisi diary
kebahagiaanku. Bahkan hari ini aku sama sekali tidak mendapatkannya.
Seharian ini aku hanya berdiam diri di kamar, keluar
hanya untuk makan. Untung saja mama mengerti dan memintaku untuk istirahat.
Setelah pertengkaran kecil tadi, aku belum melihat papa lagi. Aku mengambil hp
di meja dan langsung membuka whatsapp. Ku lihat sebuah notifikasi sebuah grup
yang pesannya sudah mencapai dua ribu. Entah apa yang sedang dibicarakan teman
kelasku sampai hp ku sedari tadi tidak berhenti berbunyi karena banyaknya
notofikasi yang masuk. Lalu aku tertarik dengan satu notifikasi yang masuk. Jefan,
sahabat sekaligus teman ceritaku. Sejak sd kami sudah saling mengenal dan mulai
dekat saat SMP sampai sekarang. Aku membuka notifikasi itu dan membacanya. “Ra,
kerjain tugas Bahasa Indonesia yuk. Gue langsung tunggu di tempat biasa ya.
Jangan lama-lama”. Aku langsung turun dari Kasur dan bersiap-siap.
“Ma Raina pergi dulu ya, sama Jefan kok”. Tidak ada
jawaban.
“Mau kemana
kamu?”. Itu bukan mama. Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati papa yang
berjalan dari arah dapur masih dengan pakaian kantornya, sepertinya baru
pulang.
“Aku mau kerjain tugas sama Jefan” kataku
“Nggak bisa kamu kerjakan sendiri? Balik ke kamar. Jangan
pernah berani keluar lagi apapun alasannya. Belajar sekarang, persiapkan untuk
ujian akhir” Kata papa sedikit emosi
“Papa kenapa sih? aku keluar juga buat belajar pa.
Papa nggak bisa terus-terusan kekang Raina” kataku
“Kenapa kamu tidak bisa seperti Naira? Keras kepala,
egois. Coba kamu seperti Naira yang selalu dengar perkataan papa”. Aku tidak
suka jika papa sudah seperti ini, menganggap bahwa aku bisa seperti kak Naira.
Mengharuskan aku untuk bisa seperti kak Naira.
“Papa nggak bisa terus terusan samain aku sama kak
Naira. Kita beda pa. Aku juga bukan kak Naira yang selalu nurutin kemauan papa.
Aku juga nggak mau jadi orang yang keras kepala, orang yang egois. Tapi
kenyataannya papa juga sama kan, egois. Semua kemauan papa harus dituruti. 6
tahun pa. Apa papa nggak capek kayak gini terus? Aku capek. Kapan papa bisa
maafin aku atas kematian kak Naira?”
“Terus sekarang mau kamu apa? Seharusnya kamu sadar
sama kesalahan kamu.”
Papa pergi begitu saja meninggalkanku di teras. Ku
kira hari ini semuanya akan selesai, aku kira hari ini aku bisa memeluk papa
lagi. Hari ini lagi dan lagi ekspetasiku dipatahkan oleh kenyataan.
Keesokannya, aku tidak masuk sekolah karena kepalaku
yang pusing dan demam. Mama yang seharusnya mendatangi pertemuan bersama klient
hari ini dibatalkan,ingin menemaniku katanya.
“Gimana Ra? Demamnya udh turun ni” tanya mama
“Lumayan ma, tapi masih pusing aja” jawabku
“Raina, apa nggak capek kayak gini terus sama papa?
Mau sampai kapan nak?”
“Aku harus jelasin gimana lagi ke papa ma? Mama tau
sendiri papa itu keras kepala. Kenapa papa selalu ingin aku seperti kak Naira? Aku
pengen jadi diriku sendiri ma. Aku nggak bisa sehebat kak Naira, aku nggak bisa
sepintar kak Naira. Yang aku butuhin Sekarang cuma papa yang dulu. Bukan papa
yang sekarang, selalu nyalahin aku selalu banding-bandingin aku. Aku nggak
sekuat itu, aku juga capek ma. Tapi papa nggak pernah ngerti.” Aku meluapkan
semua beban dan kesedihanku pada mama. Aku selalu menyembunyikan semua
kesedihanku selama ini, berharap bahwa aku bisa menyelesaikannya sendiri. Tapi
kenyataannya? Aku kewalahan. Aku kehabisan cara bagaimana agar papa mau
memaafkanku. Mama dan kak Ragas juga sering membicarakan hal ini pada papa
bahwa semua ini hanya kesalah fahaman dan tidak mungkin aku sengaja melakukan
itu pada kak Naira. Tetapi omongan mama dan kak Ragas tidak dihiraukan oleh
papa. Kak Naira adalah anak kesayangan papa, dari kecil kak Naira sudah banyak
meraih prestasi. Aku dan kak Ragas tidak seperti kak Naira, kami berbeda dengan
karakternya masing masing. Sebelum kak Naira meninggal, papa tidak seperti ini.
Aku juga selalu disayang oleh papa, tidak ada perbedaan antara aku, kak Naira
dan kak Ragas. Papa juga tidak pernah memaksaku untuk melakukan ini dan itu.
Tapi setelah kak Naira pergi, aku selalu dituntut oleh papa untuk bisa seperti
kak Naira. Aku mencoba untuk tidak menangis saat bercerita dengan mama, tapi
tidak bisa. Bahkan sekarang terlihat mama yang sedang mengusap pipinya, mama
juga menangis.
“Mama nggak tau kalau kamu sampai kayak gini. Kamu
kenapa nggak pernah cerita, Ra?” tanya mama dengan muka sembab karena menangis
“Aku nggak mau pikiran mama terganggu. Aku bersyukur
hari ini mama bisa dengar cerita aku”.
Aku berharap, semua masalahku dengan papa cepat
selesai. Aku cuma butuh papa.
“Kak Naira
bantuin Raina dari sana ya” gumamku dalam hati.
Seminggu telah berlalu. Sepertinya hari ini akan
melelahkan, semua pelajaranku sangat tidak bersahabat. Aku segera turun kebawah
untuk sarapan.
“Kak Ragas, tumbenan udah bangun? Ada apanii” kataku setelah
melihat kak Ragas yang sudah menyantap sarapannya. Tumben sekali dia bangun
cepat.
“Tebak sendiri” kata kak Ragas sambil memakan roti
slai coklat
“Lo mau ngapelin orang ya? Hati-hati kak kalau masih
pagi biasanya nggak direstuin” Melihat penampilan kak Ragas yang serapi ini,
bisa saja hal itu terjadi.
“Sembarangan kalau ngomong. Ini itu lebih penting dari
sekedar ngapelin orang. Menyangkut masa depan.”
“Lho mama kira Raina udh tau, kak Ragas mau ujian
skripsi” kata mama yang tiba-tiba saja datang dari arah dapur.
“Serius mau ujian skripsi lo? HAHA akhirnya kelar juga.
Semoga nggak lulus ya kak” kataku dengan nada ejekan
“Punya adek gini amat, doa itu yang baik biar besok
nular juga” Kata kak Ragas sambil merapikan kemejanya.
“Iya iyaa semoga lancar terus nanti kalau lulus jangan
lupa traktir Raina, minimal 2 novel lah ya”
“Kebiasaan banyak maunya. Yaudah ayok cepetan ntar
telat” kata kak Ragas
“Lho Raina berangkat sama kak Ragas? Nggak salah
denger ni. Tumben banget, kesambet apaan lo kak?” kataku dengan semangat.
Bagaimana tidak, terakhir kali kak Ragas mengantarku ke sekolah saat aku kelas
10, itupun hanya satu kali. Kak Ragas selalu beralasan ke mama agar tidak mengantarku,
sampai sekarang aku juga tidak tau alasannya kenapa. 3 tahun ini aku selalu ke
sekolah bersama pak Den.
“Udah ah nggak usah banyak tanya, ayok cepet”
“Sabar dikit bisa kan kak. Ma, Raina sama kak Ragas
berangkat dulu” kataku samil mencium tangan mama
“Iyaa belajar yang rajin Ra. Kak jangan lupa jagain
adeknya, jangan ngebut-ngebut” kata mama
“Iyaa maa. Yok Ra”.
Selama di perjalanan, aku menceritakan banyak hal
dengan kak Ragas. Mulai dari kak Ragas yang menceritakan lika liku pengerjaan
skripsinya, aku yang juga menceritakan tentang keseharianku dan juga masalahku
dengan papa yang masih belum selesai. Tidak terasa, mobil kak Ragas sudh
berhenti di wilayah sekolah.
“Belajar yang rajin, nanti kalau pulang jangan
kemana-mana, tunggu disini aja. Masalah papa nggak usah dipikirin dulu” kata
kak Ragas
“Iya kak tauu, Raina masuk dulu. Jangan lupa novelnya
kak”
Kak Ragas langsung melajukan mobilnya menjauhi area
sekolah.
“Raina, aku duluan ya”
“Iyaaa, hati-hati”
Hari ini aku telat keluar kelas, karena ada beberapa
tugas yang harus ku selesaikan. Sekolah sudah sepi, hanya menyisakan beberapa
siswa yang sedang menunggu jemputan dan beberapa pedagang jajanan yang
bersiap-siap untuk pulang. Kak Ragas baru saja menelpon dan akan menjemputku.
Aku menunggu kak Ragas di halte sekolah sambil melihat kendaraan yang berlalu
Lalang. Tetapi ada yang menarik perhatianku. Dari kejauhan aku melihat sesuatu
tepat berada di tengah jalan, seekor anak kucing. Sepertinya dia tidak bisa
berjalan. Aku melihat keadaan jalan yang cukup sepi, sepertinya aman untuk aku
berjalan menuju tengah dan mengambil kucing itu. Saat hendak melangkah, tiba-tiba
saja mobil dengan kecepatan tinggi datang ke arahku. Badanku tiba-tiba terasa
kaku, ingin berbalik arah namun kakiku seperti mati rasa. Aku mencoba untuk
menghindar tetapi seperti ada sesuatu yang menahanku. BUUGGHH!! Pada saat yang
bersamaan aku merasakan tubuhku yang melayang. Apa-apaan ini, mengapa aku tidak
bisa merasakan berat tubuhku. Dan aku baru tersadar setelah tubuhku jatuh ke
aspal. Area sekolah yang tadinya sepi, kini sudah kulihat orang ramai datang ke
arahku. Apa yang terjadi padaku beberapa detik yang lalu?? Mengapa ada banyak
orang yang datang kearah ku?. Saat itu pulaAku merasa seperti dejavu.
6 tahun yang lalu
Sudah hampir 2 jam aku menunggu disini, sendirian.
Sedari tadi anak-anak lain sudah dijemput dan sekarang hanya menyisakan aku dan
dua anak lainnya yang aku sendiri juga tidak kenal, mungkin saja mereka anak
kelas 4. Hari ini adalah hari pertama sekolah dimana aku sudah naik kelas 6 sd.
Tadi pagi papa sudah berjanji akan menjeputku, tapi sampai sekarang juga tidak
ada tanda-tanda mobil papa akan datang.
“RAINAA”
Dengan cepat aku menoleh ke sumber suara. Kak Naira
yang sekarang sudah berada di seberang jalan. Sejenak aku berpikir, untuk apa kak Naira kesini? Apa mau
menjemputku? Tidak seperti biasanya. Bisa dibilang sekolahku dengan kak Naira
lumayan jauh jika ditempuh dengan jalan kaki. Ah iya aku lupa, kemarin aku
sudah berjanji dengan kak Naira untuk pergi ke toko buku yang letaknya berada
di sebelah sekolahku. Kak Naira ingin membeli beberapa buku pelajaran SMP, aku
juga membutuhkan beberapa alat tulis. Dari seberang ku lihat kak Naira memberi
isyarat “kamu tunggu disitu aja, biar kakak yang nyebrang”. Aku meng-iya
kannya dengan anggukan kepala. Kak Naira melihat kekiri dan kanan, aman. Kak
Naira datang ke arahku dengan sedikit berlari, saat itu juga aku melihat dari
kejauhan sebuah mobil putih yang datang kearah kak Naira dengan kecepatan
tinggi.
“KAK NAIRA AWASS!!”
Aku berteriak dan dengan segera aku pun ikut berlari
kearah kak Naira. BUUGGHH!! Langkahku terhenti, aku terlambat. Apa yang baru
saja terjadi dengan kak Naira? Aku masih belum bisa berpikir jernih. Aku
melihat darah yang mengalir dari kepala kak Naira. Mobil putih tadi langsung
pergi setelah mendapati kak Naira yang tergeletak di aspal. Aku bingung harus
melakukan apa pada saat seperti ini. Aku hanya berdiri melihat kak Naira yang
masih setengah sadar, lalu melihatku sekilas seperti orang yang meminta
pertolongan. Dengan langkah cepat aku berbalik memasuki sekolah, berharap ada
orang yang bisa membantu. Tanpa kusadari, aku menangis. Ku lihat seluruh area
sekolah, kosong. Kemana semua orang? Seakan memang inilah yang ditakdirkan
tuhan, aku tidak tau harus meminta pertolongan kepada siapa. Aku berlari lagi
menjauhi area sekolah. Saat keluar, aku sudah tidak melihat kak Naira lagi. Kak
Naira dimana? ak Naira sudah tidak ada dan hanya menyisakan darah di jalanan.
Aku melihat mobil hitam milik papa dengan papa yang sudah berada di kursi
kemudi. Sudah dipastikan bahwa kak Naira ada disana. Baru saja aku ingin
berlari menghampiri papa, mobil papa sudah berjalan menjauhi sekolah.
“Kamu sudah puas setelah buat Naira meninggal? Kemana
saja kamu saat Naira minta pertolongan?”
Aku hanya diam sambil menangis. Hari itu juga aku
ditinggal oleh orang yang paling aku cintai. Kak Naira tidak bisa diselamatkan
setelah dokter menjelaskan bahwa ada pendarahan yang parah di otaknya.
“JAWAB PAPA RAINA”
“Udah pa udah, nggak mungkin Raina ngelakuin ini”.
Kata mama membelaku
“Urus anak mu itu. Raina, jangan harap papa bisa
memaafkan kamu”
Papa pergi
begitu saja. Aku berlari menuju kamar untuk menenangkan diri. Aku mendapati kak
Ragas yang sedang duduk di kamar kak Naira dengan kepala tertunduk. Tanpa
bertanya pun aku sudah tau, kak Ragas menangis. Aku masuk kamar dan mengunci
pintu, menangis dan menyesali apa yang sudah kuperbuat pada kak Naira. “Kak,
maafin Raina”.
Tut…..Tut….. Tut….. dengan samar-samar ku dengar suara
itu diiringi dengan suara tangisan. Muncul banyak pertanyaan di dalam pikiranku.
Siapa yang sakit? Siapa yang meninggal? Siapa juga yang sedang menangis dan
mengapa? Perlahan aku mencoba untuk membuka mata. Putih, seperti bukan di
kamarku, lalu aku dimana?. Suara tangisan itu semakin keras saat aku sudah
membuka mata sepenuhnya. Mama? Mengapa mama menangis? Aku juga melihat ada kak
Ragas dan papa yang berjalan kearah ku. Pikiranku semakin dipenuhin pertanyaan
setelah melihat kak Ragas bahkan papa juga ikut menangis. Tolong jelaskan
sekarang, sebenarnya apa yang sedang terjadi? Mama langsung memegang tanganku
dan mengelus kepalaku.
“Rainaa, mama tau kamu kuat sayang. Maafin mama sayang,
mama belum bisa jaga kamux denxgan baik” tangisan mama semakin deras. Aku mulai
sadar, ini memang bukan di rumah ataupun dikamar tapi tempat dimana pada saat
itu kak Naira dinyatakan sudah tidak ada oleh dokter. Kak Ragas menghampiriku
dengan membawa sebuah totebagdi tangannya.
“Dek, kakak lulus skripsi. Lihat, ini novel yang Raina
mau kan. Kakak tau Raina bakal sembuh, nanti kita baca bukunya bareng-bareng
yaa. Maafin kakak” Kak Ragas yang juga sudah memegang tanganku. Setelah aku
hidup selama 18 tahun, baru kali ini aku mendengar sebutan ‘dek’ dari kak
Ragas. Aku ingin membalas semua ucapan mama dan kak Ragas, tapi tidak bisa.
Seperti ada sesuatu yang menahanku, rasanya sangat tidak enak. Aku hanya
tersenyum tipis, tipis sekali bahkan mungkin semua orang tidak akan tersadar
bahwa aku sedang tersenyum. Aku melihat papa yang berjalan mendekati ranjang
ku, matanya sudah sembab. Tiba-tiba papa memelukku dengan keadaan ku yang masih
berbaring. Papa juga sempat mencium keningku. Sudah lama, lama sekali aku
menunggu hari ini terjadi. Meskipun aku tidak bisa membalas pelukan papa, tetap
saja aku bahagia.
“Maafin papa, jangan tinggalin papa lagi kayak Naira.
Papa janji bakal jagain Raina. Maafin papa.” Aku merasa lega, aku merasa beban
yang selama ini memenuhi hari-hariku sudah hilang. Papa yang dulu sudah
kembali.
“Pa, apa Raina harus gini dulu baru papa mau maafin
Raina? Apa Raina harus masuk rumah saki dulu baru papa mau maafin Raina? Kalau
memang iya, Raina tetep senang pa. Raina nggak pernah sama sekali membenci
papa, Raina selalu sayang sama papa. Raina harap papa bisa tepatin janji papa
ke Raina entah kapanpun itu. Papa jangan pernah menyesal punya anak seperti
Raina ya. Semoga papa selalu bahagia dalamkeadaan apapun. Makasih papa yang udh
mau maafin Raina. Raina sayang papa.” Kataku dalam hati sebelum aku kembali
menutup mata.