Hidupnya hampir sempurna.
Semua hampir ia miliki. Namun, banyak hal terjadi. Sejak itu, ia berubah.
Kehilangan dirinya, ia menjadi orang lain. Dunianya, fana.
“Assalamualaikum, pak!”
“Waalaikumussalam,
Fa,” jawab pak satpam.
Berjalan
ke kelasnya, ia melihat Bu Nana, salah satu guru favoritnya.
“Assalamualaikum,
bu.”
“Waalaikumussalam,
Fana. Eh, nanti siang ada kelas Mipa kan? Ibu tunggu ya.”
“Siap, bu.”
Dan
dengan begitu, Fana memulai harinya. Sesampainya di kelas, ia bersiap untuk
mulai belajar.
Jam menunjukkan
pukul 13.00, setelah menunaikan salat dan menghabisi makan siang, Fana berjalan
ke kelas mipa bersama Dea, teman kelasnya.
“Hari
ini Ipa kan Fa?”
“Iya,
semangat sekali.”
“Kamu
juga semangat kan. Kalau begini sih, nggak masalah masuk kelas unggulan yang
mana aja.”
“Alhamdulillah
dong, hehe,” kekeh Fana mendengar perkataan Dea.
Mereka
mengikuti program unggulan Mipa. Dimana mereka diharuskan mengikuti kelas tambahan
Matematika dan Ipa. Selain Mipa, juga terdapat program unggulan lain, yakni
Matematika, Biologi, dan Fisika. Walaupun memang, program Mipa yang seringkali
dipandang remeh.
Sesampainya
di kelas, pelajaran langsung dimulai. Fana dan murid-murid yang lain mengikuti
pelajaran Bu Nana dengan antusias.
Sesudah
kelas berakhir, Fana hendak berpamitan kepada Bu Nana.
“Fana,
jangan lupa besok pagi ya, ulangan Bab II”
“Insyaallah
ingat, bu. Saya pamit, assalamualaikum.”
“Iya
Fana, hati-hati. Waalaikumussalam.”
Hanya
menunggu sebentar di depan sekolah, Pak Udin, sopir keluarga Fana, sudah datang
menjemput. Fana segera pulang karena sudah berencana belajar untuk
mempersiapkan ulangan besok.
Esok
harinya, Fana sudah siap mengikuti ulangan. Ia dapat menjawab semua soal dengan
lancar. Selain karena ia sudah belajar dengan tekun semalam, pendalaman materi
yang ia dapatkan di program unggulan Mipa juga banyak membantunya. Tak lupa,
Fana tetap berdo’a agar mendapatkan hasil yang terbaik.
Hasil
tidak pernah mengkhianati usaha, Fana mendapat nilai sempurna. Ia bersyukur dan
mengucapkan terima kasih kepada Bu Nana. Mendapat nilai bagus tak serta
membuatnya menjadi sombong, ia tetaplah Fana yang selalu berusaha rendah hati. Namun
di sisi lain, ada saja beberapa teman kelas Fana yang iri terhadapnya.
“Ah,
nggak heran dia dapat nilai bagus. Mungkin aja dia udah pernah bahas soal
ulangan tadi di kelas Mipa.”
“Biasa
mah, orang kaya tau aja cara ngedeketin guru.”
Itulah
perkataan teman-teman Fana, dan masih banyak lagi. Sudah pasti,
perkataan-perkataan mereka tidaklah benar adanya.
Hari
demi hari berlalu, tiba saatnya pembagian rapor. Hari ini, Fana menjadi juara.
Hari ini juga, menjadi awal dari ujian dunianya.
Libur
semester telah usai, waktunya kembali bersekolah. Selalu dengan semangatnya,
Fana berangkat ke sekolah, siap untuk mulai belajar. Harinya ia isi dengan
belajar dan tak lupa mengikuti kelas Mipa.
Namun,
banyak yang berubah. Fana merasa ia dijauhi teman-temannya. Di kelas, ia lebih
banyak diam, tidak se-aktif biasanya. Di luar kelas, ia hanya terlihat bersama
beberapa temannya, banyak yang hanya melirik dan bahkan tidak menyapanya.
“Aneh, sebenarnya kenapa?”
Akhirnya
Fana tahu apa penyebab ia dijauhi teman-temannya. Hal itu ia ketahui setelah
teman-temannya secara terang-terangan menunjukkan keirian mereka.
“Bu,
tanya yang ranking 1 aja!” sahut beberapa temannya saat ditanya oleh salah
seorang guru.
“Bu,
tanya Fana aja, dia kan anak kesayangan Ibu,”
“Yah,
kalau begini mah saya juga mau masuk program unggulan Mipa,”
perkataan-perkataan yang Fana yakini cukup menyakiti hati gurunya, Bu Nana.
“Ya Allah, mereka udah keterlaluan.”
“Astaghfirullahal adzim, maksud kalian
apa?” tegur Fana.
Tidak
ada yang meresponnya, beberapa hanya memandangnya prihatin. Fana sangat merasa
bersalah kepada Bu Nana.
Siapa
sangka, beberapa hari kemudian Bu Nana mengundurkan diri menjadi guru ipa di
kelas Fana. Sudah pasti, berita itu sangat memukulnya. Setelah mengikuti
pelajaran, ia bergegas menemui Bu Nana.
“Bu,
saya mohon maaf sebesar-besarnya, apa yang udah teman-teman saya lakuin itu
semua karena saya, Bu. Tolong maafin kami.”
“Ini
bukan karena siapa yang salah, tapi ini yang terbaik buat kalian, buat
teman-temanmu, dan terutama buat kamu, Fana.”
Berulang
kali Fana memohon maaf kepada Bu Nana. Tetapi, Bu Nana tetap saja meyakinkannya
bahwa itu bukanlah kesalahan. Bu Nana mengatakan bahwa keputusan beliau cukup
adil bagi teman-teman Fana, dan dapat mengurangi tekanan yang diberikan
kepadanya. Namun, kenyataannya tidak seperti itu.
Perkataan
Bu Nana tidak dapat menenangkan perasaan Fana. Ia malah semakin menyalahkan
dirinya. Waktu-waktunya ia habiskan untuk melamun dan sering tidak fokus saat
belajar. Terlebih lagi pada saat kelas Mipa, ia hanya diam dan tidak
memerhatikan guru.
Di
samping itu, teman-teman Fana semakin memberikan tekanan yang berat kepadanya.
Awalnya hanya beberapa teman yang merasa iri padanya. Namun, mereka memengaruhi
teman-teman Fana yang lain. Sehingga, hampir semua teman kelasnya ikut
menjauhinya. Tidak ada yang peduli padanya, bahkan Fana merasa mereka tidak
lagi menganggap keberadaannya.
Tidak
hanya di sekolah, Fana juga berubah drastis di rumah. Ia tidak lagi banyak
bercerita, lebih banyak diam dan mengunci diri di kamar. Orangtuanya pun
khawatir, apa yang terjadi pada putri kesayangan mereka? Bahkan terkadang
mereka menemukan Fana sedang menangis tersedu saat larut malam.
Belakangan
ini kedua orangtua Fana sudah mengetahui permasalahannya. Mereka tidak
bersegera mencari solusi yang cepat. Mereka hanya menunggu waktu untuk
mendapatkan solusi yang lebih tepat. Hingga pada suatu malam, mereka menemukan
Fana sedang menangis tersedu dengan kondisi kamar yang berantakan. Mereka yang
biasanya hanya melihat melalui celah pintu, tidak dapat menahan diri lagi untuk
tidak masuk dan memeluk putri mereka. Mereka turut sedih melihat kondisi Fana.
Akan tetapi, mereka hanya menguatkannya untuk bertahan sedikit lebih lama.
Harinya
pun tiba, pembagian rapor. Hari ini, Fana tidak lagi menjadi juara. Hari ini,
menjadi hari terakhirnya di sekolah.
Setelah
memberikannya rapor, Bu Ria, wali kelas Fana dengan sedih meninggalkannya
sendiri di dalam kelas. Fana hanya memandang keluar jendela. Letak kelasnya di
lantai 2 membuatnya bisa melihat lingkungan sekolahnya dengan cukup jelas.
Sesekali ia mengingat memori-memori indah yang pernah ia buat, kemudian
tersenyum.
Fana memilih
untuk berdamai dengan masa lalu. Ia memilih untuk memaafkan semua, dan
melanjutkan hari-harinya. Sudah pasti, di tempat yang baru dan bahkan di daerah
yang baru. Ia hanya berdo’a, dunia nanti akan baik padanya.
“Banyak hal terjadi di dunia. Namun, dunia
adalah fana.” –Fana.
TAMAT