Bunda yang ia
sayangi kini sudah tua, tangan besar nan halus yang digenggamnya kini layu
terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang VIP kamboja. 1 minggu berlalu,
namun ia masih saja setia menemani dan menanti kapan sang bunda sembuh dari
penyakitnya.
“hmm…” geram sang
bunda memperbaiki posisi tidurnya.
Si bungsu tersadar
dari lamunan kecilnya, kemudian ia palingkan wajahnya untuk menatap jam dinding,
ternyata sudah menunjukkan pukul 4, sudah waktunya solat. Di lepaskan tangan
yang tadinya ia genggam untuk mengambil air wudhu lantas segera melaksanakan
solat. Setelah wudhu dan memakai mukena kuning kesukaannya, ia kemudian
berdiri dan memusatkan pandangan pada sejadah lalu mulai menunaikan solat asar.
Diakhir doa solatnya, dengan posisi terduduk di tempat, ia panjatkan doa untuk
sang bunda,,
“Ya Allah,
sembuhkanlah bundaku, aku masih belum bisa membahagiakannya di dunia ini..”
Lirih doa yang
terpanjat, berharap bisa dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa
****
Perkenalkan, namaku
Lailani, si Bungsu. Umurku 13 tahun. Aku anak ke-3 dari 3 bersaudara. Kakak
pertamaku perempuan, namanya Ulfi, perawat biasa di rumah sakit dan yang kedua
namanya Haqi, seorang bussines man. Aku tidak pernah akrab dengan mereka
karena usia yang terpaut cukup jauh, jadi aku lebih senang bermain ke rumah
teman-teman di sekitaran rumah, yang usianya sebaya denganku. Kedua kakakku
sering memanggilku ‘penyu’, singkatan dari ‘PENYUSAH’ karena katanya aku anak
yang manja dan selalu menyusahkan orang tua dengan segala kebutuhan yang ada.
“Bun, beliin jaket
dong!!! Jaketku warnanya jelek, aku maunya jaket warna kuning!!” ucapku sambil
berdecak pinggang, menginginkan jaket baru seperti milik kak Ulfi.
“Iya sayang, nanti
ya kita ke toko mira” jawab Bunda
“Kok Toko
Mira?!?!?, aku maunya di Uniqlo yang di Mall itu”
“Besok ya pas
libur, biar sekalian jalan-jalan” kata bunda mencoba menghiburku yang
menunjukkan wajah kecut karena kesal dengan jawaban bunda yang
sebelumnya.
“Asikkk!!,
dibeliin jaket sama bunda. Yeyeyeeeeeee”
“Sebagai gantinya,,
Lail harus belajar yang rajin, biar bisa beli jaket sendiri nanti di masa depan,
Oke?”
“Siap Bundahara” Jawabku
sambil cengengesan saking senangnya.
Itulah aku,
mungkin saja kakak kakakku iri dengan apa yang ku punya, makanya aku disebut
‘penyu’. Tapi, mereka sepertinya lupa siapa aku, si anak bungsu yang selalu
menjadi harapan terakhir keluarga. Apa yang aku mau harus selalu dibayar, yaaa
dengan kata lain selalu dituntut untuk bisa lebih sukses dari kakakku. Awalnya aku
siap siap saja dengan hal itu dengan pikiran kekanak kanakanku, namun seiring berjalannya
waktu menginjak masa remaja, aku tumbuh menjadi anak yang pemalas, kata orang sih
masa kenakalan. Lambat laun, aku juga mulai bosan mendengar tuntutan yang
selalu menekanku.
“Lail, udah
belajar?”
“Lail tinggalin
dulu TV-nya, ayo makan!”
“Lail jangan lupa
solat!”
Kalimat singkat
namun terdengar bagai ceramah panjang yang selalu terdengar setiap hari.
Sesosok wanita dewasa yang kusebut bunda, cerewet luar biasa demi mengingatkan
anak anak nya untuk selalu disiplin memanfaatkan waktu dengan sebaik baiknya.
“Iya, ntar ya bundaaa…”
Begitulah jawabku
mendengar semua kalimat yang terlontar dari mulutnya. Kadang memang langsung ku
laksanakan perintah itu, namun tak jarang malah ku abaikan, bahkan tak ku
laksanakan sama sekali. Namun bunda tanpa henti dan tanpa rasa bosan terus
mengingatkanku untuk kebaikan di masa depan.
****
Hari
itu, terdiam kaku tubuhku di depan pintu ruang tamu, melihat kepergian mobil
silver yang berjalan meninggalkan pekarangan rumah dengan lajunya. Ku harap,
yang ada di dalamnya baik-baik saja. Masih dengan mata bengkak karena tidur
terlalu lama, aku bertemu bi Dila di ruang tengah,
“Bik,
itu papi bawa mobilnya kenapa ngebut banget?”
“Mau
ke rumah sakit, nganterin bunda”
“Emang
bundaharaku kenapa?” tanyaku bingung dengan kesadaran di kepala yang mulai
kembali.
“Tadi
sebelum kamu bangun, kita lagi becanda bareng di depan, tapi bunda tiba-tiba
hilang sadar, tatapannya kosong, refleks ka Ulfi panik sendiri terus bilang
bunda harus ke rumah sakit sekarang” jawab bibi Dila, adik ipar bunda.
Seketika
perasaanku tidak nyaman, aku menyesal kenapa pagi itu aku malah tidur dan tak
tahu kondisi rumah ku sendiri. Beberapa jam kemudian, terdengar suara mobil datang,
segera ku berlari menghampiri
“Papi,
bunda gimana?”
”Bunda
langsung dirujuk ke RSUD, bunda masih lemah” jawab papi dengan wajah yang bisa
dibilang sok tenang.
“Terus
ini papi balik ngapain? Kenapa ga nemenin bunda?” tanyaku penasaran karena hari
ini kakak-kakakku bekerja
“Di
sana ada kak Ulfi sama kak Haqi kok, kamu kalo mau ikut, bantu papi siap siap. Sekarang,
papi minta kamu siapin tas yang isinya pakaian bunda, bajunya cari yang
longgaran terus ada kancing, biar infus bunda bisa masuk. Papi mau siapin
dokumen yang dibutuhin buat di rumah sakit” ucap papi tanpa memandangku sama
sekali.
”Iya
pi” jawabku dengan penuh patuh.
****
Dalam
perjalanan menuju rumah sakit, aku gundah gelisah. Hatiku berdegup tak karuan. Aku
hanya bisa berdoa mengharap bunda baik baik saja.
“Assalamualaikum”
ucapku memasuki ruangan putih tempat bunda dirawat
“Waalaikumusalam”
sambut kak Ulfi dan kak Haqi
“Bunda
gimana kak Ulfi?” tanyaku
“Tadi
pas di cek di UGD, Hb nya bunda 6, makanya bunda ga sadarkan diri. Sekarang
kita lagi nunggu hasil labnya keluar” jawabnya singkat karena tidak mood,
terlihat dari wajahnya yang kelelahan karena piket dari pukul 2 dini hari.
“Eh,
kok bisa gitu? Emang bunda udah ngapain sampe Hb-nya 6?”
“Beberapa
hari lalu paman ngadu ke bunda kalo tanah nenek yang di deket bendungan dijual
ke orang lain tanpa sepengetahuan nenek sebagai pemilik tanah peninggalan
kakekmu, tanahnya mau di wakafkan ke desa sebelah untuk pembangunan masjid. Kabarnya
nenek sedih sampe jatuh sakit dan merasa bersalah, itu ngebuat bunda ikutan
sedih ngerasa ga bisa jaga wasiat kakekmu. Bunda jadi ga bisa tidur hampir 3
hari karena hal itu” sambung papi menjelaskan
“Ya
Allah, bunda segitu kepikirannya”
“Begitulah
bunda nak, bunda selalu memprioritaskan orang lain dulu baru dirinya sendiri,
makanya kalo dinasehatin bunda ikuti saja dengan hati yang ikhlas, insyaallah
itu demi kebaikan kamu juga” nasehat papi yang jelas sekali tertuju hanya kepadaku..
“…”
“Yasudah
ya, nanti hasil labnya papi yang ambil, kalian disini jagain bunda, barang
barangnya dirapiin ya. Papi mau nunggu di luar”
“Iya
pi,” jawabku dan kak haqi kompak berusaha semangat.
Setelah
selesai beres beres, ku langkahkan kakiku keluar kamar rawat. Saat melewati
ruang lab yang tak jauh jaraknya dari kamar rawat bunda, sayup-sayup ku dengar
seorang dengan jas putih mengatakan,
“Istri
bapak terkena stroke ringan, setelah cek lab tadi ternyata beliau juga mengidap
anemia dan ada kista di sekitar ginjalnya” meski tak jelas terdengar dari luar
lab, namun pernyataan itu berhasil mengejutkanku.
Niat
nya keluar untuk mencari udara segar menenangkan pikiran, tapi yang ku dapatkan
ternyata kabar tidak baik. Seketika oksigen di sekitarku terasa menguap begitu
saja, betapa sesak rasa di dada yang membuatku sedih namun tak bisa menangis
mengeluarkan suara. Selama ini, bundaku yang cerewet luar biasa, selalu sibuk
mengingatkan anaknya tentang hal-hal biasa, nyatanya ia lupa mengingatkan
dirinya sendiri bahwa ia juga perlu memerhatikan diri sebagai insan biasa.
****
“Lail….”
Sapa bunda dengan suara lemah saat kumasuki ruang kamboja itu
“eh
bunda udah bangun”
Bunda
menepuk nepuk sedikit bagian Kasur, memintaku duduk di sampingnya,,
“Maafin
bunda ya” ucap bunda mengelus tanganku yang kini digenggamnya.
Ya
Allah Ya Rabbi. Hatiku bergetar, air mata menggenang. Bisa-bisanya ia yang
minta maaf padahal akulah yang selama ini merepotkannya. Bisa-bisanya bunda
berpikir ini salahnya karena nanti tak bisa merawat suami dan anak-anaknya.
“Bunda,
harusnya Lail yang minta maaf. Lail gak pernah nurut sama perintah bunda. Bunda
kecapean kerja sendiri, harusnya Lail peka dan bantuin bunda. Harusnya Lail gak
buat bunda kesel karena gak nurutin kata bunda” ucapku berusaha meyakinkan
bunda bahwa ini bukan salahnya.
“Ini
bukan salah Lail, ini salah bunda karena tidak memerhatikan diri sendiri. Mungkin
ini memang sudah menjadi takdir Allah SWT serta teguran untuk bunda bisa
menjadi lebih baik lagi. Kita sama-sama ambil hikmahnya saja ya” jawab bunda
pelan terbata-bata padaku yang ada di depannya.
“Ga
ada yang tahu kapan bunda sembuh. Jadi, bunda mau Lail belajar yang rajin, makan
yang teratur, fokus sama sekolahnya. Kalian bertiga akur-akur di rumah, jangan
lupa solatnya tepat waktu dan doakan bunda segera sembuh. Kalian jangan terlalu
cemasin bunda ya, bunda di sini baik-baik aja kok.” Tutur bunda berpesan pada
kami anak-anaknya.
Aku
tertegun dengan kata kata bunda, ia seperti punya pengalaman lebih tentang
waktu dan pandai menyembunyikan perasaan di depan anak-anaknya sehingga tidak
perlu khawatir akan dirinya, selalu terlihat kuat nyatanya tidak. Di sisi lain aku
merasa sedikit kesal karena bunda berbicara seolah olah beliau akan meninggal
dunia dan tentu aku tak mau hal itu terjadi. Teguran bunda membuatku sadar,
selama ini aku memang bermalas malasan dan selalu merepotkan. Hari itu aku merasa
mendapat secuil cahaya dari Yang Maha Kuasa. Janji ku tanamkan pada diriku
sendiri, aku harus bisa menggapai cita-cita dan membahagiakan bunda.
****
Sunyi
sekali ruangan dengan cat putih ini. Ku tatapi wajah wanita tua renta yang
lemah terbaring di depanku. Tangan keriputnya dibalut perban dengan jarum kecil
diantaranya, mengalirkan cairan yang mengembalikan kekuatan di usia tua. Bundahara,
wanita cantik dermawan yang selalu berusaha menyokong kebutuhan, dari kecil bahkan
hingga tercapai cita cita.
“Lail,
udah makan siang?”
“Belum
bunda, Tadi pasiennya banyak banget, ga enak aku tinggalin.”
“Makan
dulu, nanti kamu malah sakit kalo ga makan. Masa orang sakit dirawat sama orang
sakit juga”
“Iya
deh, ntar aku beli roti di kantin”
“Jangan
lupa ya, bunda ga mau dokter pribadi bunda ikutan lemah terkulai” kekeh bunda
menggodaku yang terlihat lelah.
Perbincangan
biasa antara aku dan bunda yang berhasil membuat semangat kerja ku kembali
membara.
“Jas
nya cocok banget di badan Lail, cantik kaya yang pake. Bunda suka”
“Hehe,
iyadong, Lail kan anaknya bunda. Alhamdulillah, berkat doa bunda juga aku bisa
pake jas ini nih”
“Syukur
Alhamdulillah, Lail sudah banyak berubah, takdir Allah memang tak pernah
mengecewakan”
Yap,
genap 13 tahun lalu, bunda masuk rumah sakit untuk mengobati penyakit parah
yang menimpanya dan aku hanya bisa menyesal meratapi nasib tak bisa memberi
bantuan selain berdoa. Sekarang, bunda memang kembali menjalani perawatan di
rumah sakit yang sama namun dengan keluhan penyakit yang berbeda, seperti
penyakit orang tua pada umumnya. Aku bahagia kini bisa merawatnya dengan jiwa
dan ragaku sepenuhnya, pasien pribadi yang aku sayangi sangat keberadaannya di
sisiku. Aku dulu anak pemalas yang tak pernah mematuhi nasehat bunda. Namun kini
terasa sudah perjuangan ku tak sia sia untuk berusaha berbeda. Berubah demi
membahagian bunda, berbakti mengarap ridho Yang Kuasa, terlimpah kepada para
hambanya yang berusaha.