Langsung ke konten utama

BUNDAHARAKU

 Sunyi sekali ruangan dengan cat putih dengan dinginnya AC bersuhu 26 derajat celcius, 1 bulan di sini membuat si bungsu rindu kehangatan di rumah kuning miliknya. Ia amati dengan seksama wajah lembut milik wanita dewasa yang ada di depannya, menyadarkan si bungsu bahwa sang bunda sudah tak sejaya dulu lagi.

Bunda yang ia sayangi kini sudah tua, tangan besar nan halus yang digenggamnya kini layu terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang VIP kamboja. 1 minggu berlalu, namun ia masih saja setia menemani dan menanti kapan sang bunda sembuh dari penyakitnya.  

“hmm…” geram sang bunda memperbaiki posisi tidurnya.

Si bungsu tersadar dari lamunan kecilnya, kemudian ia palingkan wajahnya untuk menatap jam dinding, ternyata sudah menunjukkan pukul 4, sudah waktunya solat. Di lepaskan tangan yang tadinya ia genggam untuk mengambil air wudhu lantas segera melaksanakan solat. Setelah wudhu dan memakai mukena kuning kesukaannya, ia kemudian berdiri dan memusatkan pandangan pada sejadah lalu mulai menunaikan solat asar. Diakhir doa solatnya, dengan posisi terduduk di tempat, ia panjatkan doa untuk sang bunda,,

“Ya Allah, sembuhkanlah bundaku, aku masih belum bisa membahagiakannya di dunia ini..”

Lirih doa yang terpanjat, berharap bisa dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa

****

Perkenalkan, namaku Lailani, si Bungsu. Umurku 13 tahun. Aku anak ke-3 dari 3 bersaudara. Kakak pertamaku perempuan, namanya Ulfi, perawat biasa di rumah sakit dan yang kedua namanya Haqi, seorang bussines man. Aku tidak pernah akrab dengan mereka karena usia yang terpaut cukup jauh, jadi aku lebih senang bermain ke rumah teman-teman di sekitaran rumah, yang usianya sebaya denganku. Kedua kakakku sering memanggilku ‘penyu’, singkatan dari ‘PENYUSAH’ karena katanya aku anak yang manja dan selalu menyusahkan orang tua dengan segala kebutuhan yang ada.

“Bun, beliin jaket dong!!! Jaketku warnanya jelek, aku maunya jaket warna kuning!!” ucapku sambil berdecak pinggang, menginginkan jaket baru seperti milik kak Ulfi.

“Iya sayang, nanti ya kita ke toko mira” jawab Bunda

“Kok Toko Mira?!?!?, aku maunya di Uniqlo yang di Mall itu”

“Besok ya pas libur, biar sekalian jalan-jalan” kata bunda mencoba menghiburku yang menunjukkan wajah kecut karena kesal dengan jawaban bunda yang sebelumnya.

“Asikkk!!, dibeliin jaket sama bunda. Yeyeyeeeeeee”

“Sebagai gantinya,, Lail harus belajar yang rajin, biar bisa beli jaket sendiri nanti di masa depan, Oke?”

“Siap Bundahara” Jawabku sambil cengengesan saking senangnya.

Itulah aku, mungkin saja kakak kakakku iri dengan apa yang ku punya, makanya aku disebut ‘penyu’. Tapi, mereka sepertinya lupa siapa aku, si anak bungsu yang selalu menjadi harapan terakhir keluarga. Apa yang aku mau harus selalu dibayar, yaaa dengan kata lain selalu dituntut untuk bisa lebih sukses dari kakakku. Awalnya aku siap siap saja dengan hal itu dengan pikiran kekanak kanakanku, namun seiring berjalannya waktu menginjak masa remaja, aku tumbuh menjadi anak yang pemalas, kata orang sih masa kenakalan. Lambat laun, aku juga mulai bosan mendengar tuntutan yang selalu menekanku. 

“Lail, udah belajar?”

“Lail tinggalin dulu TV-nya, ayo makan!”

“Lail jangan lupa solat!”

Kalimat singkat namun terdengar bagai ceramah panjang yang selalu terdengar setiap hari. Sesosok wanita dewasa yang kusebut bunda, cerewet luar biasa demi mengingatkan anak anak nya untuk selalu disiplin memanfaatkan waktu dengan sebaik baiknya.

 “Iya, ntar ya bundaaa…”

Begitulah jawabku mendengar semua kalimat yang terlontar dari mulutnya. Kadang memang langsung ku laksanakan perintah itu, namun tak jarang malah ku abaikan, bahkan tak ku laksanakan sama sekali. Namun bunda tanpa henti dan tanpa rasa bosan terus mengingatkanku untuk kebaikan di masa depan.

****

Hari itu, terdiam kaku tubuhku di depan pintu ruang tamu, melihat kepergian mobil silver yang berjalan meninggalkan pekarangan rumah dengan lajunya. Ku harap, yang ada di dalamnya baik-baik saja. Masih dengan mata bengkak karena tidur terlalu lama, aku bertemu bi Dila di ruang tengah,

“Bik, itu papi bawa mobilnya kenapa ngebut banget?”

“Mau ke rumah sakit, nganterin bunda”

“Emang bundaharaku kenapa?” tanyaku bingung dengan kesadaran di kepala yang mulai kembali.

“Tadi sebelum kamu bangun, kita lagi becanda bareng di depan, tapi bunda tiba-tiba hilang sadar, tatapannya kosong, refleks ka Ulfi panik sendiri terus bilang bunda harus ke rumah sakit sekarang” jawab bibi Dila, adik ipar bunda.

Seketika perasaanku tidak nyaman, aku menyesal kenapa pagi itu aku malah tidur dan tak tahu kondisi rumah ku sendiri. Beberapa jam kemudian, terdengar suara mobil datang, segera ku berlari menghampiri

“Papi, bunda gimana?”

”Bunda langsung dirujuk ke RSUD, bunda masih lemah” jawab papi dengan wajah yang bisa dibilang sok tenang.

“Terus ini papi balik ngapain? Kenapa ga nemenin bunda?” tanyaku penasaran karena hari ini kakak-kakakku bekerja

“Di sana ada kak Ulfi sama kak Haqi kok, kamu kalo mau ikut, bantu papi siap siap. Sekarang, papi minta kamu siapin tas yang isinya pakaian bunda, bajunya cari yang longgaran terus ada kancing, biar infus bunda bisa masuk. Papi mau siapin dokumen yang dibutuhin buat di rumah sakit” ucap papi tanpa memandangku sama sekali.

”Iya pi” jawabku dengan penuh patuh.

****

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, aku gundah gelisah. Hatiku berdegup tak karuan. Aku hanya bisa berdoa mengharap bunda baik baik saja.

“Assalamualaikum” ucapku memasuki ruangan putih tempat bunda dirawat

“Waalaikumusalam” sambut kak Ulfi dan kak Haqi

“Bunda gimana kak Ulfi?” tanyaku

“Tadi pas di cek di UGD, Hb nya bunda 6, makanya bunda ga sadarkan diri. Sekarang kita lagi nunggu hasil labnya keluar” jawabnya singkat karena tidak mood, terlihat dari wajahnya yang kelelahan karena piket dari pukul 2 dini hari.

“Eh, kok bisa gitu? Emang bunda udah ngapain sampe Hb-nya 6?”

“Beberapa hari lalu paman ngadu ke bunda kalo tanah nenek yang di deket bendungan dijual ke orang lain tanpa sepengetahuan nenek sebagai pemilik tanah peninggalan kakekmu, tanahnya mau di wakafkan ke desa sebelah untuk pembangunan masjid. Kabarnya nenek sedih sampe jatuh sakit dan merasa bersalah, itu ngebuat bunda ikutan sedih ngerasa ga bisa jaga wasiat kakekmu. Bunda jadi ga bisa tidur hampir 3 hari karena hal itu” sambung papi menjelaskan

“Ya Allah, bunda segitu kepikirannya”

“Begitulah bunda nak, bunda selalu memprioritaskan orang lain dulu baru dirinya sendiri, makanya kalo dinasehatin bunda ikuti saja dengan hati yang ikhlas, insyaallah itu demi kebaikan kamu juga” nasehat papi yang jelas sekali tertuju hanya kepadaku..

“…”

“Yasudah ya, nanti hasil labnya papi yang ambil, kalian disini jagain bunda, barang barangnya dirapiin ya. Papi mau nunggu di luar”

“Iya pi,” jawabku dan kak haqi kompak berusaha semangat.

Setelah selesai beres beres, ku langkahkan kakiku keluar kamar rawat. Saat melewati ruang lab yang tak jauh jaraknya dari kamar rawat bunda, sayup-sayup ku dengar seorang dengan jas putih mengatakan,

“Istri bapak terkena stroke ringan, setelah cek lab tadi ternyata beliau juga mengidap anemia dan ada kista di sekitar ginjalnya” meski tak jelas terdengar dari luar lab, namun pernyataan itu berhasil mengejutkanku.

Niat nya keluar untuk mencari udara segar menenangkan pikiran, tapi yang ku dapatkan ternyata kabar tidak baik. Seketika oksigen di sekitarku terasa menguap begitu saja, betapa sesak rasa di dada yang membuatku sedih namun tak bisa menangis mengeluarkan suara. Selama ini, bundaku yang cerewet luar biasa, selalu sibuk mengingatkan anaknya tentang hal-hal biasa, nyatanya ia lupa mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia juga perlu memerhatikan diri sebagai insan biasa.

****

“Lail….” Sapa bunda dengan suara lemah saat kumasuki ruang kamboja itu

“eh bunda udah bangun”

Bunda menepuk nepuk sedikit bagian Kasur, memintaku duduk di sampingnya,,

“Maafin bunda ya” ucap bunda mengelus tanganku yang kini digenggamnya.

Ya Allah Ya Rabbi. Hatiku bergetar, air mata menggenang. Bisa-bisanya ia yang minta maaf padahal akulah yang selama ini merepotkannya. Bisa-bisanya bunda berpikir ini salahnya karena nanti tak bisa merawat suami dan anak-anaknya.

“Bunda, harusnya Lail yang minta maaf. Lail gak pernah nurut sama perintah bunda. Bunda kecapean kerja sendiri, harusnya Lail peka dan bantuin bunda. Harusnya Lail gak buat bunda kesel karena gak nurutin kata bunda” ucapku berusaha meyakinkan bunda bahwa ini bukan salahnya.

“Ini bukan salah Lail, ini salah bunda karena tidak memerhatikan diri sendiri. Mungkin ini memang sudah menjadi takdir Allah SWT serta teguran untuk bunda bisa menjadi lebih baik lagi. Kita sama-sama ambil hikmahnya saja ya” jawab bunda pelan terbata-bata padaku yang ada di depannya.

“Ga ada yang tahu kapan bunda sembuh. Jadi, bunda mau Lail belajar yang rajin, makan yang teratur, fokus sama sekolahnya. Kalian bertiga akur-akur di rumah, jangan lupa solatnya tepat waktu dan doakan bunda segera sembuh. Kalian jangan terlalu cemasin bunda ya, bunda di sini baik-baik aja kok.” Tutur bunda berpesan pada kami anak-anaknya.

Aku tertegun dengan kata kata bunda, ia seperti punya pengalaman lebih tentang waktu dan pandai menyembunyikan perasaan di depan anak-anaknya sehingga tidak perlu khawatir akan dirinya, selalu terlihat kuat nyatanya tidak. Di sisi lain aku merasa sedikit kesal karena bunda berbicara seolah olah beliau akan meninggal dunia dan tentu aku tak mau hal itu terjadi. Teguran bunda membuatku sadar, selama ini aku memang bermalas malasan dan selalu merepotkan. Hari itu aku merasa mendapat secuil cahaya dari Yang Maha Kuasa. Janji ku tanamkan pada diriku sendiri, aku harus bisa menggapai cita-cita dan membahagiakan bunda.

****

Sunyi sekali ruangan dengan cat putih ini. Ku tatapi wajah wanita tua renta yang lemah terbaring di depanku. Tangan keriputnya dibalut perban dengan jarum kecil diantaranya, mengalirkan cairan yang mengembalikan kekuatan di usia tua. Bundahara, wanita cantik dermawan yang selalu berusaha menyokong kebutuhan, dari kecil bahkan hingga tercapai cita cita.

“Lail, udah makan siang?”

“Belum bunda, Tadi pasiennya banyak banget, ga enak aku tinggalin.”

“Makan dulu, nanti kamu malah sakit kalo ga makan. Masa orang sakit dirawat sama orang sakit juga”

“Iya deh, ntar aku beli roti di kantin”

“Jangan lupa ya, bunda ga mau dokter pribadi bunda ikutan lemah terkulai” kekeh bunda menggodaku yang terlihat lelah.

Perbincangan biasa antara aku dan bunda yang berhasil membuat semangat kerja ku kembali membara.

“Jas nya cocok banget di badan Lail, cantik kaya yang pake. Bunda suka”

“Hehe, iyadong, Lail kan anaknya bunda. Alhamdulillah, berkat doa bunda juga aku bisa pake jas ini nih”

“Syukur Alhamdulillah, Lail sudah banyak berubah, takdir Allah memang tak pernah mengecewakan”

Yap, genap 13 tahun lalu, bunda masuk rumah sakit untuk mengobati penyakit parah yang menimpanya dan aku hanya bisa menyesal meratapi nasib tak bisa memberi bantuan selain berdoa. Sekarang, bunda memang kembali menjalani perawatan di rumah sakit yang sama namun dengan keluhan penyakit yang berbeda, seperti penyakit orang tua pada umumnya. Aku bahagia kini bisa merawatnya dengan jiwa dan ragaku sepenuhnya, pasien pribadi yang aku sayangi sangat keberadaannya di sisiku. Aku dulu anak pemalas yang tak pernah mematuhi nasehat bunda. Namun kini terasa sudah perjuangan ku tak sia sia untuk berusaha berbeda. Berubah demi membahagian bunda, berbakti mengarap ridho Yang Kuasa, terlimpah kepada para hambanya yang berusaha.  

 

 

 

 

Postingan populer dari blog ini

Teks Ceramah

 A. Definisi dan Ciri-Ciri Ceramah     1. Definisi Ceramah          Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ceramah adalah pidato oleh seseorang di hadapan banyak pendengar mengenai suatu hal atau pengetahuan. Ceramah juga berarti penuturan bahan pembelajaran secara lisan. Ceramah merupakan pidato yang bertujuan untuk memberikan nasihat dan petunjuk mengenai suatu permasalahan kepada audiensi yang bertindak sebagai pendengar. Secara umum, ceramah mempunyai pengertian tentang suatu kegiatan berbicara di depan umum dalam situasi tertentu untuk tujuan tertentu dan kepada pendengar tertentu.         Pada dasarnya, pidato, ceramah, dan khotbah memiliki persamaan, yakni pengungkapan pikiran di hadapan banyak orang. Namun, dalam pelaksanaannya, antara pidato, ceramah, dan khotbah memiliki perbedaan. Pidato sering kita ikuti dalam acara-acara resmi, misalnya seminar, rafat pleno,. Ceramah diadakan untuk acara-acara tert...

Teks Laporah Hasil Observasi

            Sebuah laporan hasil observasi dapat disajikan dalam bentuk teks tertulis maupun teks lisan. Kamu sering melakukan observasi atau pengamatan, tetapi belum memahami cara menyusun teks laporannya dengan baik. Untuk itu, kamu perlu memerhatikan penyusunan laporan hasil observasi yang kamu dengar atau kamu baca dari media televisi, koran, majalah, atau internet. A. Pengertian, Ciri-Ciri, Sifat, dan Contoh Teks Laporan Hasil Observasi 1. Pengertian Teks Laporan Hasil Observasi          Teks laporan hasil observasi adalah teks yang berisi penjabaran umum mengenai sesuatu yang didasarkan pada hasil kegiatan observasi/pengamatan. Kegiatan observasi merupakan kegiatan pengumpulan data atau informasi melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat di lapangan atau lokasi. 2. Ciri-Ciri Teks Laporan Hasil Observasi     Teks laporan hasil observasi memiliki ciri-ciri yang membedakann...

ANEKDOT

A. Definisi. Ciri, dan Jenis Anekdot   1. Definisi Teks Anekdot     Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau orang terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Orang-orang penting yang diceritakan dalam anekdot bermacam-macam, seperti tokoh politik, sosial, dan agama.  Sementara itu, peristiwa yang diceritakan dalam anekdot merupakan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun seiring perkembangan zaman anekdot juga digunakan untuk menceritakan tokoh dan peristiwa fiktif.     Anekdot mengandung humor. Humor dalam anekdot dibentuk dengan kelucuan atau kekonyolan tokoh. Tindakan ataupun ucapan tokoh menimbulkan humor karena adanya peristiwa ganjil yang mendasarinya. Humor juga dapat diciptakan melalui permainan kata, makna, ataupun pelesetan terhadap suatu kata ataupun frasa.     Humor dalam anekdot bukan hanya bersifat menghibur. Bia...