Langsung ke konten utama

SURGA YANG AKU CARI


Aku tak pernah harapkan dirimu menyayangimu sama seperti besarnya diriku. Namun, bisakah kumohon barangkali sedetik saja kau dapat mengingatku dalam hidupmu?

Pagi hari di kawasan pusat Kota Jakarta

            Aku berlari kecil turun melewati tangga untuk berangkat menuju rumah sakit. Hujan tadi malam rupanya membuat hawa cukup dingin pagi ini. Tidak salah pilih, aku menggunakan kemeja dilapisi sweater agar menjaga suhu tubuh tetap hangat. Sarapan pagi ini cukup menyenangkan, bibi menyediakan sereal gandum dan yogurt. Aku memilih untuk menghabiskan sarapanku dengan gesit dan langsung menuju garasi rumah. Saat ingin membuka pintu garasi, aku mendengar sapaan seseorang yang tak asing lagi.

“Selamat Pagi, Rei!”

“Hei Bang Ven, Pagi juga. Ada kerjaan apa nih?”

“Seperti biasa, perusahaan akan menjalin relasi untuk meninggikan profit. Sedikit melelahkan, tapi tak masalah. Apa gunanya Ayah menyekolahkan aku jika anak ini tak bisa berkonstribusi”

“Hmm. Iyaa jugaa. Omong-omong, Ayah kapan balik? Kangen nih”

“Sore ini udah nyampe si seharusnya”

“YAY! Oke bang. Eh, aku duluan ya, takut ntar kecebak macet nihh”

“Si paling sibuk yaaa.” Canda Bang Arven dengan lagaknya

“HAHAHA. Iya dahh” jawab Reisya sambil melenggang menuju mobil.

            Reisya Maherja Alanda. Salah seorang dokter bedah syaraf yang sedang berjuang membantu masyarakat luas di bidang kesehatan syaraf. Berasal dari keluarga berada tidak pernah membuat dirnya berpikir suatu hari nanti harus memilih untuk melanjutkan perusahaan tambang milik Ayah. Dia memilih jalannya sendiri mengikuti jejak ibunda. Sedangkan abangnya, Arven Mahendra Alanda memilih untuk melanjutkann bisnis yang dirasa sesuai dengan minatnya sedari SMA. Reisya dan Arven jarang bertemu walau tinggal satu atap. Terkadang, Arven keluar negeri untuk membantu membangun perusahaan Ayah atau Reisya yang mengurung diri ditemani buku untuk menghabiskan waktu. Terasa hampa memang, tapi inilah jalan hidup yang mereka pilih.

“Masih pukul 07.10, waktu yang tepat untuk menyeruput secangkir kopi hitam di ruanganku” gumam Reisya dalam hati.

            Tak lama berselang, ia sampai di sebuah Rumah Sakit. Dirinya memilih untuk melenggang menuju ruangan miliknya. Suasana tidak terlalu ramai, mengingat jam aktif kerja adalah 08.00. Sesampainya di ruangan, ia memilih untuk merebahkan diri di sofa ditemani secangkir kopi hitam sebelum pagi ini bertemu dengan kepala departemen yang tak lain merupakan bunda nya sendiri untuk melaksanakan rapat evaluasi.

Tok…tok…tok.  Terdengar ketukan pintu dari luar.

“Masuk” ucap Reisya dari dalam.

“WEYY REI. Pagi amat dah dateng kerja” canda Kashfa yang merupakan sahabatnya sejak duduk di perkuliahan tingkat I.

“Lahh, bikin kaget aja. Kirain siapa gitu” jawab Reisya singkat.

“Eh, Rei! Ntar kita rapat evaluasi yaa? YEY! Bisa ketemu bundanya Rei” goda Kashfa.

“Nape sih, semangat bener kalo ketemu bunda. Lagian tiap hari satu departemen kok” jawab Reisya ketus.

“HEI. Gimanapun juga, beliau wibawanya ga main-main tau!”

“Iya tahu, tapi masi males ajaa kalo nginget yang dulu.”

Reisya terdiam, pikirannya berkecamuk 10 tahun yang lalu. Dirinya memang tidak terlalu dekat dengan ibunda. Mengingat masalah yang memecah keluarganya sendiri, membuatnya selalu menahan diri tentang apapun yang berhubungan dengan bunda.

10 tahun yang lalu

PRANGG!

Bunyi kaca pecah memekikkan telinga Reisya yang beranjak usia 12 tahun. Dirinya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Untuk menjawab rasa penasaran, ia mengintip dibalik pintu kamar. Disusul, terdengar isak tangis dari arah sumber bunyi yang sama.

“Jika kamu memang tak pernah bisa ada disamping keluarga ini. Maka, sedari dulu tidak perlu kamu bangun keluarga kita hingga sejauh ini” Terdengar seperti suara bunda yang terisak.

“Telah aku lakukan semuanya! Namun, kau yang tidak bisa sabar sedikit lagi” Jawab Ayah sambil menenangkan bunda yang terlanjur menangis.

“Jika memang kau tak bisa tuntaskan masalah keluarga besar kita berdua. Biarkan aku yang mengalah.”

“TIDAK! OMONG KOSONG MACAM APA ITU!”

“Tapi aku sudah tidak tahan melihat semuanya terluka. Biar ini selesai dengan cepat. Aku titip Arven dan Reisya kepadamu. Secepatnya, jika tuhan izinkan entah aku atau anakku yang temukan jalan pulang”

“Jaga dirimu dengan baik, datanglah kapanpun kamu mau. Aku tidak akan pernah melarangnya”

            Reisya yang beranjak diusia labil saat itu tidak memahami keseluruhan peristiwa tersebut. Ia mengambil sepotong kesimpulan bahwa sang bunda meninggalkan dirinya dan bang Arven hanya karena ego dan ketidaksabaran.

            Kisah itu telah lama tidak diungkit kembali, namun ketika mengajukan diri untuk bekerja sama dengan Rumah Sakit di departemen bedah syaraf ia baru bertemu dengan sang bunda setelah berselang waktu lamanya. Bahkan sang bunda terkejut di hari yang bersamaan ketika bertemu dengan buah hati perempuan kesayangannya.

“Ayoo, Rei! Ngelamun lo kelamaan. Biar cepet mulai rapat evaluasinya. Gue minta maaf deh semisal nyinggung ingatan lama lo” ujar Kashfa membuyarkan haluan Reisya.

“Iyaaa iyaa. Gapapa kok. Yaudah ayo jalan” jawab Reisya sambil bangkit dari sofa.

            Sesampainya di ruangan evaluasi, dengan jelas ia melihat bunda duduk di kursi depan, berhadapan langsung ke arah seluruh hadirin rapat. Sesekali selama rapat, Risya memberanikan diri menatap ke arah bundanya, seringkali pula dua pasang mata tersebut berinteraksi secara tidak sengaja. Tiba saat Risya memberikan laporan terhdapat beberapa hal selama satu bulan belakangan. Ia maju kedepan seraya membawa buku catatan. Setelah menyampaikan gagasan dan pendapatnya ia menerima beberapa komentar dari dokter senior. Rapat tersebut menghasilkan point-point baru yang diharapkan membawa dampak positif kedepannya.

            Reisya ingin pergi bersama Kashfa dikarenakan waktu menunjukkan jam makan siang. Namun, saat ingin beranjak bangun dari kursi, terdengar suara bunda memanggil.

“Reisya, boleh ke ruangan bunda sebentar?” Ajak bunda

“Reisya mau makan dulu bareng Kashfa. Ntaran aja dah” Jawab Reisya malas

“Eh, gapapa bund. Kashfa duluan aja makannnya” Sanggah Kashfa

            Reisya pun menatap Kashfa dengan jengkel. “Kashfa emang gabisa dikompromi kalau masalah sama bunda nih. Bener-bener emang” monolog Reisya dalam hati. Bunda tersenyum menatap Kashfa sambil mengajak Reisya ikut dibelakangnya.

“Ayo nak, bareng bunda sebentar”

            Sepanjang perjalanan menuju ke ruangan, para tenaga medis mengalihkan pandangan mereka kepada ibu dan anak yang sedang berjalan tersebut. Jarang sekali hal ini terjadi, mengingat Reisya tidak pernah mau menjalin interaksi dengan ibunda. Sampai di depan ruangan yang bertuliskan Kepala Departemen Bedah Syaraf, bunda masuk diiringi Reisya. Bunda duduk disebuah sofa sambil menepuk sisi sampingnya memersilahkan Reisya untuk duduk disebelahnya. Reisya tidak menurut, ia memilih duduk di hadapan bundanya. Ibundanya hanya tersenyum teduh melihat kelakuan anak bungsunya.

“Adek sehat? Kerjaan yang lain gimana? Gaada masalah kan?” Tanya bunda dengan baik.

“Hm, iya” jawab Reisya singkat

            Bunda menatap Reisya dalam diam, sementara yang ditatap malah mengalihkan pandangan pada handphone nya.

“Adek, Bunda dah lama ga makan bareng. Hari ini bisa kah?”  Tanya bunda lagi penuh harap

“Ga, ada kerjaan”

“Kapan bisanya?”

“Entah” Jawab Reisya masih bermain dengan handphone

“Bisa ngobrol sebentar, nak?”

“Ayolah bund, bunda kenapa sih?! Reisya juga sibuk. Kalau cuman manggil buat ginian gaada waktu!” Suara Reisya meninggi

“Bunda tahu kamu masih sangat marah. Namun, jika kamu bisa melihat dari pandangan bunda sekali saja, dek. Reisya akan melihat apa yang sebenarnya terjadi 10 tahun yang lalu. Kita sudah membahas ini berulang kali disetiap bunda punya kesempatan untuk mengobrol denganmu. Ayah dan bunda memunggu untuk kita semua kembali. Jutaan kali Bunda memohon maaf. Bisakah kita mulai semuanya lagi?”

“Pernah kah sekalipun bunda berpikir apa yang adek dan abang lewati selama ini? Bunda datang dengan tiba-tiba dan mengatakan bahwa semuanya dapat dimulai dari awal. Jika memang ada kesempatan mengulang ruang dan waktu seharusnya kejadian itu dihapus dari takdir tuhan. Maaf bund, tapi tidak sekarang. Reisya pun ga ada niat sama sekali mencari tahu. Biar kita menjadi dua orang asing. Ini yang Reisya mau” Ujar Reisya sambil berkaca-kaca

            Reisya memilih untuk bangkit dan keluar dari ruangan. Pikiran ibu dan anak itu sedang tidak baik-baik saja. Bunda tampak terkejut dengan apa yang dikatakan putrinya dan memilih untuk diam.

Sore hari, selepas pekerjaan dari Rumah Sakit

            Reisya dan Kashfa berpamitan dahulu, sebelum keduanya mengendarai mobil masing-masing. Reisya menjalankan mobilnya menuju kearah rumah. Jujur, Reisya menyesali apa yang telah ia katakan kepada bundanya tadi siang. Memang dia sangat marah, namun di satu sisi ia merindukan sosok bunda dalam hidupnya. Perjalanan menuju rumah terasa lenggang hari ini. Ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Berkendara mobil beserta iringan semburatan jingga sangatlah menenangkan.

Tanpa terasa, air matanya menetes. Hampir 22 tahun hidup di dunia, dan setengah dari itu tanpa kehadiran sosok bunda adalah luka yang tuhan hampiri kepadanya. Dan mengenai kejadian 10 tahun yang lalu sebenarnya sangat ingin ia tanyakan kepada Ayah. Namun, selalu ia urungkan kembali karena setiap ingin bertanya lidahnya terasa kelu, tak siap menerima kenyataa. Sekarang, ia berniat mencoba untuk bertanya langsung.

            Sesampainya di rumah, ia melihat mobil Ayah nyaman terparkir di pekarangan rumah. “Benar kata abang, hari ini Ayah pulang” ujar Reisya dengan suara kecil.

“Ooh, jadi yang tadi pagi ga percaya?” jawab Arven yang tiba-tiba muncul dari belakang.

“Lah, dari kapan ada dibelakang Rei?”

“Ditanya, malah nanya balik”

“HHEHEHE, emang rada ga percaya si tadi pagi. Yakali, Ayah baru pergi 10 hari yang lalu terus baliknya cepet banget”

“Nah kan. Yaudah, ayo masuk. Ada Ayah mau omongin juga” Ajak Arven

            Reisya menghampiri sang Ayah yang nyatanya telah menunggu sejak lama. Ayah tampak sehat dan bahagia bertemu Reisya.  Walau memasuki kepala empat, beliau tetap gagah dan menarik perhatian seluruh orang dengan pesona dan kepintarannya. Presiden direktur tambang yang disegani banyak pejabat penting dan menjadi orang yang berpengaruh di negara adalah hal yang biasa bagi Ayah. Namun jelas, itu akan menjadi pertanyaan banyak orang. Bagaimana bisa, Ayah dengan segala keistimewaannya tidak memiliki pendamping hidup selama 10 tahun? Apakah Ayah memang tidak bisa memulai hidup baru selain daripada bunda? Atau memang tidak ada janda yang terpikat padanya? Reisya pikir, opsi kedua adalah hal yang konyol.

“Ada yang Ayah ingin sampaikan kepadamu, nak” Ujar Ayah memulai percakapan

“Apa itu?”

“Bolehkah bunda datang ke rumah besok malam? Ayah mau kita berkumpul bersama walau sebentar. Ayah tahu kamu sebenarnya kangen juga, namun selalu kamu coba berbohong kepada hatimu nak, kamu bersikap munafik untuk tidak menyayangi bundamu dan tidak menginginkan beliau muncul lagi di kehidupanmu. Sangat munafik saat kau berpikiran seperti itu” Ayah menatap dengan sendu.

            Reisya mematung terdiam, bagaimana bisa Ayah mengetahui segala sesuatu yang ada dipikirannya selama ini. Bahkan, Ayah tak pernah menyebut nama bunda sekalipun dalam 10 tahun belakangan. Hal itu yang membuat Reisya berpikir selama ini bahwa Ayah tidak lagi memikirkan bunda.

“Baiklah, namun tidak berlama-lama, Ayah” Jawab Reisya dingin

            Ayah tersenyum sambil mengangguk pelan.

Rutinitas pagi hari di Rumah Sakit

            Pagi ini aku masuk kerja seperti biasa. Jujur saja, tadi malam aku tidak bisa tidur nyenyak mengingat perkataan Ayah. Namun, mau tak mau harus kuturuti mengingat satu-satunya jalan yang ada mungkin dengan pertemuan ini.

“Pagi mbak Rei” ujar salah satu tenaga kesehatan di ruangan UGD

“Pagi mbak, apakah pasein atas nama Bagaskara telah menjalani CT-Scan pagi ini? Tadi malam saya datang untuk mengecek keadaannya karena ada keterangan motoriknya belum juga membaik”

“Iya mbak, hasilnya akan keluar beberapa menit lagi”

“Baiklah, saya tinggal ke ruangan dulu sebentar. Nanti kalau sudah keluar mohon dikabari ya”

“Baik”

            Beginilah rutinitas yang ada, memastikan semuanya berjalan dengan lancar. Jalan hidup yang rumit, namun aku menyukainya. Saat berjalan di lorong rumah sakit, Kashfa memanggilku sebab bunda meminta datang ke ruangannya membahas salah satu kasus penyakit pasien. Dengan segera aku mengiyakan dan memutar arah menuju ruangan bunda. Jika tidak karena profesionalitas, tidak mungkin aku akan secepat itu mengiyakannya.

“Bunda udah nungguin daritadi. Handphone lo kemana si?” tanya Kashfa

Lowbat Kash, gue lupa bawa powerbank

“Kirain karena sengaja ga angkat si”

“Astaghfirullah, su’udzon mulu ya”

“Yaa, sorry hehehehe”

            Sesampainya di ruangan, memang benar bunda telah menunggu sejak tadi. Aku meminta maaf atas keterlambatan dan menjelaskan situasi pasienku di ruangan UGD. Selepas itu, diskusi dimulai dari pemaparan riwayat penyakit, diagnosis awal, hingga amnenesis. Ini akan menjadi kasus yang berat mengingat umur pasien yang tergolong lanjut usia.

Benar kata orang, bunda memiliki wibawa yang tak pernah main-main. Gaya bahasa, penyampaian materi, dan pengambilan keputusan yang memerhatikan keseluruhan aspek. Pantas saja ayah tergila-gila. Aku mengetahui sepenggal cerita bahwa dulu ayah memiliki banyak kawan wanita dari kolega bisinisnya. Namun, tidak ada satupun yang dapat menarik perhatian Ayah. Hanya bunda yang mampu. Kata ayah “Cari perempuan harus yang pintar diajak menimbang permasalahan. Kalau tak bisa nyambung satu sama lain, bagaimana mau menyelesaikan permasalahan keluarga nanti?”.

Diskusi berakhir, kami dapat menyimpulkan amnenesis yang baik bagi pasien. Saat ingin beranjak dari sofa, untuk kesekian kalinya bunda ingin berbicara denganku. Aku menurut tanpa banyak melawan kali ini, hingga Kashfa pun terlihat sedikit kaget.

“Nanti malam, jadi? Bunda mau main ke rumah. Sudah dikasi tahu Ayah kan?”

“Hm. Iya”

“Sedikit saja, beri bunda waktu”

“Namun, janji tidak berlama-lama bund? Reisya belum terbiasa”

“Iya, hanya sebentar saja”

            Bunda datang tepat sehabis isya’. Beliau mengendarai mobilnya sehabis pulang dari jadwal praktek. Sementara Ayah, habis merampungkan pekerjaan dengan kolega bisnisnya. Abang sepertinya sangat kegirangan. Berlari seperti anak kecil memeluk bunda dan tanpa terasa menangis dalam diam. Aku hanya memerhatikan dari lantai 2, tidak berani mendekat. Tembok jarak antara putri bungsu dan ibunya sendiri sangatlah tinggi.

            Beberapa menit kemudian, aku dipanggil Ayah untuk turun kebawah. Bibi menyediakan cemilan dan teh, lantas memeluk Bunda dan menanyakan kabar. “Drama macam apa ini” monologku dalam hati. Percakapan itu terasa menyenangkan bagi seluruh penghuni rumah, kecuali aku. Setiap sudut rumah ini, memiliki foto kami berempat, Ayah, Bunda, Abang, dan Aku. Hal itu tak luput dari pandangan Bunda, matanya berkaca-kaca memandangi figura penuh kenangan. Lantas, Bunda mendekatiku dan mengajakku ke teras belakang rumah. Tempat favorit bunda untuk berbincang dengan anak-anaknya.

“Bunda tak bisa berlama-lama lagi disini, sesuai janji bunda denganmu”

“Ada apa?”

“Ini” Ujar Bunda sambil menyodorkan harddisk

“Semua jawaban kamu, ada disini. Jika ada waktu, bukalah”

“Hm. Oke”

“Bunda pamit, Rei. Jaga dirimu baik-baik” Lantas memeluk Reisya. Tanpa diminta, tangan Reisya menarik dirinya ke pelukan seorang ibu. Ia pun tak mengerti bagaimana bisa terjadi. Namun, satu hal yang ia tahu. Ia merasa ini adalah awal yang baik.

            Tepat pukul 22.00, mobil bunda keluar dari pekarangan rumah. Seluruh penghuni rumah memutuskan untuk berehat di bilik masing-masing. Namun, tidak dengan Reisya. Ia terpaku menatap jendela kamar. Pikirannya melayang kepada bunda. “Tuhan, jika memang engkau izinkan keluarga kami kembali seperti dahulu. Hapuskanlah rasa marah dan kecewa ini kepada Bunda. Berikan aku kesempatan untuk merain surga yang dicari” monolog Reisya dalam hati.

Selepas subuh, 2 minggu kemudian

            Reisya memilih untuk menyalakan laptopnya. Hari ini adalah penghujung minggu. Waktunya setiap orang menenangkan diri selepas hiruk pikuk permasalahan. Reisya ingin melanjutkan serial drama yang ia tonton bersama Kashfa. Namun, Kashfa ternyata telah menamatkan drama itu dalam dua malam tanpa memeritahu dirinya. Terpaksa, Reisya melanjutkan drama itu sendirian. Dasar Kashfa, ada dua hal yang membuat Reisya diduakan olehnya. Pertama adalah perihal bunda dan yang kedua adalah drama.

            Saat tiba di pertengahan episode, ia tanpa sengaja menyenggol segelas es jeruk yang membuatnya ingin naik pitam. Cairan itu membasahi seluruh dokumen pekerjaan yang harus diperiksa. Saat, merapikan kembali, ia melihat harddisk berwarna hitam. Seingatannya, ia tidak punya harddisk berwarna hitam. “Punya siapa pula nih, yakali ketinggalan” ujarnya sambil mendengus. Akhirnya, ia memutuskan membuka harddisk tersebut dan mengecek siapa pemiliknya dengan niat mengembalikan.

“Dari Bunda, Untuk Reisya Maherja Alanda”

            DEG. Reisya mengingatnya. Beberapa minggu yang lalu, bunda memberikan harddisk ini. Hatinya sudah tak karuan, perasannya campur aduk. Karena sudah terlanjur, Reisya memberikan diri membuka video itu.

“Reisya Maherja Alanda. Diberi nama Reisya karena doa bunda agar putrinya mejadi anak yang menyebarkan warna positif bagi lingkungannya dan tidak patang semangat. Anakku, Reisya. Setelah semuanya terjadi dan kenangan kelam itu masuk ke garis Tuhan. Aku percaya kamu kuat sesuai dengan doa dalam namamu, nak. Aku beri kamu pilihan seluruhnya tanpa dibatasi. Entah kamu mau kembali ke pelukan ini atau pergi ke tempat antah berantah. Bahkan jika kamu memilih untuk kita menjadi dua orang asing, aku persilahkan. Kau harus tahu, bunda menyayangimu tanpa putus dari jauh. Meski begitu, aku tak pernah harapkan dirimu menyayangimu sama seperti besarnya diriku. Namun, bisakah kumohon barangkali sedetik saja kau dapat mengingatku dalam hidupmu?”

“Hari itu, aku pergi atas pertengkaran berat dua keluarga. Ayahmu yang berasal dari keluarga terpandang memilih untuk mempersunting perempuan sederhana yang tanpa ada restu orang tua didalamnya. Bunda mengalah, jika tidak begitu, keluarga kecil ini akan semakin dicaci oleh orang-orang. Ayahmu, disatu sisi ia terus menerima cemoohan orang lain. Jadilah, kami berpisah dipaksa keadaan. Bukan tanpa sebab kami tak memberi tahumu, itu karena aku tidak menginginkan adanya kebencian terhadap dua keluarga besar ini. Sedikit gila kedengarannya, tapi aku mempertimbangkan kalian berdua akan mendapatkan fasilitas yang layak dengan tetap bersama Ayah selama bunda merampungkan gelar spesialis besah syaraf dibelakang nama. Takdir tuhan tidak pergi jauh, kau mengikuti jejak karir ini. Sungguh kebahagiaan besar. Untuk kesekian kalinya, bunda sampaikan permohonanan maaf ini yang sebesar-bedarnya. Doa bunda, semoga tuhan selalu bersama dengan langkahmu” Tutup Bunda dalam videonya.

            Aku terisak menahan tangis, inilah sebabnya mengapa bunda tidak pernah mau kembali. Karena keluarga besar yang memandangnya setengah mata. Bunda memilih untuk pergi, membiarkan dirinya kesepian, dan menahan rindu untuk bersua. Reisya menyadari kesalahannya, dengan cepat ia mengambil kunci mobil dan menuju ke arah apartement bunda.

Teng…teng…teng. Aku memencet bel apartement Bunda.

            Lantas keluar sosok yang aku cari, ia keluar dengan senyuman yang setiap hari tak pernah luntur selama ini. Aku menghembuskan napas perlahan dan maju beberapa langkah seraya berbisik.

“Reisya kembali bund, kembali pada surga yang dicari”

 

 

 

Postingan populer dari blog ini

Teks Ceramah

 A. Definisi dan Ciri-Ciri Ceramah     1. Definisi Ceramah          Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ceramah adalah pidato oleh seseorang di hadapan banyak pendengar mengenai suatu hal atau pengetahuan. Ceramah juga berarti penuturan bahan pembelajaran secara lisan. Ceramah merupakan pidato yang bertujuan untuk memberikan nasihat dan petunjuk mengenai suatu permasalahan kepada audiensi yang bertindak sebagai pendengar. Secara umum, ceramah mempunyai pengertian tentang suatu kegiatan berbicara di depan umum dalam situasi tertentu untuk tujuan tertentu dan kepada pendengar tertentu.         Pada dasarnya, pidato, ceramah, dan khotbah memiliki persamaan, yakni pengungkapan pikiran di hadapan banyak orang. Namun, dalam pelaksanaannya, antara pidato, ceramah, dan khotbah memiliki perbedaan. Pidato sering kita ikuti dalam acara-acara resmi, misalnya seminar, rafat pleno,. Ceramah diadakan untuk acara-acara tert...

Teks Laporah Hasil Observasi

            Sebuah laporan hasil observasi dapat disajikan dalam bentuk teks tertulis maupun teks lisan. Kamu sering melakukan observasi atau pengamatan, tetapi belum memahami cara menyusun teks laporannya dengan baik. Untuk itu, kamu perlu memerhatikan penyusunan laporan hasil observasi yang kamu dengar atau kamu baca dari media televisi, koran, majalah, atau internet. A. Pengertian, Ciri-Ciri, Sifat, dan Contoh Teks Laporan Hasil Observasi 1. Pengertian Teks Laporan Hasil Observasi          Teks laporan hasil observasi adalah teks yang berisi penjabaran umum mengenai sesuatu yang didasarkan pada hasil kegiatan observasi/pengamatan. Kegiatan observasi merupakan kegiatan pengumpulan data atau informasi melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat di lapangan atau lokasi. 2. Ciri-Ciri Teks Laporan Hasil Observasi     Teks laporan hasil observasi memiliki ciri-ciri yang membedakann...

ANEKDOT

A. Definisi. Ciri, dan Jenis Anekdot   1. Definisi Teks Anekdot     Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau orang terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Orang-orang penting yang diceritakan dalam anekdot bermacam-macam, seperti tokoh politik, sosial, dan agama.  Sementara itu, peristiwa yang diceritakan dalam anekdot merupakan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun seiring perkembangan zaman anekdot juga digunakan untuk menceritakan tokoh dan peristiwa fiktif.     Anekdot mengandung humor. Humor dalam anekdot dibentuk dengan kelucuan atau kekonyolan tokoh. Tindakan ataupun ucapan tokoh menimbulkan humor karena adanya peristiwa ganjil yang mendasarinya. Humor juga dapat diciptakan melalui permainan kata, makna, ataupun pelesetan terhadap suatu kata ataupun frasa.     Humor dalam anekdot bukan hanya bersifat menghibur. Bia...