Aku
tak pernah harapkan dirimu menyayangimu sama seperti besarnya diriku. Namun,
bisakah kumohon barangkali sedetik saja kau dapat mengingatku dalam hidupmu?
Pagi hari di kawasan
pusat Kota Jakarta
Aku berlari kecil turun melewati
tangga untuk berangkat menuju rumah sakit. Hujan tadi malam rupanya membuat
hawa cukup dingin pagi ini. Tidak salah pilih, aku menggunakan kemeja dilapisi
sweater agar menjaga suhu tubuh tetap hangat. Sarapan pagi ini cukup
menyenangkan, bibi menyediakan sereal gandum dan yogurt. Aku memilih untuk
menghabiskan sarapanku dengan gesit dan langsung menuju garasi rumah. Saat
ingin membuka pintu garasi, aku mendengar sapaan seseorang yang tak asing lagi.
“Selamat
Pagi, Rei!”
“Hei
Bang Ven, Pagi juga. Ada kerjaan apa nih?”
“Seperti
biasa, perusahaan akan menjalin relasi untuk meninggikan profit. Sedikit
melelahkan, tapi tak masalah. Apa gunanya Ayah menyekolahkan aku jika anak ini
tak bisa berkonstribusi”
“Hmm.
Iyaa jugaa. Omong-omong, Ayah kapan balik? Kangen nih”
“Sore
ini udah nyampe si seharusnya”
“YAY!
Oke bang. Eh, aku duluan ya, takut ntar kecebak macet nihh”
“Si
paling sibuk yaaa.” Canda Bang Arven dengan lagaknya
“HAHAHA.
Iya dahh” jawab Reisya sambil melenggang menuju mobil.
Reisya Maherja Alanda. Salah seorang
dokter bedah syaraf yang sedang berjuang membantu masyarakat luas di bidang
kesehatan syaraf. Berasal dari keluarga berada tidak pernah membuat dirnya berpikir
suatu hari nanti harus memilih untuk melanjutkan perusahaan tambang milik Ayah.
Dia memilih jalannya sendiri mengikuti jejak ibunda. Sedangkan abangnya, Arven
Mahendra Alanda memilih untuk melanjutkann bisnis yang dirasa sesuai dengan
minatnya sedari SMA. Reisya dan Arven jarang bertemu walau tinggal satu atap.
Terkadang, Arven keluar negeri untuk membantu membangun perusahaan Ayah atau Reisya
yang mengurung diri ditemani buku untuk menghabiskan waktu. Terasa hampa
memang, tapi inilah jalan hidup yang mereka pilih.
“Masih
pukul 07.10, waktu yang tepat untuk menyeruput secangkir kopi hitam di
ruanganku” gumam Reisya dalam hati.
Tak lama berselang, ia sampai di
sebuah Rumah Sakit. Dirinya memilih untuk melenggang menuju ruangan miliknya.
Suasana tidak terlalu ramai, mengingat jam aktif kerja adalah 08.00. Sesampainya
di ruangan, ia memilih untuk merebahkan diri di sofa ditemani secangkir kopi
hitam sebelum pagi ini bertemu dengan kepala departemen yang tak lain merupakan
bunda nya sendiri untuk melaksanakan rapat evaluasi.
Tok…tok…tok. Terdengar ketukan pintu dari luar.
“Masuk”
ucap Reisya dari dalam.
“WEYY
REI. Pagi amat dah dateng kerja” canda Kashfa yang merupakan sahabatnya sejak
duduk di perkuliahan tingkat I.
“Lahh,
bikin kaget aja. Kirain siapa gitu” jawab Reisya singkat.
“Eh,
Rei! Ntar kita rapat evaluasi yaa? YEY! Bisa ketemu bundanya Rei” goda Kashfa.
“Nape
sih, semangat bener kalo ketemu bunda. Lagian tiap hari satu departemen kok” jawab
Reisya ketus.
“HEI.
Gimanapun juga, beliau wibawanya ga main-main tau!”
“Iya
tahu, tapi masi males ajaa kalo nginget yang dulu.”
Reisya
terdiam, pikirannya berkecamuk 10 tahun yang lalu. Dirinya memang tidak terlalu
dekat dengan ibunda. Mengingat masalah yang memecah keluarganya sendiri,
membuatnya selalu menahan diri tentang apapun yang berhubungan dengan bunda.
10
tahun yang lalu
PRANGG!
Bunyi
kaca pecah memekikkan telinga Reisya yang beranjak usia 12 tahun. Dirinya tidak
tahu apa yang sedang terjadi. Untuk menjawab rasa penasaran, ia mengintip
dibalik pintu kamar. Disusul, terdengar isak tangis dari arah sumber bunyi yang
sama.
“Jika
kamu memang tak pernah bisa ada disamping keluarga ini. Maka, sedari dulu tidak
perlu kamu bangun keluarga kita hingga sejauh ini” Terdengar seperti suara
bunda yang terisak.
“Telah
aku lakukan semuanya! Namun, kau yang tidak bisa sabar sedikit lagi” Jawab Ayah
sambil menenangkan bunda yang terlanjur menangis.
“Jika
memang kau tak bisa tuntaskan masalah keluarga besar kita berdua. Biarkan aku
yang mengalah.”
“TIDAK!
OMONG KOSONG MACAM APA ITU!”
“Tapi
aku sudah tidak tahan melihat semuanya terluka. Biar ini selesai dengan cepat.
Aku titip Arven dan Reisya kepadamu. Secepatnya, jika tuhan izinkan entah aku
atau anakku yang temukan jalan pulang”
“Jaga
dirimu dengan baik, datanglah kapanpun kamu mau. Aku tidak akan pernah
melarangnya”
Reisya yang beranjak diusia labil
saat itu tidak memahami keseluruhan peristiwa tersebut. Ia mengambil sepotong
kesimpulan bahwa sang bunda meninggalkan dirinya dan bang Arven hanya karena
ego dan ketidaksabaran.
Kisah itu telah lama tidak diungkit
kembali, namun ketika mengajukan diri untuk bekerja sama dengan Rumah Sakit di departemen
bedah syaraf ia baru bertemu dengan sang bunda setelah berselang waktu lamanya.
Bahkan sang bunda terkejut di hari yang bersamaan ketika bertemu dengan buah
hati perempuan kesayangannya.
“Ayoo,
Rei! Ngelamun lo kelamaan. Biar cepet mulai rapat evaluasinya. Gue minta maaf
deh semisal nyinggung ingatan lama lo” ujar Kashfa membuyarkan haluan Reisya.
“Iyaaa
iyaa. Gapapa kok. Yaudah ayo jalan” jawab Reisya sambil bangkit dari sofa.
Sesampainya di ruangan evaluasi,
dengan jelas ia melihat bunda duduk di kursi depan, berhadapan langsung ke arah
seluruh hadirin rapat. Sesekali selama rapat, Risya memberanikan diri menatap
ke arah bundanya, seringkali pula dua pasang mata tersebut berinteraksi secara
tidak sengaja. Tiba saat Risya memberikan laporan terhdapat beberapa hal selama
satu bulan belakangan. Ia maju kedepan seraya membawa buku catatan. Setelah
menyampaikan gagasan dan pendapatnya ia menerima beberapa komentar dari dokter
senior. Rapat tersebut menghasilkan point-point baru yang diharapkan membawa
dampak positif kedepannya.
Reisya ingin pergi bersama Kashfa
dikarenakan waktu menunjukkan jam makan siang. Namun, saat ingin beranjak
bangun dari kursi, terdengar suara bunda memanggil.
“Reisya,
boleh ke ruangan bunda sebentar?” Ajak bunda
“Reisya
mau makan dulu bareng Kashfa. Ntaran aja dah” Jawab Reisya malas
“Eh,
gapapa bund. Kashfa duluan aja makannnya” Sanggah Kashfa
Reisya pun menatap Kashfa dengan
jengkel. “Kashfa emang gabisa dikompromi kalau masalah sama bunda nih. Bener-bener
emang” monolog Reisya dalam hati. Bunda tersenyum menatap Kashfa sambil
mengajak Reisya ikut dibelakangnya.
“Ayo
nak, bareng bunda sebentar”
Sepanjang perjalanan menuju ke
ruangan, para tenaga medis mengalihkan pandangan mereka kepada ibu dan anak
yang sedang berjalan tersebut. Jarang sekali hal ini terjadi, mengingat Reisya
tidak pernah mau menjalin interaksi dengan ibunda. Sampai di depan ruangan yang
bertuliskan Kepala Departemen Bedah Syaraf, bunda masuk diiringi Reisya. Bunda
duduk disebuah sofa sambil menepuk sisi sampingnya memersilahkan Reisya untuk
duduk disebelahnya. Reisya tidak menurut, ia memilih duduk di hadapan bundanya.
Ibundanya hanya tersenyum teduh melihat kelakuan anak bungsunya.
“Adek
sehat? Kerjaan yang lain gimana? Gaada masalah kan?” Tanya bunda dengan baik.
“Hm,
iya” jawab Reisya singkat
Bunda menatap Reisya dalam diam,
sementara yang ditatap malah mengalihkan pandangan pada handphone nya.
“Adek,
Bunda dah lama ga makan bareng. Hari ini bisa kah?” Tanya bunda lagi penuh harap
“Ga,
ada kerjaan”
“Kapan
bisanya?”
“Entah”
Jawab Reisya masih bermain dengan handphone
“Bisa
ngobrol sebentar, nak?”
“Ayolah
bund, bunda kenapa sih?! Reisya juga sibuk. Kalau cuman manggil buat ginian
gaada waktu!” Suara Reisya meninggi
“Bunda
tahu kamu masih sangat marah. Namun, jika kamu bisa melihat dari pandangan
bunda sekali saja, dek. Reisya akan melihat apa yang sebenarnya terjadi 10
tahun yang lalu. Kita sudah membahas ini berulang kali disetiap bunda punya
kesempatan untuk mengobrol denganmu. Ayah dan bunda memunggu untuk kita semua
kembali. Jutaan kali Bunda memohon maaf. Bisakah kita mulai semuanya lagi?”
“Pernah
kah sekalipun bunda berpikir apa yang adek dan abang lewati selama ini? Bunda
datang dengan tiba-tiba dan mengatakan bahwa semuanya dapat dimulai dari awal.
Jika memang ada kesempatan mengulang ruang dan waktu seharusnya kejadian itu
dihapus dari takdir tuhan. Maaf bund, tapi tidak sekarang. Reisya pun ga ada
niat sama sekali mencari tahu. Biar kita menjadi dua orang asing. Ini yang
Reisya mau” Ujar Reisya sambil berkaca-kaca
Reisya memilih untuk bangkit dan
keluar dari ruangan. Pikiran ibu dan anak itu sedang tidak baik-baik saja.
Bunda tampak terkejut dengan apa yang dikatakan putrinya dan memilih untuk diam.
Sore
hari, selepas pekerjaan dari Rumah Sakit
Reisya dan Kashfa berpamitan dahulu,
sebelum keduanya mengendarai mobil masing-masing. Reisya menjalankan mobilnya
menuju kearah rumah. Jujur, Reisya menyesali apa yang telah ia katakan kepada
bundanya tadi siang. Memang dia sangat marah, namun di satu sisi ia merindukan
sosok bunda dalam hidupnya. Perjalanan menuju rumah terasa lenggang hari ini.
Ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Berkendara mobil beserta
iringan semburatan jingga sangatlah menenangkan.
Tanpa
terasa, air matanya menetes. Hampir 22 tahun hidup di dunia, dan setengah dari
itu tanpa kehadiran sosok bunda adalah luka yang tuhan hampiri kepadanya. Dan
mengenai kejadian 10 tahun yang lalu sebenarnya sangat ingin ia tanyakan kepada
Ayah. Namun, selalu ia urungkan kembali karena setiap ingin bertanya lidahnya
terasa kelu, tak siap menerima kenyataa. Sekarang, ia berniat mencoba untuk
bertanya langsung.
Sesampainya di rumah, ia melihat
mobil Ayah nyaman terparkir di pekarangan rumah. “Benar kata abang, hari ini Ayah
pulang” ujar Reisya dengan suara kecil.
“Ooh,
jadi yang tadi pagi ga percaya?” jawab Arven yang tiba-tiba muncul dari
belakang.
“Lah,
dari kapan ada dibelakang Rei?”
“Ditanya,
malah nanya balik”
“HHEHEHE,
emang rada ga percaya si tadi pagi. Yakali, Ayah baru pergi 10 hari yang lalu
terus baliknya cepet banget”
“Nah
kan. Yaudah, ayo masuk. Ada Ayah mau omongin juga” Ajak Arven
Reisya menghampiri sang Ayah yang
nyatanya telah menunggu sejak lama. Ayah tampak sehat dan bahagia bertemu
Reisya. Walau memasuki kepala empat,
beliau tetap gagah dan menarik perhatian seluruh orang dengan pesona dan
kepintarannya. Presiden direktur tambang yang disegani banyak pejabat penting
dan menjadi orang yang berpengaruh di negara adalah hal yang biasa bagi Ayah.
Namun jelas, itu akan menjadi pertanyaan banyak orang. Bagaimana bisa, Ayah
dengan segala keistimewaannya tidak memiliki pendamping hidup selama 10 tahun?
Apakah Ayah memang tidak bisa memulai hidup baru selain daripada bunda? Atau
memang tidak ada janda yang terpikat padanya? Reisya pikir, opsi kedua adalah
hal yang konyol.
“Ada
yang Ayah ingin sampaikan kepadamu, nak” Ujar Ayah memulai percakapan
“Apa
itu?”
“Bolehkah
bunda datang ke rumah besok malam? Ayah mau kita berkumpul bersama walau
sebentar. Ayah tahu kamu sebenarnya kangen juga, namun selalu kamu coba
berbohong kepada hatimu nak, kamu bersikap munafik untuk tidak menyayangi
bundamu dan tidak menginginkan beliau muncul lagi di kehidupanmu. Sangat
munafik saat kau berpikiran seperti itu” Ayah menatap dengan sendu.
Reisya mematung terdiam, bagaimana
bisa Ayah mengetahui segala sesuatu yang ada dipikirannya selama ini. Bahkan, Ayah
tak pernah menyebut nama bunda sekalipun dalam 10 tahun belakangan. Hal itu
yang membuat Reisya berpikir selama ini bahwa Ayah tidak lagi memikirkan bunda.
“Baiklah,
namun tidak berlama-lama, Ayah” Jawab Reisya dingin
Ayah tersenyum sambil mengangguk
pelan.
Rutinitas pagi hari di Rumah
Sakit
Pagi ini aku masuk kerja seperti
biasa. Jujur saja, tadi malam aku tidak bisa tidur nyenyak mengingat perkataan
Ayah. Namun, mau tak mau harus kuturuti mengingat satu-satunya jalan yang ada
mungkin dengan pertemuan ini.
“Pagi mbak Rei” ujar
salah satu tenaga kesehatan di ruangan UGD
“Pagi mbak, apakah pasein
atas nama Bagaskara telah menjalani CT-Scan pagi ini? Tadi malam saya datang
untuk mengecek keadaannya karena ada keterangan motoriknya belum juga membaik”
“Iya mbak, hasilnya akan
keluar beberapa menit lagi”
“Baiklah, saya tinggal ke
ruangan dulu sebentar. Nanti kalau sudah keluar mohon dikabari ya”
“Baik”
Beginilah rutinitas yang ada,
memastikan semuanya berjalan dengan lancar. Jalan hidup yang rumit, namun aku
menyukainya. Saat berjalan di lorong rumah sakit, Kashfa memanggilku sebab
bunda meminta datang ke ruangannya membahas salah satu kasus penyakit pasien.
Dengan segera aku mengiyakan dan memutar arah menuju ruangan bunda. Jika tidak
karena profesionalitas, tidak mungkin aku akan secepat itu mengiyakannya.
“Bunda
udah nungguin daritadi. Handphone lo kemana si?” tanya Kashfa
“Lowbat
Kash, gue lupa bawa powerbank”
“Kirain
karena sengaja ga angkat si”
“Astaghfirullah,
su’udzon mulu ya”
“Yaa,
sorry hehehehe”
Sesampainya di ruangan, memang benar
bunda telah menunggu sejak tadi. Aku meminta maaf atas keterlambatan dan
menjelaskan situasi pasienku di ruangan UGD. Selepas itu, diskusi dimulai dari
pemaparan riwayat penyakit, diagnosis awal, hingga amnenesis. Ini akan menjadi
kasus yang berat mengingat umur pasien yang tergolong lanjut usia.
Benar
kata orang, bunda memiliki wibawa yang tak pernah main-main. Gaya bahasa,
penyampaian materi, dan pengambilan keputusan yang memerhatikan keseluruhan
aspek. Pantas saja ayah tergila-gila. Aku mengetahui sepenggal cerita bahwa
dulu ayah memiliki banyak kawan wanita dari kolega bisinisnya. Namun, tidak ada
satupun yang dapat menarik perhatian Ayah. Hanya bunda yang mampu. Kata ayah “Cari
perempuan harus yang pintar diajak menimbang permasalahan. Kalau tak bisa
nyambung satu sama lain, bagaimana mau menyelesaikan permasalahan keluarga
nanti?”.
Diskusi
berakhir, kami dapat menyimpulkan amnenesis yang baik bagi pasien. Saat ingin
beranjak dari sofa, untuk kesekian kalinya bunda ingin berbicara denganku. Aku
menurut tanpa banyak melawan kali ini, hingga Kashfa pun terlihat sedikit
kaget.
“Nanti
malam, jadi? Bunda mau main ke rumah. Sudah dikasi tahu Ayah kan?”
“Hm.
Iya”
“Sedikit
saja, beri bunda waktu”
“Namun,
janji tidak berlama-lama bund? Reisya belum terbiasa”
“Iya,
hanya sebentar saja”
Bunda datang tepat sehabis isya’.
Beliau mengendarai mobilnya sehabis pulang dari jadwal praktek. Sementara Ayah,
habis merampungkan pekerjaan dengan kolega bisnisnya. Abang sepertinya sangat
kegirangan. Berlari seperti anak kecil memeluk bunda dan tanpa terasa menangis
dalam diam. Aku hanya memerhatikan dari lantai 2, tidak berani mendekat. Tembok
jarak antara putri bungsu dan ibunya sendiri sangatlah tinggi.
Beberapa menit kemudian, aku
dipanggil Ayah untuk turun kebawah. Bibi menyediakan cemilan dan teh, lantas
memeluk Bunda dan menanyakan kabar. “Drama macam apa ini” monologku
dalam hati. Percakapan itu terasa menyenangkan bagi seluruh penghuni rumah,
kecuali aku. Setiap sudut rumah ini, memiliki foto kami berempat, Ayah, Bunda,
Abang, dan Aku. Hal itu tak luput dari pandangan Bunda, matanya berkaca-kaca
memandangi figura penuh kenangan. Lantas, Bunda mendekatiku dan mengajakku ke teras
belakang rumah. Tempat favorit bunda untuk berbincang dengan anak-anaknya.
“Bunda
tak bisa berlama-lama lagi disini, sesuai janji bunda denganmu”
“Ada
apa?”
“Ini”
Ujar Bunda sambil menyodorkan harddisk
“Semua
jawaban kamu, ada disini. Jika ada waktu, bukalah”
“Hm.
Oke”
“Bunda
pamit, Rei. Jaga dirimu baik-baik” Lantas memeluk Reisya. Tanpa diminta, tangan
Reisya menarik dirinya ke pelukan seorang ibu. Ia pun tak mengerti bagaimana
bisa terjadi. Namun, satu hal yang ia tahu. Ia merasa ini adalah awal yang
baik.
Tepat pukul 22.00, mobil bunda
keluar dari pekarangan rumah. Seluruh penghuni rumah memutuskan untuk berehat
di bilik masing-masing. Namun, tidak dengan Reisya. Ia terpaku menatap jendela
kamar. Pikirannya melayang kepada bunda. “Tuhan, jika memang engkau izinkan
keluarga kami kembali seperti dahulu. Hapuskanlah rasa marah dan kecewa ini
kepada Bunda. Berikan aku kesempatan untuk merain surga yang dicari”
monolog Reisya dalam hati.
Selepas
subuh, 2 minggu kemudian
Reisya memilih
untuk menyalakan laptopnya. Hari ini adalah penghujung minggu. Waktunya setiap
orang menenangkan diri selepas hiruk pikuk permasalahan. Reisya ingin
melanjutkan serial drama yang ia tonton bersama Kashfa. Namun, Kashfa ternyata
telah menamatkan drama itu dalam dua malam tanpa memeritahu dirinya. Terpaksa,
Reisya melanjutkan drama itu sendirian. Dasar Kashfa, ada dua hal yang membuat
Reisya diduakan olehnya. Pertama adalah perihal bunda dan yang kedua adalah
drama.
Saat tiba di pertengahan episode, ia
tanpa sengaja menyenggol segelas es jeruk yang membuatnya ingin naik pitam.
Cairan itu membasahi seluruh dokumen pekerjaan yang harus diperiksa. Saat,
merapikan kembali, ia melihat harddisk berwarna hitam. Seingatannya, ia tidak
punya harddisk berwarna hitam. “Punya siapa pula nih, yakali ketinggalan”
ujarnya sambil mendengus. Akhirnya, ia memutuskan membuka harddisk tersebut dan
mengecek siapa pemiliknya dengan niat mengembalikan.
“Dari
Bunda, Untuk Reisya Maherja Alanda”
DEG. Reisya mengingatnya. Beberapa
minggu yang lalu, bunda memberikan harddisk ini. Hatinya sudah tak karuan,
perasannya campur aduk. Karena sudah terlanjur, Reisya memberikan diri membuka
video itu.
“Reisya
Maherja Alanda. Diberi nama Reisya karena doa bunda agar putrinya mejadi anak
yang menyebarkan warna positif bagi lingkungannya dan tidak patang semangat.
Anakku, Reisya. Setelah semuanya terjadi dan kenangan kelam itu masuk ke garis
Tuhan. Aku percaya kamu kuat sesuai dengan doa dalam namamu, nak. Aku beri kamu
pilihan seluruhnya tanpa dibatasi. Entah kamu mau kembali ke pelukan ini atau
pergi ke tempat antah berantah. Bahkan jika kamu memilih untuk kita menjadi dua
orang asing, aku persilahkan. Kau harus tahu, bunda menyayangimu tanpa putus dari
jauh. Meski begitu, aku tak pernah harapkan dirimu menyayangimu sama seperti
besarnya diriku. Namun, bisakah kumohon barangkali sedetik saja kau dapat
mengingatku dalam hidupmu?”
“Hari
itu, aku pergi atas pertengkaran berat dua keluarga. Ayahmu yang berasal dari
keluarga terpandang memilih untuk mempersunting perempuan sederhana yang tanpa
ada restu orang tua didalamnya. Bunda mengalah, jika tidak begitu, keluarga
kecil ini akan semakin dicaci oleh orang-orang. Ayahmu, disatu sisi ia terus
menerima cemoohan orang lain. Jadilah, kami berpisah dipaksa keadaan. Bukan
tanpa sebab kami tak memberi tahumu, itu karena aku tidak menginginkan adanya
kebencian terhadap dua keluarga besar ini. Sedikit gila kedengarannya, tapi aku
mempertimbangkan kalian berdua akan mendapatkan fasilitas yang layak dengan
tetap bersama Ayah selama bunda merampungkan gelar spesialis besah syaraf dibelakang
nama. Takdir tuhan tidak pergi jauh, kau mengikuti jejak karir ini. Sungguh
kebahagiaan besar. Untuk kesekian kalinya, bunda sampaikan permohonanan maaf
ini yang sebesar-bedarnya. Doa bunda, semoga tuhan selalu bersama dengan
langkahmu” Tutup Bunda dalam videonya.
Aku terisak menahan tangis, inilah
sebabnya mengapa bunda tidak pernah mau kembali. Karena keluarga besar yang
memandangnya setengah mata. Bunda memilih untuk pergi, membiarkan dirinya
kesepian, dan menahan rindu untuk bersua. Reisya menyadari kesalahannya, dengan
cepat ia mengambil kunci mobil dan menuju ke arah apartement bunda.
Teng…teng…teng.
Aku memencet bel apartement Bunda.
Lantas keluar sosok yang aku cari,
ia keluar dengan senyuman yang setiap hari tak pernah luntur selama ini. Aku menghembuskan
napas perlahan dan maju beberapa langkah seraya berbisik.
“Reisya
kembali bund, kembali pada surga yang dicari”