Langsung ke konten utama

Salahku


Panggil aku Lysa. Jika kalian tanya siapa aku, maka jawabannya aku hanya seorang siswi biasa dari MAN terbaik se-NTB. Sekolahnya memang memiliki title ‘MAN terbaik’, tapi aku merasa kalau biasa saja. Masuk ke sini adalah hal yang tidak pernah kuperhitungkan atau kurencanakan sebelumnya, sama seperti insiden besar dalam hidupku yang akan mengubah total sudut pandanganku.

Sebelumnya mari sedikit kuceritakan latar belakangku. Sedari TK sampai SMA sekarang aku selalu bersekolah di sekolah ‘islami’. TK dan SD ku satu lembaga, dan sekolahku adalah sekolah islam yang berstatus sekolah swasta. SMP ku yang lebih tepatnya ‘pondok pesantren moderen’ juga merupakan sekolah swasta yang menonjol akan kemampuan bahasa dan hafalan al-Qur`an, satu-satunya pondok yang letaknya strategis di pinggir jalan di tengah perkotaan padat. Dan sekarang aku bersekolah di SMA ‘terbaik’ se-NTB.

Luar biasa memang, akan tetapi ada juga kekurangan dari latar pendidikanku. sedari SD kelas 4 kelas antara putra dan putri sudah dipisah, dan untukku hal itu terjadi sampai aku SMP. Hal itu membuatku tidak terbiasa berinteraksi dengan lawan jenis, saat SD aku tidak pernah bisa akur jika bicara dengan lawan jenis. Dan pada SMA ini kembali lagi kelasku digabung dengan lawan jenis, menurutku hal ini sangat bagus, karena jika tidak entah akan separah apa aku di masa kuliah nanti.

Semua berawal begitu saja, dan kejadiannya mengalir begitu saja. Itu adalah masa awalku di sekolah baru, tentu aku mencoba berbaur dengan semua, termasuk lawan jenis yang 3 tahun lamanya tak pernah kuhadapi. Tapi tanpa kuketahui usahaku untuk berbaur itu malah membuat guncangan besar pada mentalku. Tak akan kukatakan awalnya bagaimana, karena aku sendiri sudah lupa dengan pemicu awalnya, yang ada tahu-tahu aku sudah dekat dengan Auf.

“Kok kamu bertanya tentang Auf si?” Auf memang tidak sekelas denganku, jadi aku bertanya dengan teman sekelasnya.

“Tidak, aku taruhan dengannya. Siapa yang bisa menemukan duluan maka diberi imbalan” jawabku antusias. Aku memang mirip anak kecil, suka dengan permainan-permainan kecil yang seru, apalagi jika mendapat hadiah.

“Bilang aja tertarik” jawabnya lagi.

“Agak tertarik, soalnya penasaran” bodohnya pikiranku ini, yang aku pikirkan hanya penasaran dengannya yang sudah menjadi teman chat selama daring sementara sebelum masuk sekolah tatap muka.

“Liat aja besok” begitu akhir percakapanku dengan teman sekelasnya. Aku memang tidak tahu bagaimana batas bercanda, aku sering bercanda yang ‘agak berlebihan’ dengan teman perempuanku, dan bodohnya aku juga begitu dengan lawan jenis.

Saat di sekolah keesokan harinya aku menemukannya.

“Auf?” tanyaku ke seorang yang ciri-cirinya mirip dengan yang kutahu selama ini.

“Lysa?!” dia bicara dengan agak berteriak, sepertinya tertalu bersemangat.

“Karena saya yang nemuin kamu duluan, kamu traktir saya es krim coklat ya!” tanpa tahu malu apalagi basa-basi aku langsung meminta hadiah seperti anak kecil.

“Hahaha, iya nanti saya kasih” katanya sambil tertawa. Segera aku meninggalkannya dan masuk ke kelasku, dan benar ternyata dia membelikanku es krim saat jam istirahat. Setelah diberikan es krim semua teman-temanku menyerangku dengan berbagai pertanyaan penasaran, khas para pemburu gosip.

“Kamu deket sama dia?!” tanya salah satu teman kelasku yang satu SMP dengannya.

“Kamu pacaran sama dia?!” kembali yang lainnya bertanya padaku.

“Gak kok, saya cuman abis minta hadiah taruhan” saya mengabaikan semua dan memilih duduk dan menikmati es krim hadiah darinya.

Jujur aku tak pernah terpikir bahwa kejadian itu sudah menjadi gosip terhangat ditengah-tengah murid perempuan dan laki-laki. Aku tak begitu tertarik dengan respon orang, ‘Palingan nanti juga hilang sendiri’, pikirku. Akan tetapi semua yang terjadi benar-benar melenceng dari apa yang aku pikirkan. Semua makin membicarakan itu, karena dia kembali membariku makanan, aku juga terlihat malu jika bicara dengannya. Bukannya itu respon yang wajar bagiku? maksudku aku tidak pernah berinteraksi dengan lawan jenis selama 3 tahun, tentu saja aku malu jika berkomunikasi dengan lawan jenis yang baik padaku seperti ini. Semua berjalan biasa saja, sampai di hari dia bilang jika dia suka padaku.

Aku bingung, sudah pasti. Aku masih di keadaan dimana aku membawa ajaran pondokku yang berkata ‘pacaran itu HARAM’. Jadi aku memberi jawaban yang labil, jika ditanya apa aku suka dia maka jawabannya ‘Iya dan Tidak’. Tak ada alasan untuk membencinya, begitu pula alasan untuk menyukainya. Semua perilaku yang kutunjukkan mungkin yang membuatnya termotivasi untuk menyatakan perasaan, tapi mau bagaimana lagi, bukannya respon itu hal yang wajar ditunjukkan bagi perempuan yang polos akan hal-hal tentang lelaki.

Kembali lagi kukatakan kalau semua kembali berjalan normal, aku hanya menganggapnya sebagai angin lalu, dan aku juga dia masih berkomunikasi biasa tanpa rasa canggung, seolah pernyataannya itu hanya perkataan biasa. Sampai dia memberiku surat, singkatnya isi dari surat itu mengatakan bahwa dia tidak puas dengan jawaban labilku, dia ingin meminta kejelasan.

Membaca itu mataku membulat marah, entah kenapa aku menjadi semarah itu. Segera kurobek kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Aku berjalan menuju teman kelasku yang menjadi perantara suratnya, Ali.

“Kenapa bisa dititip lewat kamu?” tanyaku dengan intonasi suara yang ditahan (walau marah sekalipun tetap tenang agar tidak menimbulkan keributan).

“Kan Auf teman sekamar Ali” Ryan yang disebelahnya menjawab.

“Minta tolong bilang ke dia jangan tulis ginian lagi! Saya gak suka!” kataku marah, tapi berusaha untuk tidak berteriak. Ali melihatku dengan tatapan takut dan hanya mengangguk mengerti, segera aku berbalik menuju bangku ku. Saat di kamar aku memikirkan perilakuku tadi, bukannya tidak sopan jika langsung merobek dan membuangnya tanpa membalasnya. Jadi kuputuskan untuk menulis surat balasan dengan bahasa yang seribu kali kupikirkan agar dia tidak kesal nantinya. Keesokan paginya aku berjalan menuju bangku Ali dan memberinya surat itu.

“Buat dia, bilang ini balasannya” kataku dingin sambil menyerahkan suratnya.

“Boleh saya baca?” tanya Ali antusias, sepertinya dia sangat penasaran dengan jawabanku setelah kemarin aku marah-marah.

“Serahmu” jawabku malas sambil berbalik menuju bangku ku. Aku sempat melihat Ali bersemangat membuka suratku, tiba-tiba saja dia tertawa terbahak-bahak setelah membaca suratku. Bukannya jawabannya sudah jelas melihat responku kemarin? Tentu saja aku menolaknya, surat ini hanya bagian dari manner alias tata krama agar tidak tampak terlalu kurang ajar.

“Auf! Auf!” Ali akhirnya berlari menuju kelas Auf sambil berteriak kegirangan memanggilnya, pastinya Ali akan mengejek Auf yang ditolak.

Kupikir ini akan selesai sampai disini. Dia bertanya padaku, tidak puas dengan jawabanku yang tidak jelas baginya, dan akhirnya aku sudah menjawabnya dengan jelas dan terang, walau tidak sesuai harapannya yang terpenting aku sudah memberinya jawaban jelas. Bukannya berhenti sampai disitu yang ada makin parah saja. Entah darimana orang-orang tahu tentangku dan dia, yang awalnya hanya beberapa saja yang tahu, menjadi satu sekolah yang tahu. Sudah bisa ditebak kalau mereka pikir aku sudah benar-benar memiliki status dengannya, pada titik ini aku mulai berpikir sepertinya reaksiku terhadapnya memang salah sampai membuat semua orang salah paham.

Semua makin gencar mencocokkan kami berdua, bukannya menjadi suka, yang ada aku menjadi benci sekali padanya. Dia juga adalah orang yang sangat sangat keras kepala, walau sudah ditolak dia tetap mendekat, bahkan secara terang-terangan. Tentu aku sangat risih, dan hal itu menambah kebencianku padanya.

Bukanlah sebuah dosa jika jatuh hati bukan? Kita tak bisa memilih ingin jatuh hati pada siapa. Aku juga tahu hal itu, akan tetapi entah mengapa aku selalu menganggap kesalahan ada padanya yang menyukaiku. Semua emosi negatifku keluar, seperti marah dan kesal, semua penyebabnya adalah dia. Semua emosi negatif yang kukatakan bukan hanya sampai marah dan kesal saja, tetapi sampai di titik aku sedih juga takut padanya.

Bagaimana aku sudah tidak kuat menahan semua emosi itu dan aku mulai bercerita pada Lina. Lina bilang dia paham kalau aku risih dan tidak suka, tapi hanya sebatas itu. Lina tidak banyak mengenal orang, bahkan objek yang aku ceritakan saja dia tidak mengenalnya. Disanalah aku mulai banyak berbicara dengan Dila, teman sekamar Lina yang sekelas denganku. Karena kejadianku menjadi gosip kelas tentunya Dila tahu dengan apa dan siapa yang kubicarakan. Aku lebih memilih lebih banyak bercerita dengan Dila daripada Lina, dia lebih mengerti dan tahu dengan keadaanku, dia juga sekelas denganku, jadi aku bisa dengan bebas bercerita dengannya.

“Lysa!” pagi itu Auf datang ke kelasku untuk bertemu Ali, padahal dia hanya ingin bertemu Ali. Tapi kenapa dia memanggilku dan berjalan menuju ke bangku ku. Aku tak mendengarkan apa yang dia katakan, perhatianku hanya tertuju pada kedua tangannya yang menyentuh tepi mejaku.

“Bisa pergi tidak? Minta tolong balek ke kelasmu” aku mengatakan itu dengan napas tertahan untuk menahan amarah, sorot mataku juga sepertinya sudah cukup menjadi peringatan baginya. Dengan perlahan dia mengangkat tangannya dari mejaku.

“Maaf Lysa” setelah selesai meminta maaf dia langsung keluar menuju kelasnya. Segera setelah dia pergi, aku menghemuskan napas dengan suara paling keras yang memenuhi seisi kelas. Teman-teman sekelasku hanya menatap atau melirik sebentar padaku dan kembali melanjutkan aktivitas masing-masing.

“Gina!” tiba-tiba aku bangkit dari bangkuku dan menghampiri meja Gina yang duduknya di depanku sambil tersenyum.

“Apa Lysa?” Gina bertanya padaku, matanya masih tetap terpaku pada laptopnya.

“Tukeran meja dong” aku mengatakannya dengan nada bicara agak memelas.

“Mejamu emang kenapa Lysa?” tanya Gina lagi.

“Gak kenapa-napa kok, cuman agak kotor. Kelihatannya bagusan punyamu deh Gin” kataku berusaha mencari alasan.

“Ya sudah, terserah kamu. Tapi kamu sendiri yang tuker ya” akhirnya Gina mengalah padaku dan merapikan tas juga laptopnya.

“Okeeeyy” aku senang karena Gina mau mengalah padaku, agak egois memang tapi begitulah aku jika sudah tidak suka, maka tidak pernah setengah-setengah, walau kata orang-orang kalau reaksiku ini terlalu berlebihan. Aku tidak peduli, karena inilah aku, jika hitam maka hitam, jika putih maka putih, tak ada abu-abu pada kehidupanku. Aku sangat tidak menyukai ketidak jelasan, tapi beda konteksnya jika masalah aku yang sebenarnya ingin berkata tidak tapi hanya karena memikirkan perasaannya aku menjawab abu-abu, bukan putih.      

Entah mengapa masalah gosip ini semakin menyebar luas dan makin parah saja. Semua sampai di tahap paling parah, semua perkataan mereka yang sebenarnya hanya candaan seketika berubah menjadi ejekan di pikiranku. Semua kata orang-orang yang mencocokkanku malah menjadi sekumpulan perkataan negatif di kepalaku, ‘Aku benci dia, dia membuat semua orang mengejekku, ini hinaan. Aku sangat sangat... Takut’.

Aku memiliki ketakutan dibenci dan dijauhi disini, padahal saat SMP jika aku memang dibenci seluruh orang maka aku tak akan peduli, walau harus sendirian tidak apa-apa, yang penting aku tidak bersama orang-orang yang tidak menyukaiku. Kenapa saat SMA ini aku merasa tidak bisa jika sendirian, tak akan bisa bertahan hidup jika tidak memiliki banyak orang di sekitarku. Akhirnya bercerita pada Dila adalah satu-satunya jalan solusiku.      

“Gimana ni Dil, aku takut” sudah sekitar 15 menit lalu aku menuju kamar Dila dan menangis di sampingnya.

“Dah lah Sya, kamu bodo amat aja. Jangan dipikirin kata mereka yang gak ngerti sama kamu” ucap Dlia sambil mengelus punggungku.

“Tapi.. tapi Dil, ini sama kayak dulu. Gimana kalau mereka semua benci aku, semua orang mengejekku” ucapku sambil menangis kembali di pelukan Dila.

“Mereka gak benci kamu Sya, tenang dulu dong” kembali Dila menenangkanku yang gemetar ketakutan. Aku kembali terdiam menangis gemetar sambil menutup telingaku. Ini belumlah puncaknya, puncaknya terjadi keesokan harinya saat di sekolah.

Hari ini kelasku mendapat banyak jam kosong. Semua melakukan aktivitas normal, seperti belanja, berbincang-bincang, bermain laptop, dan sebagainya. Semua normal kecuali aku, aku menuju pojok kelas sambil membawa laptop dan headphoneku. Aku tidak membuka apapun selain musik di laptopku, sudah berhari-hari aku takut membuka IG, aku tak ingin melihat inbox ku yang masih memiliki chat dengannya. Aku takut saat membuka IG aku menemukan chat dia yang meminta maaf lagi, semua permintaan maafnya tidak pernah membuatku membaik sama sekali.

“Jangan mojok mulu Sya, ga baik” Dila yang habis belanja di kantin berjalan menghampiriku, dia duduk di depanku.

“Ga ngopsis?” tanya Dila padaku. Responku hanya terdiam melihat layar laptopku yang kosong. Dila yang mengerti hanya terdiam sambil menikmati jajanan yang dia beli. Tiba-tiba aku menekan telingaku yang tertutup handphone dan menangis keras.

“Lysa kamu kenapa?!” Dila panik, dia langsung memelukku.

“Dila, suara mereka kedengaran” kataku sambil kembali menangis keras.

“Suara apa Sya?!” tanya Dila dengan nada yang panik dan khawatir. Bukannya menjawab aku malah menangis di rok Dila yang sedang duduk bersila agar suaraku tidak begitu keras. Dila ingin menarik headphone di telingaku, tapi aku tidak mengizinkannya dan malah semakin menahannya. Untung saja sampai akhir tak ada guru yang masuk ke kelasku.

Mataku menjadi sangat sembab, jilbabku juga berantakan. Dila mengantarku sampai kamarku, saat masuk kamar aku tidak bicara sama sekali.

“Lysa kamu kenapa?!” tanya kak Bina padaku, teman kamarku yang lain hanya diam, tidak berani bertanya.

“Dahlah Bin, biarin dia sendiri dulu” kata kak Yuna membantuku dengan memberiku ruang sendiri. Selama itu aku tidak pernah berbicara, hanya terdiam di kasur. Sekali-kali menendang terali ranjang atau menangis, tapi akhirnya kembali diam. Saat sudah sore aku turun dari ranjangku yang berada di atas, aku menuju kamar pembina asrama untuk menelpon mamaku.

“Permisi, boleh saya pinjam HP asramanya?” tanyaku sopan sambil berusaha tersenyum, aku harus tetap memakai topeng tersenyum agar tidak ditanyai.

“Oh ada, ini. Langsung dikembalikan ya Lysa” ucap pembina asramaku lembut. Aku hanya mengangguk dan mengambil HP jadul keluaran tahun 1900`an itu. Aku memilih untuk menelpon di ruangan CCTV asrama agar tidak didengar orang lain.

Tuuut... tuut, suara nada tunggu memenuhi ruangan kecil itu. Aku hanya diam berusaha menahan tangisku, tidak lucu jika aku belum bicara apa-apa aku sudah menangis sesenggukan.

Halo assalamu `alaikum” akhirnya mama mengangkat.

“Waalaikum salam mama” suaraku serak menjawab salam mamaku, sepertinya aku sudah tidak kuat lagi.

Sya? Kenapa nak?” mendengar suara mamaku di sebrang air mataku sudah tidak bisa ditahan lagi, tumpah semua.

Sya kamu nangis nak? Kenapa?” aku sungguh menyesal membuat mamaku khawatir seperti ini, akan tetapi jika tidak seperti ini aku tidak akan bisa bertahan lagi.

“Mama aku mau pulang, bawa ke doter jiwa, atau psikolog, serah dah yang penting bawa aku pulang” aku bicara dengan air mata yang sudah banjir memenuhi wajah dan jilbabku.

Gimana cara mama bawa kamu pulang nak? Dimana mama minta izinnya?” tanya mamaku, dia sungguh khawatir padaku.

“Gak tau juga ma, tanya wali kelasku atau siapalah. Yang penting aku mau pulang dulu ma” karena aku baru saja masuk jadi masih belum tahu mekanisme keluar asrama. Dimana kita meminta izin, atau melapor alasan pulang.

Ya sudah mama tanya pak gurunya dulu, tunggu aja ya nak” kata mamaku menenangkan, aku kembali menangis setelah mendengar itu.

Lysa diam! Jangan menangis lagi, kamu bukan anak yang cengeng Lysa. Kamu sudah SMA, jadi harus kuat” walau terdengar agak membentak, tapi memang begitulah cara orang tuaku menenangkan anaknya. Akhirnya aku terdiam dan hanya tersisa sesenggukan saja.

Ya sudah mama tanya dulu sekarang. Assalamu `alaikum” begitu kata mamaku, mengakhiri percakapan kita.

“Iya waalaikum salam” setelah menjawab mama aku menutup telepon. Sebelum keluar dari ruang CCTV aku menutup lama wajahku dan kembali membukanya dengan senyuman penuh tipuan. Akhirnya aku keluar mengembalikan HP yang kupinjam dan kembali ke kamar, tepatnya ke ranjangku.

Untungnya aku tidak perlu pergi untuk sholat berjamaah, karena memang sedang waktunya kedatangan tamu bulanan spesial, tapi syukur juga aku tidak sendirian di kamar, ada kak Bina yang sedang kedatangan tamu juga. Waktu sudah menunjukkan waktu sholat magrib, saat magrib kita memiliki kegiatan setor halafan al-qur`an, kecuali bagi yang halangan.

Saat semua orang sudah pergi untuk shalat berjamaah aku bangkit dari ranjangku, aku melihat sekitar kamar yang seharusnya berisi 5 orang hanya tersisa 2, aku dan kak Bina. Aku lihat kak Bina sedang sibuk bermain laptop di kasurnya menggunakan earphone. Segera aku turun dari ranjangku dan menuju fitting room dalam kamar, setiap kamar di asrama lama memiliki kamar mandi pribadi sekaligus fitting room yang memiliki cermin besar yang menunjukkan seluruh tubuh dalam kamar. Aku terdiam melihat pantulan bayanganku di cermin, aku mengelus rambutku yang sudah di bawah pundak. Selama ini aku tidak pernah punya rambut panjang kecuali saat SD kelas 1, sisanya rambutku selalu dijaga agar tetap pendek oleh mamaku. Tapi sekarang mama sudah mengizinkanku memanjangkan rambut, katanya aku sudah bisa merawat ramutku sendiri.

“Sayang sih” kataku yang masih terdiam melihat pantulan bayanganku di cermin. Setelah sekian menit terdiam akhirnya aku berjalan menuju mejaku dan mengamil ikat rambut juga gunting, aku mengikat rambutku dan memotongnya menjadi pendek se-leher. Setelah selesai memotong rambut aku menuju belakang pintu tempat sapu berada.

“Kamu motong rambut Lysa?!” kak Bina sangat terkejut melihatku yang entah kapan turun dari ranjang dan tahu-tahu sudah berambut pendek.

“Kak Bina sih daritadi liatin laptop mulu sampai ndak sadar saya potong rambut daritadi depan kamar mandi” cara bicaraku sudah kembali menjadi normal.

“Gak gak, sejak kapan kamu...” belum selesai kak Bina bicara aku segera memotongnya agar tidak bertanya macam-macam lagi.

“Nonton apa daritadi, drakor baru?” tanyaku sambil duduk di tepi kasurnya, kak Bina yang mengerti hanya meladeni pertanyaanku tentang drakor. Seharusnya setelah isya kami memiliki kegiatan kajian bersama kecuali malam minggu, tapi malam ini para pembina asrama putra dan putri sedang rapat dan kajian diliburkan. Bayangkan betapa kagetnya teman kamarku melihat tampilan baruku.

“Kamu potong rambut Sya?” tanya Ona, salah satu teman kamarku.

“Ya” jawabku sambil tersenyum. Saat kak Yuna masuk dia mengomentari rambutku.

“Siapa yang potongin?” tanya kaka Yuna.

“Potong sendiri” kataku sambil tertawa kecil.

“Alah pantesan gak rapi banget belakangnya” responku hanya tawa ringan, aku tidak bisa bilang kalau keputusan ini juga sangat tiba-tiba, semua hanya agar aku bisa bicara dengan teman-temanku lagi.

Keesokan harinya saat di sekolah aku bilang ke Dila kalau aku sudah potong rambut biar kepalaku ringan, Dila hanya tersenyum senang menanggapiku, Dila pikir aku sudah kembali seperti biasa. Aku juga berpikir begitu, akan tetapi tidak sampai jam pelajaran kedua. Jam itu adalah jam matematika wajib di kelasku, dan pak guru membegi kita dalam beberapa kelompok. Aku dengan tenang menuju kelompokku sambil membawa buku, laptop, dan tidak lupa headphone juga. Disaat teman sekelompokku berdiskusi aku terdiam sambil memakai handphone.

Kembali lagi, tiba-tiba saja suara-suara dari masa lalu itu kembali lagi terngiang di telingaku. Tambahan lagi dengan suara-suara ejekan memuakkan dari masa sekarang, semua terdengar di telingaku. Aku menambah volume laptopku sampai maksimal, akan tetapi suara itu masih saja terdengar, walau sudah aku menahan headphone ku agar tak ada suara yang masuk, tapi suara orang-orang tetap terdengar olehku. Tanpa sadar aku mengeluarkan air mata dan  berteriak.

“DILA! SUARANYA MASIH KEDENGERAN DIL” saat aku mulai menangis Dila sudah siap memelukku di sampngku, semua teman kelasku kaget, panik, dan takut melihatku, mereka mengira aku kesurupan.

“Coba panggilkan pembina asrama kalian di kantin!” guru matematikaku berteriak menyuruh salah satu teman kelompokku berlari menuju kantin.

“Saya gak kesurupan pak guru! CUMAN SUARA MEREKA AJA YANG MASIH KEDENGARAN” saat itu kesadaranku masih sangat utuh. Tentu saja, aku bukan kesurupan.

“Dila tarik headphonenya!” kata pak guru menyuruh Dila, segera aku makin menahan tanganku.

“Gak mau Dil, entar suaranya makin kedengaran. SAYA TAKUT!” setelah aku bicara begitu pembina asramaku datang menenangkanku. Singkatnya, semua menjadi heboh seketika, aku diawa menuju beruga depan kantin bersama Dila. Kami disuruh bercerita, aku yang tidak sanggup bercerita akhirnya diwakilkan oleh Dila.

Aku memiliki trauma masa TK yang berat. Percaya ata tidak saat TK aku terkena pembullyan oleh teman sekelasku yang baru saja pindah, entah apa yang dikatakannya akan dipercaya oleh semua. Dia pernah membuat semua anak laki-laki menggangguku, mendorongku keluar dari antrian kantin, memukul tanganku yang waktu itu sedang membawa makanan hingga makanan yang belum selesai aku makan itu terjatuh, dia membuatku membersihkan sisanya. Selalu saat aku melaporkannya kepada bu guru maka hanya akan dianggap candaan anak kecil semata, dan waktu itu aku yang sangat penakut tak pernah memiliki keberanian melaporkannya ke orang tuaku sampai sekarang aku masuk di bangku SMA.

Lagipula kejadiannya sudah bertahun-tahun lalu, aku pikir sudah tak ada gunanya jika menceritakannya kepadanya orang tuaku. Tapi lihat sekarang, aku ketakutan jika orang-orang mencocokkanku, aku menyamakannya dengan ejekan bullying masa TK ku. Memang sudah lama, akan tetapi kejadian itu begitu membekas padaku, walau aku sudah tidak pernah bertemu dengan ‘mereka’ para pelaku pembullyanku.

Kembali ke masa kini, setelah Dila membantuku menceritakannya pada pembina asrama, wali kelas dan guru asuhku datang. Pembina asrama membantu menceritakan kronologi kejadiannya pada mereka berdua, setelah mengerti akar permasalahannya aku dibawa menuju ruang BK untuk menghadap guru BK. Saat aku di ruang BK tidak terlalu membantuku, aku masih tetap tidak tenang, resah, sedih, dan takut. Guru BK yang menanganiku akhirnya memerikanku izin untuk pulang ke rumah agar bisa konsultasi dengan psikolog luar.

Saat aku berkonsultasi dengan psikolog yang ternyata dulunya adalah kepala sekolah SD ku, beliau memberitahuku bahwa yang kukira ejekan itu bukanlah ejekan sebenarnya. Itu hanyalah perakataan biasa dari teman-temanku, itu adalah respon normal orang-orang. Ada satu perkataan beliau yang sangat tepat menusuk hatiku, katanya

Kalau alasanmu masih karena terikat kenangan masa lalu yang sudah bertahun-tahun berlalu, itu berarti kamu masih BELUM DEWASA. Biarkan saja kejadian itu berlalu jika benar kamu ingin beranjak dewasa, bisa saja fisikmu berkembang, tetapi mentalmu hanyalah sebatas mental anak TK!

Aku merenungkan perkataan pertakaan beliau sampai sekarang, aku harus berdamai dengan masa lalu jika memang ingin beranjak dewasa. Biarkan kenangan itu menjadikanku lebih dewasa bukan malah menjebakku untuk tetap berada di masa lalu.

Aku membutuhkan waktu 2 hari sebelum akhirnya bisa kembali lagi ke asrama, sekarang aku sedang belajar bagaimana menyikapi segala sesuatu dengan dewasa. Walau terkadag masih terbayang rasa takut itu, akan tetapi aku menjadikannya sebagai pelajaran hidup yang paling tak bisa terlupakan. Dan untuk keadaanku dengan Auf, jujur aku masih merasa agak takut dengannya, akan tetapi kami baik-baik saja walau sepertinya harus menjadi orang asing satu sama lain.      

 

 

 

 

Postingan populer dari blog ini

Teks Ceramah

 A. Definisi dan Ciri-Ciri Ceramah     1. Definisi Ceramah          Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ceramah adalah pidato oleh seseorang di hadapan banyak pendengar mengenai suatu hal atau pengetahuan. Ceramah juga berarti penuturan bahan pembelajaran secara lisan. Ceramah merupakan pidato yang bertujuan untuk memberikan nasihat dan petunjuk mengenai suatu permasalahan kepada audiensi yang bertindak sebagai pendengar. Secara umum, ceramah mempunyai pengertian tentang suatu kegiatan berbicara di depan umum dalam situasi tertentu untuk tujuan tertentu dan kepada pendengar tertentu.         Pada dasarnya, pidato, ceramah, dan khotbah memiliki persamaan, yakni pengungkapan pikiran di hadapan banyak orang. Namun, dalam pelaksanaannya, antara pidato, ceramah, dan khotbah memiliki perbedaan. Pidato sering kita ikuti dalam acara-acara resmi, misalnya seminar, rafat pleno,. Ceramah diadakan untuk acara-acara tert...

Teks Laporah Hasil Observasi

            Sebuah laporan hasil observasi dapat disajikan dalam bentuk teks tertulis maupun teks lisan. Kamu sering melakukan observasi atau pengamatan, tetapi belum memahami cara menyusun teks laporannya dengan baik. Untuk itu, kamu perlu memerhatikan penyusunan laporan hasil observasi yang kamu dengar atau kamu baca dari media televisi, koran, majalah, atau internet. A. Pengertian, Ciri-Ciri, Sifat, dan Contoh Teks Laporan Hasil Observasi 1. Pengertian Teks Laporan Hasil Observasi          Teks laporan hasil observasi adalah teks yang berisi penjabaran umum mengenai sesuatu yang didasarkan pada hasil kegiatan observasi/pengamatan. Kegiatan observasi merupakan kegiatan pengumpulan data atau informasi melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat di lapangan atau lokasi. 2. Ciri-Ciri Teks Laporan Hasil Observasi     Teks laporan hasil observasi memiliki ciri-ciri yang membedakann...

ANEKDOT

A. Definisi. Ciri, dan Jenis Anekdot   1. Definisi Teks Anekdot     Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau orang terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Orang-orang penting yang diceritakan dalam anekdot bermacam-macam, seperti tokoh politik, sosial, dan agama.  Sementara itu, peristiwa yang diceritakan dalam anekdot merupakan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun seiring perkembangan zaman anekdot juga digunakan untuk menceritakan tokoh dan peristiwa fiktif.     Anekdot mengandung humor. Humor dalam anekdot dibentuk dengan kelucuan atau kekonyolan tokoh. Tindakan ataupun ucapan tokoh menimbulkan humor karena adanya peristiwa ganjil yang mendasarinya. Humor juga dapat diciptakan melalui permainan kata, makna, ataupun pelesetan terhadap suatu kata ataupun frasa.     Humor dalam anekdot bukan hanya bersifat menghibur. Bia...