Panggil aku Lysa.
Jika kalian tanya siapa aku, maka jawabannya aku hanya seorang siswi biasa dari
MAN terbaik se-NTB. Sekolahnya memang memiliki title ‘MAN terbaik’, tapi aku merasa
kalau biasa saja. Masuk ke sini adalah hal yang tidak pernah kuperhitungkan
atau kurencanakan sebelumnya, sama seperti insiden besar dalam hidupku yang
akan mengubah total sudut pandanganku.
Sebelumnya mari
sedikit kuceritakan latar belakangku. Sedari TK sampai SMA sekarang aku selalu
bersekolah di sekolah ‘islami’. TK dan SD ku satu lembaga, dan sekolahku adalah
sekolah islam yang berstatus sekolah swasta. SMP ku yang lebih tepatnya ‘pondok
pesantren moderen’ juga merupakan sekolah swasta yang menonjol akan kemampuan
bahasa dan hafalan al-Qur`an, satu-satunya pondok yang letaknya strategis di
pinggir jalan di tengah perkotaan padat. Dan sekarang aku bersekolah di SMA
‘terbaik’ se-NTB.
Luar biasa
memang, akan tetapi ada juga kekurangan dari latar pendidikanku. sedari SD
kelas 4 kelas antara putra dan putri sudah dipisah, dan untukku hal itu terjadi
sampai aku SMP. Hal itu membuatku tidak terbiasa berinteraksi dengan lawan
jenis, saat SD aku tidak pernah bisa akur jika bicara dengan lawan jenis. Dan
pada SMA ini kembali lagi kelasku digabung dengan lawan jenis, menurutku hal
ini sangat bagus, karena jika tidak entah akan separah apa aku di masa kuliah
nanti.
Semua berawal
begitu saja, dan kejadiannya mengalir begitu saja. Itu adalah masa awalku di
sekolah baru, tentu aku mencoba berbaur dengan semua, termasuk lawan jenis yang
3 tahun lamanya tak pernah kuhadapi. Tapi tanpa kuketahui usahaku untuk berbaur
itu malah membuat guncangan besar pada mentalku. Tak akan kukatakan awalnya
bagaimana, karena aku sendiri sudah lupa dengan pemicu awalnya, yang ada tahu-tahu
aku sudah dekat dengan Auf.
“Kok kamu
bertanya tentang Auf si?” Auf memang tidak sekelas denganku, jadi aku bertanya
dengan teman sekelasnya.
“Tidak, aku
taruhan dengannya. Siapa yang bisa menemukan duluan maka diberi imbalan”
jawabku antusias. Aku memang mirip anak kecil, suka dengan permainan-permainan
kecil yang seru, apalagi jika mendapat hadiah.
“Bilang aja
tertarik” jawabnya lagi.
“Agak tertarik,
soalnya penasaran” bodohnya pikiranku ini, yang aku pikirkan hanya penasaran
dengannya yang sudah menjadi teman chat selama daring sementara sebelum masuk
sekolah tatap muka.
“Liat aja besok”
begitu akhir percakapanku dengan teman sekelasnya. Aku memang tidak tahu
bagaimana batas bercanda, aku sering bercanda yang ‘agak berlebihan’ dengan
teman perempuanku, dan bodohnya aku juga begitu dengan lawan jenis.
Saat di sekolah
keesokan harinya aku menemukannya.
“Auf?” tanyaku
ke seorang yang ciri-cirinya mirip dengan yang kutahu selama ini.
“Lysa?!” dia
bicara dengan agak berteriak, sepertinya tertalu bersemangat.
“Karena saya
yang nemuin kamu duluan, kamu traktir saya es krim coklat ya!” tanpa tahu malu
apalagi basa-basi aku langsung meminta hadiah seperti anak kecil.
“Hahaha, iya
nanti saya kasih” katanya sambil tertawa. Segera aku meninggalkannya dan masuk
ke kelasku, dan benar ternyata dia membelikanku es krim saat jam istirahat.
Setelah diberikan es krim semua teman-temanku menyerangku dengan berbagai
pertanyaan penasaran, khas para pemburu gosip.
“Kamu deket sama
dia?!” tanya salah satu teman kelasku yang satu SMP dengannya.
“Kamu pacaran sama
dia?!” kembali yang lainnya bertanya padaku.
“Gak kok, saya
cuman abis minta hadiah taruhan” saya mengabaikan semua dan memilih duduk dan
menikmati es krim hadiah darinya.
Jujur aku tak
pernah terpikir bahwa kejadian itu sudah menjadi gosip terhangat ditengah-tengah
murid perempuan dan laki-laki. Aku tak begitu tertarik dengan respon orang, ‘Palingan
nanti juga hilang sendiri’, pikirku. Akan tetapi semua yang terjadi
benar-benar melenceng dari apa yang aku pikirkan. Semua makin membicarakan itu,
karena dia kembali membariku makanan, aku juga terlihat malu jika bicara
dengannya. Bukannya itu respon yang wajar bagiku? maksudku aku tidak pernah
berinteraksi dengan lawan jenis selama 3 tahun, tentu saja aku malu jika
berkomunikasi dengan lawan jenis yang baik padaku seperti ini. Semua berjalan
biasa saja, sampai di hari dia bilang jika dia suka padaku.
Aku bingung,
sudah pasti. Aku masih di keadaan dimana aku membawa ajaran pondokku yang
berkata ‘pacaran itu HARAM’. Jadi aku memberi jawaban yang labil, jika ditanya
apa aku suka dia maka jawabannya ‘Iya dan Tidak’. Tak ada alasan untuk
membencinya, begitu pula alasan untuk menyukainya. Semua perilaku yang
kutunjukkan mungkin yang membuatnya termotivasi untuk menyatakan perasaan, tapi
mau bagaimana lagi, bukannya respon itu hal yang wajar ditunjukkan bagi perempuan
yang polos akan hal-hal tentang lelaki.
Kembali lagi
kukatakan kalau semua kembali berjalan normal, aku hanya menganggapnya sebagai
angin lalu, dan aku juga dia masih berkomunikasi biasa tanpa rasa canggung,
seolah pernyataannya itu hanya perkataan biasa. Sampai dia memberiku surat,
singkatnya isi dari surat itu mengatakan bahwa dia tidak puas dengan jawaban
labilku, dia ingin meminta kejelasan.
Membaca itu
mataku membulat marah, entah kenapa aku menjadi semarah itu. Segera kurobek
kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Aku berjalan menuju teman kelasku
yang menjadi perantara suratnya, Ali.
“Kenapa bisa
dititip lewat kamu?” tanyaku dengan intonasi suara yang ditahan (walau marah
sekalipun tetap tenang agar tidak menimbulkan keributan).
“Kan Auf teman
sekamar Ali” Ryan yang disebelahnya menjawab.
“Minta tolong
bilang ke dia jangan tulis ginian lagi! Saya gak suka!” kataku marah, tapi
berusaha untuk tidak berteriak. Ali melihatku dengan tatapan takut dan hanya
mengangguk mengerti, segera aku berbalik menuju bangku ku. Saat di kamar aku
memikirkan perilakuku tadi, bukannya tidak sopan jika langsung merobek dan
membuangnya tanpa membalasnya. Jadi kuputuskan untuk menulis surat balasan
dengan bahasa yang seribu kali kupikirkan agar dia tidak kesal nantinya.
Keesokan paginya aku berjalan menuju bangku Ali dan memberinya surat itu.
“Buat dia,
bilang ini balasannya” kataku dingin sambil menyerahkan suratnya.
“Boleh saya
baca?” tanya Ali antusias, sepertinya dia sangat penasaran dengan jawabanku
setelah kemarin aku marah-marah.
“Serahmu”
jawabku malas sambil berbalik menuju bangku ku. Aku sempat melihat Ali
bersemangat membuka suratku, tiba-tiba saja dia tertawa terbahak-bahak setelah
membaca suratku. Bukannya jawabannya sudah jelas melihat responku kemarin? Tentu
saja aku menolaknya, surat ini hanya bagian dari manner alias tata krama
agar tidak tampak terlalu kurang ajar.
“Auf! Auf!” Ali
akhirnya berlari menuju kelas Auf sambil berteriak kegirangan memanggilnya,
pastinya Ali akan mengejek Auf yang ditolak.
Kupikir ini akan
selesai sampai disini. Dia bertanya padaku, tidak puas dengan jawabanku yang
tidak jelas baginya, dan akhirnya aku sudah menjawabnya dengan jelas dan
terang, walau tidak sesuai harapannya yang terpenting aku sudah memberinya
jawaban jelas. Bukannya berhenti sampai disitu yang ada makin parah saja. Entah
darimana orang-orang tahu tentangku dan dia, yang awalnya hanya beberapa saja
yang tahu, menjadi satu sekolah yang tahu. Sudah bisa ditebak kalau mereka
pikir aku sudah benar-benar memiliki status dengannya, pada titik ini aku mulai
berpikir sepertinya reaksiku terhadapnya memang salah sampai membuat semua orang
salah paham.
Semua makin
gencar mencocokkan kami berdua, bukannya menjadi suka, yang ada aku menjadi
benci sekali padanya. Dia juga adalah orang yang sangat sangat keras kepala,
walau sudah ditolak dia tetap mendekat, bahkan secara terang-terangan. Tentu aku
sangat risih, dan hal itu menambah kebencianku padanya.
Bukanlah sebuah
dosa jika jatuh hati bukan? Kita tak bisa memilih ingin jatuh hati pada siapa.
Aku juga tahu hal itu, akan tetapi entah mengapa aku selalu menganggap
kesalahan ada padanya yang menyukaiku. Semua emosi negatifku keluar, seperti
marah dan kesal, semua penyebabnya adalah dia. Semua emosi negatif yang
kukatakan bukan hanya sampai marah dan kesal saja, tetapi sampai di titik aku
sedih juga takut padanya.
Bagaimana aku
sudah tidak kuat menahan semua emosi itu dan aku mulai bercerita pada Lina.
Lina bilang dia paham kalau aku risih dan tidak suka, tapi hanya sebatas itu.
Lina tidak banyak mengenal orang, bahkan objek yang aku ceritakan saja dia
tidak mengenalnya. Disanalah aku mulai banyak berbicara dengan Dila, teman
sekamar Lina yang sekelas denganku. Karena kejadianku menjadi gosip kelas
tentunya Dila tahu dengan apa dan siapa yang kubicarakan. Aku lebih memilih
lebih banyak bercerita dengan Dila daripada Lina, dia lebih mengerti dan tahu
dengan keadaanku, dia juga sekelas denganku, jadi aku bisa dengan bebas
bercerita dengannya.
“Lysa!” pagi itu
Auf datang ke kelasku untuk bertemu Ali, padahal dia hanya ingin bertemu Ali.
Tapi kenapa dia memanggilku dan berjalan menuju ke bangku ku. Aku tak
mendengarkan apa yang dia katakan, perhatianku hanya tertuju pada kedua
tangannya yang menyentuh tepi mejaku.
“Bisa pergi
tidak? Minta tolong balek ke kelasmu” aku mengatakan itu dengan napas tertahan
untuk menahan amarah, sorot mataku juga sepertinya sudah cukup menjadi
peringatan baginya. Dengan perlahan dia mengangkat tangannya dari mejaku.
“Maaf Lysa”
setelah selesai meminta maaf dia langsung keluar menuju kelasnya. Segera
setelah dia pergi, aku menghemuskan napas dengan suara paling keras yang
memenuhi seisi kelas. Teman-teman sekelasku hanya menatap atau melirik sebentar
padaku dan kembali melanjutkan aktivitas masing-masing.
“Gina!”
tiba-tiba aku bangkit dari bangkuku dan menghampiri meja Gina yang duduknya di
depanku sambil tersenyum.
“Apa Lysa?” Gina
bertanya padaku, matanya masih tetap terpaku pada laptopnya.
“Tukeran meja
dong” aku mengatakannya dengan nada bicara agak memelas.
“Mejamu emang
kenapa Lysa?” tanya Gina lagi.
“Gak kenapa-napa
kok, cuman agak kotor. Kelihatannya bagusan punyamu deh Gin” kataku berusaha
mencari alasan.
“Ya sudah,
terserah kamu. Tapi kamu sendiri yang tuker ya” akhirnya Gina mengalah padaku
dan merapikan tas juga laptopnya.
“Okeeeyy” aku
senang karena Gina mau mengalah padaku, agak egois memang tapi begitulah aku
jika sudah tidak suka, maka tidak pernah setengah-setengah, walau kata
orang-orang kalau reaksiku ini terlalu berlebihan. Aku tidak peduli, karena
inilah aku, jika hitam maka hitam, jika putih maka putih, tak ada abu-abu pada
kehidupanku. Aku sangat tidak menyukai ketidak jelasan, tapi beda konteksnya
jika masalah aku yang sebenarnya ingin berkata tidak tapi hanya karena
memikirkan perasaannya aku menjawab abu-abu, bukan putih.
Entah mengapa
masalah gosip ini semakin menyebar luas dan makin parah saja. Semua sampai di
tahap paling parah, semua perkataan mereka yang sebenarnya hanya candaan
seketika berubah menjadi ejekan di pikiranku. Semua kata orang-orang yang mencocokkanku
malah menjadi sekumpulan perkataan negatif di kepalaku, ‘Aku benci dia, dia
membuat semua orang mengejekku, ini hinaan. Aku sangat sangat... Takut’.
Aku memiliki
ketakutan dibenci dan dijauhi disini, padahal saat SMP jika aku memang dibenci
seluruh orang maka aku tak akan peduli, walau harus sendirian tidak apa-apa,
yang penting aku tidak bersama orang-orang yang tidak menyukaiku. Kenapa saat
SMA ini aku merasa tidak bisa jika sendirian, tak akan bisa bertahan hidup jika
tidak memiliki banyak orang di sekitarku. Akhirnya bercerita pada Dila adalah
satu-satunya jalan solusiku.
“Gimana ni Dil,
aku takut” sudah sekitar 15 menit lalu aku menuju kamar Dila dan menangis di
sampingnya.
“Dah lah Sya,
kamu bodo amat aja. Jangan dipikirin kata mereka yang gak ngerti sama kamu”
ucap Dlia sambil mengelus punggungku.
“Tapi.. tapi
Dil, ini sama kayak dulu. Gimana kalau mereka semua benci aku, semua orang
mengejekku” ucapku sambil menangis kembali di pelukan Dila.
“Mereka gak
benci kamu Sya, tenang dulu dong” kembali Dila menenangkanku yang gemetar
ketakutan. Aku kembali terdiam menangis gemetar sambil menutup telingaku. Ini
belumlah puncaknya, puncaknya terjadi keesokan harinya saat di sekolah.
Hari ini kelasku
mendapat banyak jam kosong. Semua melakukan aktivitas normal, seperti belanja,
berbincang-bincang, bermain laptop, dan sebagainya. Semua normal kecuali aku,
aku menuju pojok kelas sambil membawa laptop dan headphoneku. Aku tidak
membuka apapun selain musik di laptopku, sudah berhari-hari aku takut membuka
IG, aku tak ingin melihat inbox ku yang masih memiliki chat dengannya.
Aku takut saat membuka IG aku menemukan chat dia yang meminta maaf lagi, semua
permintaan maafnya tidak pernah membuatku membaik sama sekali.
“Jangan mojok
mulu Sya, ga baik” Dila yang habis belanja di kantin berjalan menghampiriku,
dia duduk di depanku.
“Ga ngopsis?”
tanya Dila padaku. Responku hanya terdiam melihat layar laptopku yang kosong.
Dila yang mengerti hanya terdiam sambil menikmati jajanan yang dia beli.
Tiba-tiba aku menekan telingaku yang tertutup handphone dan menangis
keras.
“Lysa kamu
kenapa?!” Dila panik, dia langsung memelukku.
“Dila, suara
mereka kedengaran” kataku sambil kembali menangis keras.
“Suara apa
Sya?!” tanya Dila dengan nada yang panik dan khawatir. Bukannya menjawab aku
malah menangis di rok Dila yang sedang duduk bersila agar suaraku tidak begitu
keras. Dila ingin menarik headphone di telingaku, tapi aku tidak
mengizinkannya dan malah semakin menahannya. Untung saja sampai akhir tak ada
guru yang masuk ke kelasku.
Mataku menjadi
sangat sembab, jilbabku juga berantakan. Dila mengantarku sampai kamarku, saat
masuk kamar aku tidak bicara sama sekali.
“Lysa kamu
kenapa?!” tanya kak Bina padaku, teman kamarku yang lain hanya diam, tidak
berani bertanya.
“Dahlah Bin,
biarin dia sendiri dulu” kata kak Yuna membantuku dengan memberiku ruang
sendiri. Selama itu aku tidak pernah berbicara, hanya terdiam di kasur.
Sekali-kali menendang terali ranjang atau menangis, tapi akhirnya kembali diam.
Saat sudah sore aku turun dari ranjangku yang berada di atas, aku menuju kamar
pembina asrama untuk menelpon mamaku.
“Permisi, boleh
saya pinjam HP asramanya?” tanyaku sopan sambil berusaha tersenyum, aku harus
tetap memakai topeng tersenyum agar tidak ditanyai.
“Oh ada, ini.
Langsung dikembalikan ya Lysa” ucap pembina asramaku lembut. Aku hanya
mengangguk dan mengambil HP jadul keluaran tahun 1900`an itu. Aku memilih untuk
menelpon di ruangan CCTV asrama agar tidak didengar orang lain.
Tuuut... tuut,
suara nada tunggu memenuhi ruangan kecil itu. Aku hanya diam berusaha menahan
tangisku, tidak lucu jika aku belum bicara apa-apa aku sudah menangis
sesenggukan.
“Halo
assalamu `alaikum” akhirnya mama mengangkat.
“Waalaikum salam
mama” suaraku serak menjawab salam mamaku, sepertinya aku sudah tidak kuat
lagi.
“Sya? Kenapa
nak?” mendengar suara mamaku di sebrang air mataku sudah tidak bisa ditahan
lagi, tumpah semua.
“Sya kamu
nangis nak? Kenapa?” aku sungguh menyesal membuat mamaku khawatir seperti
ini, akan tetapi jika tidak seperti ini aku tidak akan bisa bertahan lagi.
“Mama aku mau
pulang, bawa ke doter jiwa, atau psikolog, serah dah yang penting bawa aku
pulang” aku bicara dengan air mata yang sudah banjir memenuhi wajah dan
jilbabku.
“Gimana cara
mama bawa kamu pulang nak? Dimana mama minta izinnya?” tanya mamaku, dia
sungguh khawatir padaku.
“Gak tau juga
ma, tanya wali kelasku atau siapalah. Yang penting aku mau pulang dulu ma” karena
aku baru saja masuk jadi masih belum tahu mekanisme keluar asrama. Dimana kita
meminta izin, atau melapor alasan pulang.
“Ya sudah
mama tanya pak gurunya dulu, tunggu aja ya nak” kata mamaku menenangkan,
aku kembali menangis setelah mendengar itu.
“Lysa diam!
Jangan menangis lagi, kamu bukan anak yang cengeng Lysa. Kamu sudah SMA, jadi
harus kuat” walau terdengar agak membentak, tapi memang begitulah cara
orang tuaku menenangkan anaknya. Akhirnya aku terdiam dan hanya tersisa
sesenggukan saja.
“Ya sudah
mama tanya dulu sekarang. Assalamu `alaikum” begitu kata mamaku, mengakhiri
percakapan kita.
“Iya waalaikum
salam” setelah menjawab mama aku menutup telepon. Sebelum keluar dari ruang
CCTV aku menutup lama wajahku dan kembali membukanya dengan senyuman penuh
tipuan. Akhirnya aku keluar mengembalikan HP yang kupinjam dan kembali ke
kamar, tepatnya ke ranjangku.
Untungnya aku
tidak perlu pergi untuk sholat berjamaah, karena memang sedang waktunya
kedatangan tamu bulanan spesial, tapi syukur juga aku tidak sendirian di kamar,
ada kak Bina yang sedang kedatangan tamu juga. Waktu sudah menunjukkan waktu
sholat magrib, saat magrib kita memiliki kegiatan setor halafan al-qur`an,
kecuali bagi yang halangan.
Saat semua orang
sudah pergi untuk shalat berjamaah aku bangkit dari ranjangku, aku melihat
sekitar kamar yang seharusnya berisi 5 orang hanya tersisa 2, aku dan kak Bina.
Aku lihat kak Bina sedang sibuk bermain laptop di kasurnya menggunakan earphone.
Segera aku turun dari ranjangku dan menuju fitting room dalam kamar,
setiap kamar di asrama lama memiliki kamar mandi pribadi sekaligus fitting
room yang memiliki cermin besar yang menunjukkan seluruh tubuh dalam kamar.
Aku terdiam melihat pantulan bayanganku di cermin, aku mengelus rambutku yang
sudah di bawah pundak. Selama ini aku tidak pernah punya rambut panjang kecuali
saat SD kelas 1, sisanya rambutku selalu dijaga agar tetap pendek oleh mamaku.
Tapi sekarang mama sudah mengizinkanku memanjangkan rambut, katanya aku sudah
bisa merawat ramutku sendiri.
“Sayang sih”
kataku yang masih terdiam melihat pantulan bayanganku di cermin. Setelah sekian
menit terdiam akhirnya aku berjalan menuju mejaku dan mengamil ikat rambut juga
gunting, aku mengikat rambutku dan memotongnya menjadi pendek se-leher. Setelah
selesai memotong rambut aku menuju belakang pintu tempat sapu berada.
“Kamu motong
rambut Lysa?!” kak Bina sangat terkejut melihatku yang entah kapan turun dari
ranjang dan tahu-tahu sudah berambut pendek.
“Kak Bina sih
daritadi liatin laptop mulu sampai ndak sadar saya potong rambut daritadi depan
kamar mandi” cara bicaraku sudah kembali menjadi normal.
“Gak gak, sejak
kapan kamu...” belum selesai kak Bina bicara aku segera memotongnya agar tidak
bertanya macam-macam lagi.
“Nonton apa
daritadi, drakor baru?” tanyaku sambil duduk di tepi kasurnya, kak Bina yang
mengerti hanya meladeni pertanyaanku tentang drakor. Seharusnya setelah isya
kami memiliki kegiatan kajian bersama kecuali malam minggu, tapi malam ini para
pembina asrama putra dan putri sedang rapat dan kajian diliburkan. Bayangkan betapa
kagetnya teman kamarku melihat tampilan baruku.
“Kamu potong
rambut Sya?” tanya Ona, salah satu teman kamarku.
“Ya” jawabku
sambil tersenyum. Saat kak Yuna masuk dia mengomentari rambutku.
“Siapa yang
potongin?” tanya kaka Yuna.
“Potong sendiri”
kataku sambil tertawa kecil.
“Alah pantesan
gak rapi banget belakangnya” responku hanya tawa ringan, aku tidak bisa bilang
kalau keputusan ini juga sangat tiba-tiba, semua hanya agar aku bisa bicara
dengan teman-temanku lagi.
Keesokan harinya
saat di sekolah aku bilang ke Dila kalau aku sudah potong rambut biar kepalaku
ringan, Dila hanya tersenyum senang menanggapiku, Dila pikir aku sudah kembali
seperti biasa. Aku juga berpikir begitu, akan tetapi tidak sampai jam pelajaran
kedua. Jam itu adalah jam matematika wajib di kelasku, dan pak guru membegi
kita dalam beberapa kelompok. Aku dengan tenang menuju kelompokku sambil
membawa buku, laptop, dan tidak lupa headphone juga. Disaat teman
sekelompokku berdiskusi aku terdiam sambil memakai handphone.
Kembali lagi,
tiba-tiba saja suara-suara dari masa lalu itu kembali lagi terngiang di
telingaku. Tambahan lagi dengan suara-suara ejekan memuakkan dari masa
sekarang, semua terdengar di telingaku. Aku menambah volume laptopku sampai
maksimal, akan tetapi suara itu masih saja terdengar, walau sudah aku menahan headphone
ku agar tak ada suara yang masuk, tapi suara orang-orang tetap terdengar
olehku. Tanpa sadar aku mengeluarkan air mata dan berteriak.
“DILA! SUARANYA
MASIH KEDENGERAN DIL” saat aku mulai menangis Dila sudah siap memelukku di
sampngku, semua teman kelasku kaget, panik, dan takut melihatku, mereka mengira
aku kesurupan.
“Coba panggilkan
pembina asrama kalian di kantin!” guru matematikaku berteriak menyuruh salah
satu teman kelompokku berlari menuju kantin.
“Saya gak
kesurupan pak guru! CUMAN SUARA MEREKA AJA YANG MASIH KEDENGARAN” saat itu
kesadaranku masih sangat utuh. Tentu saja, aku bukan kesurupan.
“Dila tarik headphonenya!”
kata pak guru menyuruh Dila, segera aku makin menahan tanganku.
“Gak mau Dil,
entar suaranya makin kedengaran. SAYA TAKUT!” setelah aku bicara begitu pembina
asramaku datang menenangkanku. Singkatnya, semua menjadi heboh seketika, aku
diawa menuju beruga depan kantin bersama Dila. Kami disuruh bercerita, aku yang
tidak sanggup bercerita akhirnya diwakilkan oleh Dila.
Aku memiliki
trauma masa TK yang berat. Percaya ata tidak saat TK aku terkena pembullyan
oleh teman sekelasku yang baru saja pindah, entah apa yang dikatakannya akan
dipercaya oleh semua. Dia pernah membuat semua anak laki-laki menggangguku,
mendorongku keluar dari antrian kantin, memukul tanganku yang waktu itu sedang
membawa makanan hingga makanan yang belum selesai aku makan itu terjatuh, dia
membuatku membersihkan sisanya. Selalu saat aku melaporkannya kepada bu guru
maka hanya akan dianggap candaan anak kecil semata, dan waktu itu aku yang
sangat penakut tak pernah memiliki keberanian melaporkannya ke orang tuaku
sampai sekarang aku masuk di bangku SMA.
Lagipula
kejadiannya sudah bertahun-tahun lalu, aku pikir sudah tak ada gunanya jika
menceritakannya kepadanya orang tuaku. Tapi lihat sekarang, aku ketakutan jika
orang-orang mencocokkanku, aku menyamakannya dengan ejekan bullying masa TK ku.
Memang sudah lama, akan tetapi kejadian itu begitu membekas padaku, walau aku
sudah tidak pernah bertemu dengan ‘mereka’ para pelaku pembullyanku.
Kembali ke masa
kini, setelah Dila membantuku menceritakannya pada pembina asrama, wali kelas
dan guru asuhku datang. Pembina asrama membantu menceritakan kronologi kejadiannya
pada mereka berdua, setelah mengerti akar permasalahannya aku dibawa menuju
ruang BK untuk menghadap guru BK. Saat aku di ruang BK tidak terlalu
membantuku, aku masih tetap tidak tenang, resah, sedih, dan takut. Guru BK yang
menanganiku akhirnya memerikanku izin untuk pulang ke rumah agar bisa
konsultasi dengan psikolog luar.
Saat aku
berkonsultasi dengan psikolog yang ternyata dulunya adalah kepala sekolah SD
ku, beliau memberitahuku bahwa yang kukira ejekan itu bukanlah ejekan
sebenarnya. Itu hanyalah perakataan biasa dari teman-temanku, itu adalah respon
normal orang-orang. Ada satu perkataan beliau yang sangat tepat menusuk hatiku,
katanya
“Kalau alasanmu masih karena terikat kenangan
masa lalu yang sudah bertahun-tahun berlalu, itu berarti kamu masih BELUM
DEWASA. Biarkan saja kejadian itu berlalu jika benar kamu ingin beranjak
dewasa, bisa saja fisikmu berkembang, tetapi mentalmu hanyalah sebatas mental
anak TK!”
Aku merenungkan perkataan
pertakaan beliau sampai sekarang, aku harus berdamai dengan masa lalu jika
memang ingin beranjak dewasa. Biarkan kenangan itu menjadikanku lebih dewasa
bukan malah menjebakku untuk tetap berada di masa lalu.
Aku membutuhkan waktu 2
hari sebelum akhirnya bisa kembali lagi ke asrama, sekarang aku sedang belajar
bagaimana menyikapi segala sesuatu dengan dewasa. Walau terkadag masih
terbayang rasa takut itu, akan tetapi aku menjadikannya sebagai pelajaran hidup
yang paling tak bisa terlupakan. Dan untuk keadaanku dengan Auf, jujur aku
masih merasa agak takut dengannya, akan tetapi kami baik-baik saja walau
sepertinya harus menjadi orang asing satu sama lain.