“BANGSAT!” begitulah kata yang sudah biasa
telingaku mendengarnya. Ayahku, yang seorang pejabat seringkali bertengkar
dengan ibu atau kakak tertuaku. Barangkali ini adalah kisah terpahit sepanjang
sejarah hidupku.
Saat itu aku
selalu pulang pukul sepuluh malam. Padahal setiap harinya, sekolahku
memulangkan murid-muridnya pada pukul tiga sore, namun saat pulang telat pun
tak ada satu orang yang peduli dengan keberadaanku. Namaku Nadifatun Rizky,
orang-orang biasa memanggilku Nadif. Arti dari namaku sendiri adalah kebersihan
yang membawa rizki namun aku merasa diriku kotor, lemah, dan hancur. Setiap
harinya saat ayahku pulang ke rumah (yang tak bisa lagi disebut rumah) hampir
selalu tengah malam dan selalu marah. Aku tahu ayahku mabuk-mabukan dengan
wanita jalang di luar sana, dan sasaran utamanya adalah ibuku yang sudah hampir
gila karenanya. Kakak pertamaku, mas Arif tak pernah rela ibunya menjadi gila
karena baku hantam dengan ayahnya sendiri.
Kamarku luas,
namun suasana di kamar ini sepi, tidak terlalu karena ditemani suara dari
isakanku. Tak berani aku keluar sendiri bahkan untuk makan dan bertemu sapa
dengan keluarga malangku. Kalian mau tahukah kenapa aku bisa menangis terisak?
Ayahku, tadi malam datang ke kamarku diam-diam, bau alkohol yang menusuk hidung
membuatku menahan napas dalam-dalam. Dia dengan cepat mendekapku hingga
membuatku tak bisa bernapas lagi. Aku berteriak kencang, namun tak ada yang
mendengar. Para pembantu tak berani dengan ayahku dan mas arif masih sibuk di
kantornya padahal itu sudah hampir jam satu malam. Dan malam itu menjadi malam
yang sangat mengenaskan karena ayahku adalah orang yang merebut keperawananku. Tak
habis pikir, ibuku masih ada dan dia bisa menyewa perempuan jalang manapun yang
ia mau namun, mengapa harus aku? Pertanyaan itu selalu dan selalu terngiang di kepalaku,
padahal aku adalah anak perempuan satu-satunya yang ia miliki.
Aku tetap
melanjutkan sekolahku di SMA favorit daerah dan sebetulnya aku sudah memiliki
pacar. Namanya Alfino Tristan, menurutku dia juga adalah pelindungku selain mas
Arif, sudah kuceritakan semua yang aku dapat dari ayahku kecuali kisah pahit ku
malam itu. Fino mungkin kasihan denganku namun ia juga tidak bisa membantu
banyak, hanya memberikan solusi-solusi yang tidak terlalu berguna. Malam ini
dia mengajakku untuk makan malam di salah satu hotel mewah di daerah kami.“Ma,
aku pergi sama Fino yaa.“ izinku pada ibuku yang hanya dibalas nasehat “Jangan
pulang terlalu larut“ sebetulnya tak tega hatiku meninggalkan ibuku, namun aku
pun takut pulang dan bertemu dengan ayahku setelah kejadian malam itu.
Setelah sampai
di restaurant hotel aku memasan salad tuna dan milkshake coklat. Sesaat
setelah makanannya datang seseorang memanggil namaku -terkesan meneriakiku- dan
aku familiar dengan suaranya “Nadif! Ngapain kamu di hotel ini malam-malam?
Bersama lelaki pula! Kamu mau membuat ayahmu malu?“ benar dugaanku itu adalah
suara ayahku. Tak kuperdulikan ocehannya aku mengajak Fino berganti tempat
saja. Fino pun mengajakku ke sebuah hotel lagi. Aku agak curiga dengan
sikapnya. Aku bertanya -sedikit meminta- padanya “Fin, kita ke restaurant biasa
aja yuk! Jangan di hotel, aku gaenak ini udah malem nanti temen-temen ada yang
liat.“ Fino tak menghiraukanku, dia bilang “Makanan restaurant biasa tak seenak
makanan hotel ini.” Aku pun menurutinya.
Pukul sebelas
malam dan kita berdua belum beranjak dari tempat duduk di restaurant hotel itu.
Berkali-kali aku ajak Fino untuk meninggalkan tempat itu namun kata Fino “Nanggung,
bentar lagi bar di hotel ini dibuka, minum dikit lah kita.“ Aku sangat tidak
menyukai bau alkohol dan dia tahu itu. Namun berkali-kali ia mengajakku dan aku
tak enak menolak pujaan hatiku.
Setelah Fino
membujukku akhirnya aku meminum seteguk alkohol yang tak pernah ku sentuh
selama ini. Mungkin karena dosis alkohol yang tinggi (dan aku untuk pertama
kali mencobanya) tenggorokanku panas hingga ke kepalaku, aku tak kuat hingga
aku jatuh di meja bar dihadapan Fino, pacarku. Sebenarnya aku masih sadar saat
Fino berterima kasih kepada bartender dan mengangkat ku pergi meninggalkan
lokasi bar itu, namun suara dan tubuhku tak sanggup untuk bangun dan berteriak
minta tolong, hingga aku benar-benar tak sadarkan diri.
Setelah bangun
hanya selimut putih yang menutupi tubuhku, aku melihat fino sedang memakai
celana panjangnya. Fino sadar aku sudah bangun dan ia meludahiku. Aku masih tak
paham mengapa ia begitu dan mengapa aku berada di kamar ini? Dimana pakaian
yang kupakai semalam? Pertanyaan itu masih menggantung dan belum terlontar di
mulutku. “kukira kamu berbeda dengan wanita jalang bapakmu itu, kukira kau
wanita baik-baik yang masih perawan yang berbeda dengan mantan-mantanku
sebelumnya, ternyata sama saja, sama-sama murah! Berapa kau di bayar sama
bapakmu. Hahh!?“ ucapnya kepadaku. Tak kuasa aku menahan tangis ku. Kali ini
rasanya ingin ku penggal kepalanya itu, namun aku masih pusing gejala hangoverku
belum sirna. Aku kira Fino lelaki baik yang tak akan menyentuhku kecuali saat
halal nanti. Namun, tak ada satu orangpun di dunia ini yang dapat kupercaya
lagi bahkan pada Tuhanku.
Aku
ditinggalkan di hotel itu, sendiri dalam tangis. Aku keluar dari hotel dan
mendapati ayahku yang juga baru keluar dari kamar di depan kamar hotelku,
sebelum ia melihatku aku melarikan diri menuju lift dan turun ke lobi depan.
Untungnya banyak taksi terparkir di hotel, lalu aku masuk ke salah satu argo
dan melesat menuju ibuku.
Setibaku di
rumah, aku mengetuk pintu kamar ibu dan tidak ada suara yang kudengar. Terus
kucoba hingga kudobrak pintu kamarnya. Tak kusangka ibu menggantung dirinya
sendiri. Diriku hancur sehancur-hancurnya. Ku telfon mas Arif dan setelah itu
aku tak sadarkan diri.
Setelah
sadar aku melihat mas arif yang masih saja terisak. Lalu aku menanyakan dimana
ibu sekarang, “Mama masih di masjid, dik, belum di sholatkan, masih nungguin ayah
datang.“ ketika mendengar ayahku ditunggu untuk menyolatkan ibu, aku menangis
sejadi-jadinya. Aku tak pernah menginginkan mempunyai ayah seperti ayahku yang
bisa dibilang dialah yang membunuh ibuku, namun apakah Tuhan pernah kasihan
kepadaku? Karena aku sudah muak dengan ayahku, aku pun melaporkan ayah yang
memerkosaku malam itu kepada mas arif. Mas arif marah, sangat marah. Mas arif
melaporkan ayah kepada polisi dan ayahku di tangkap setelah ibuku selesai di
kuburkan.
Ini
sudah terjadi di hidupku, kenangan pahit yang tak pernah bisa kulupakan.
Sekarang, aku tinggal dengan mas arif dan istrinya. Aku menjadi wanita malang yang
sangat malang tapi bukan berarti aku harus menghentikan sisa hidupku bukan? Dan
ya, cerita itu sudah 7 tahun yang lalu sekarang aku sudah mau menikah dengan
kekasih pilihan Tuhan padaku. Aku mulai memercayai Tuhan lagi sejak kutemukan
surat ibuku yang memintaku untuk tidak sepertinya. Langit senja tak selamanya
indah dan langit malam tak selamanya gelap selama hidupmu masih tersisa jangan
pernah tinggalkan Tuhan bahkan dalam keadaan apapun itu.