Langsung ke konten utama

DONGENG TIDUR


            Pulau Okinawa yang jauh dari peradaban maju pada abad ke-17, menjadi saksi indahnya keajaiban yang memberi kehangatan. Seorang gadis berusia 12 tahun yang imut bernama Reiko keluar dari pintu rumah ie-nya yang sederhana, dengan menggunakan geta kayu kesukaannya, sedang memandangi langit siang yang mendung kala itu. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya datang menghampiri Reiko. Wanita itu adalah Ayami-san, ibu kandung Reiko yang sudah kehilangan penglihatannya sejak suami tercintanya meninggal dunia ketika Ia masih mengandung anak semata wayangnya itu.

            “Reiko, apakah ini engkau? Ayo, masuk. Anginnya sangat kencang, Ibu merasa sebentar lagi akan turun hujan”, ucap Ayami-san.

            “Ibu, bukankah ini saat terbaik untuk bertemu denga ame no hime? Aku sangat ingin bertemu dengannya. Boleh jadi Ia dapat mempertemukanku dengan Ayah. Benar ‘kan, Ibu?” pinta Reiko.

            “Benar, Reiko. Ame no hime akan datang saat hujan, tetapi ame no hime tak akan datang jika Reiko sakit karena terkena hujan. Ayo masuk, biar Ibu saja yang menunggu ame no hime” kata Ayami-san sambil menyuruh anaknya untuk masuk rumah.

            “Baik, Bu.” lanjut Reiko.

Ame no Hime adalah salah satu sosok misterius yang banyak diceritakan di desa Reiko tinggal oleh para orang tua kepada anak-anak mereka. Dikatakan bahwa ame no hime mendengarkan setiap keinginan anak-anak kecil yang selalu menanti hujan. Selain itu, setiap kali air hujan mengenai tubuh mereka, itu artinya pada malam harinya mereka akan didatangi oleh ame no hime untuk menyatakan keinginan mereka. Selama masa kecilnya, Reiko selalu diceritakan oleh ibunya tentang ame no hime dengan harapan, Ia akan dipertemukan dengannya agar bisa kembali bertemu dengan ayah Reiko.

***

Waktu berlalu begitu cepat, Reiko yang kini mulai beranjak dewasa kini telah memiliki penghidupan yang cukup untuk dirinya dan ibunya. Ia kini mulai bekerja sebagai penjaga salah satu kuil Shinto di Okinawa. Di Jepang, penjaga kuil merupakan salah satu pekerjaan terhormat yang bisa digaji tinggi oleh rakyat setempat. Bayaran yang didapat oleh Reiko sebagai penjaga kuil sangat lebih dari cukup untuk memperbaiki rumahnya yang telah lama dimakan usia. Tetapi, pekerjaan yang ia geluti itu membuatnya berjarak begitu jauh dari ibunya. Sebagai penjaga kuil ia hanya diizinkan pulang selama setahun sekali, yaitu ketika pertengahan musim dingin.

Ibunya yang senantiasa merindukan Reiko di rumah pun mulai berusia seperti bilangan prima terbesar yang kurang dari seratus. Dulu, ia hanya kehilangan penglihatannya, sekarang pendengarannya pun mulai menurun seperti fungsi aljabar. Dulu, ia hanya kehilangan pasangan hidupnya, namun sekarang rasanya ia hampir kehilangan darah dagingnya sendiri. Ia hanya hidup dari bantuan para tetangganya yang sangat menghormatinya. Meski demikian, mulutnya masih terus menceritakan tentang ame no hime yang dulu selalu ia ceritakan kepada buah hatinya. Entah siapa yang mendengarkannya, namun hal itu membuatnya merasa selalu lebih dekat dengan Reiko. Sebelum berangkat bekerja pertama kali, Reiko mengucap salam perpisahan kepada ibunya,

“Ibu suatu saat ruang dan waktu akan mempertemukanku dengan ame no hime. Kini hujan tak akan memisahkan kami, karena aku yakin, suatu saat aku akan bersahabat dengannya. Esok aku akan membawanya ke sini dan makan okonomiyaki bersama.”

 

Rupanya, Reiko tidak bekerja sendiri di sana. Salah satu penjaga kuil yang turut bersamanya bernama Himiko. Himiko merupakan sosok yang sangat pekerja keras. Dikatakan, ia mulai mengabdi pada kuil ini sejak kuil ini dibangun. Entah kapan kuil ini ada, Reiko tidak peduli. Baru pertama kalinya, ia menjumpai wanita seperti ini. Tak lama setelah ia mulai bekerja di sana, Reiko mulai bersahabat dengan Himiko.

 

Suatu hari, ketika sedang menjaga kuil, Reiko dihampiri oleh temannya Himiko.

            “Reiko-chan, apakah kau pernah berjalan di atas awan?” ucap Himiko.

Reiko yang terkejut dengan perkataan temannya itu pun menatap Himiko sambil berkata dengan tenang,

“Aku belum pernah. Memangnya apakah kita bisa berjalan di atas awan?” balas Reiko.

Himiko tertawa kecil mendengar balasan temannya itu, kemudian berkata,

“Yang benar saja, aku pernah berjalan diatas sana berkali-kali. Kau tahu? Berdiri di atas sana terasa sangat dingin, tetapi tubuhku masih tetap merasakan hangat dibawah sinar matahari. Kau tahu? Berbaring diatas sana terasa sangat nyaman tetapi setiap kali datang hujan aku merasa terganggu oleh kerasnya suara petir sehinnga aku tidak bisa tertidur lelap. Kau tahu? Rasanya sangat basah berjalan diatas sana, tetapi aku tidak pernah sesekali meminum air di sana karena air hujan turun ke bumi bukan ke atasnya. Bagiku berada di sana seperti hidup di dalam dongeng, tapi rasanya aku ingin segera terbangun dari dongeng itu.”

Mendengar penjelasan temannya itu, lantas Reiko langsung menanyakan kepada Himiko...

“Apakah engkau tahu tentang ame no hime? Bukankah ia juga tinggal diatas awan?”

Himiko yang mendengar hal itu kemudian menjawab sambil tersenyum kecil,

“Reiko-chan, tidak ada yang namanya ame no hime. Bukankah itu hanya dongeng yang biasa diceritakan kepada anak kecil?”

“Tapi, bukankah ame no hime selalu menanti permohonan dari manusia di kala hujan turun?. Bukankah ia yang selalu mimpi semua anak-anak di saat mereka ingin merasa bahagia?. Bukankah ia yang akan mempertemukanku dengan ayahku meski hanya beberapa saat saja? Harusnya engkau menjumpainya saat berlarian di atas awan dan berjalan di bawah langit pagi” jawab Reiko yang hampir tidak percaya. Mendengar hal itu dari kawannya, Himiko hanya menggelengkan kepalanya dan berjalan pergi karena hari mulai gelap.

Reiko tidak percaya dengan perkataan temannya itu. Selama ini harapannya bertemu dengan putri hujan itu pupus seketika. Hatinya serasa dipotong-potong membentuk barisan geometri dengan rasio satu per dua. Dengan perasaan hancur, ia segera tertidur di dalam heya di kuil tersebut.

Setelah merasa tertidur begitu lama, Reiko pun terbangun dan menjadi saksi angin malam yang sunyi telah berganti menjadi langit pagi yang sejuk. Seketika Reiko pun menghirup udara pagi yang segar. Namun, hirupan nafas yang tadi masuk, seketika ia embuskan kembali ketika matanya terbelalak melihat rumahnya berada di hadapannya. Iya benar, rumah masa kecil Reiko yang dulu ia tempati dengan penuh kegembiraan bersama ibunya. Ia tidak pernah menyangka akan bisa kembali lagi kesini. Terbangun, Reiko pun mulai berjalan perlahan menuju pintu rumahnya. Tuk... Tuk... Tuk... suara langkah kaki Reiko terdengar. Ia yang selama ini merasa bermimpi mulai keheranan, bagaimana bisa ia mendengar suara langkah kaki dalam mimpi ini. Sampailah ia ke depan pintu rumahnya, ia masih bisa merasakan rapuhnya rumah yang begitu lama tidak ia tinggali itu. Tak lama kemudian, ia merasakan bahwa seseorang berjalan dari arah belakang punggungnya. Reiko merasa tak kuasa berbalik badan dan melihat sosok itu, meskipun ia sangat penasaran. Kemudian, sepasang tangan yang mulai keriput tiba-tiba menggenggam tubuhnya, lebih tepatnya memeluknya, yang membuat Reiko semakin terkejut olehnya. Ia bisa merasakan bahwa sosok tadi adalah seorang wanita. Kemudian, wanita itu berkata dengan lirih kepada Reiko.

“Aku masih bisa merasakan kehadiranmu, meskipun mataku tak bisa melihat apapun. Aku masih bisa mengikuti arahmu berjalan, meskipun pendengaranku tak bisa membantuku sepenuhnya. Aku masih tetap mencintai dan merindukanmu, meskipun telah lama dongeng tidur tak pernah ku sampaikan kepada buah hatiku satu-satunya. Reiko-chan, anakku, aku yakin ame no hime telah membawamu kesini, untuk mempertemukanku denganmu. Bukankah sudah lama engkau tidak mendengarkan ibu bercerita ‘kan, Nak. Ayo engkau pasti lelah, biar ibu...”

Belum selesai wanita itu menyampaikan kata-katanya, Reiko mendorong wanita itu ke belakang dan berkata,

“Cukup, ibu!. Tidak lagi aku bisa mempercayai semua dongengmu. Ame no hime? Bukankah itu hanya dongeng anak kecil. Sudah bertahun-tahun aku berharap padanya karenamu dan kini karenamu juga harapan itu hancur seketika. Tidak mungkin lagi aku bisa bertemu dengan ayahku. Tinggalkan aku sendiri!”.

Ibunya menjawab, “Reiko-chan, ame no hime itu sungguhan. Bukankah itu sebabnya kita dipertemukan. Engkau tidak tahu bagaimana aku begitu merindukanmu. Apakah engkau marah hanya karena putri hujan itu? ”

Reiko berlari keluar dari rumah itu, dikejar oleh ibunya di belakang. Ternyata, seketika cuaca diluar telah berubah menjadi hujan. Reiko yang kini kehilangan arah berlari entah ke arah mana. Bukankah tadi ia sedange bermimpi? Sepertinya tidak. Bagaimana mungkin ia bisa merasakan rintisan air hujan yang ingin ia rasakan dulu sewaktu kecil. Dalam waktu sekejap, Reiko kemudian tersadar bahwa selama ini ia tidak sedang bermimpi, Ia benar-benar berada di desa tempatnya tinggal dulu. Tak hanya itu, ia juga menoleh ke arah belakang. Ternyata sosok ibu yang selalu mendongengkannya dulu kini telah hilang ditelan kabut. Ia kemudian berbalik arah dan berlari kebelakang, kini dia berada di tengah antah berantah, menyesali apa yang telah ia lakukan sebelumnya. Di bawah derasnya hujan, ia duduk bersimpuh sambil memandang langit meratapi nasibnya kemudian berteriak,

“WAHAI SANG PUTRI HUJAN, APAKAH ENGKAU BENAR-BENAR ADA? BELASAN TAHUN AKU MENGHARAPKAN KEHADIRANMU, JIKA MEMANG AKU TIDAK BISA BERTEMU DENGAN DI KALA HUJAN DI BAWAH LANGIT INI, BIARLAH AKU MELIHATMU DARI ALAM DI ATAS AWAN”.

Di tengah kuatnya tumpahan air hujan, sesosok gadis jelita bergaun putih datang menghampiri Reiko di hadapannya. Tanpa ragu-ragu, Reiko langsung menegadahkan kepalanya ke arah perempuan itu. Sekilas ia mengenali tampang dari wanita itu. Ya, dia adalah Himiko, seseorang teman yang membersamainya saat menjaga kuil Shinto. Ia pula yang telah mengungkap kebenaran dari keberadaan ame no hime yang malah membuatnya menolak ibunya menyatakan kebenaran. Tak perlu basa-basi ia langsung menanyakan wanita itu,

“Himiko, bagaimana bisa engkau berdiri di depanku saat ini? Bukankah aku telah memanggil ame no hime?”.

Sejenak mereka terdiam, kemudian Himiko menjawab sahabatnya itu,

            “Reiko-chan, apa kau masih ingat dengan berjalan di atas awan? Aku yang selalu berjalan, berbaring, dan berlarian di sana. Karena selama ini, akulah ame no hime yang selalu kau dengar ceritanya. Aku sengaja tidak mengungkapkannya, agar engkau terus menjadi temanku sebagai manusia. Aku sangat ingin mendengar segala permintaanmu sebagai seorang teman. Oleh karena itu, sebagai permintaan maafku karena telah meninggalkanmu, aku akan memenuhi permintaanmu”.

“Aku ingin segera kembali, ke rumahku, ke tempat dimana aku bisa menghilangkan kesedihan dengan dongeng sebelum tidur,” ujar Reiko.

“Aku ragu bahwa itu bukanlah permintaanmu yang sesungguhnya. Mengapa engkau tidak mengikuti kata hatimu, Reiko-chan?”, tanya Himiko.

Seketika Reiko mengingat, ternyata bukan rumah atau kampung halamannya lah yang ia rindukan. Namun, ia menemukan kebahagiaan karena seseorang disana. Orang itu adalah ibunya. Karena itu, ia meminta Himiko untuk mempertemukannya dengan ibunya, sosok yang selalu menemaninya, dalam segala bentuk kekurangan, meski dalam suasana kesedihan, ia selalu membahagiakan putri kesayangannya satu-satunya walau diterpa derasnya air hujan. Mendengar permintaan dari Reiko, seketika Himiko menghadirkan ibu Reiko ke hadapannya. Ibunya yang tiba-tiba muncul pun keheranan bagaimana ia bisa berada di tempat itu, yang penting ia masih bisa merasakan hangatnya pertemuannya dengan anaknya sekali lagi. Ia kemudian duduk di dekat anaknya itu dan berkata,

“Reiko, apakah itu kau?”

Reiko kemudian menyandarkan kepalanya ke

Postingan populer dari blog ini

Teks Ceramah

 A. Definisi dan Ciri-Ciri Ceramah     1. Definisi Ceramah          Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ceramah adalah pidato oleh seseorang di hadapan banyak pendengar mengenai suatu hal atau pengetahuan. Ceramah juga berarti penuturan bahan pembelajaran secara lisan. Ceramah merupakan pidato yang bertujuan untuk memberikan nasihat dan petunjuk mengenai suatu permasalahan kepada audiensi yang bertindak sebagai pendengar. Secara umum, ceramah mempunyai pengertian tentang suatu kegiatan berbicara di depan umum dalam situasi tertentu untuk tujuan tertentu dan kepada pendengar tertentu.         Pada dasarnya, pidato, ceramah, dan khotbah memiliki persamaan, yakni pengungkapan pikiran di hadapan banyak orang. Namun, dalam pelaksanaannya, antara pidato, ceramah, dan khotbah memiliki perbedaan. Pidato sering kita ikuti dalam acara-acara resmi, misalnya seminar, rafat pleno,. Ceramah diadakan untuk acara-acara tert...

Teks Laporah Hasil Observasi

            Sebuah laporan hasil observasi dapat disajikan dalam bentuk teks tertulis maupun teks lisan. Kamu sering melakukan observasi atau pengamatan, tetapi belum memahami cara menyusun teks laporannya dengan baik. Untuk itu, kamu perlu memerhatikan penyusunan laporan hasil observasi yang kamu dengar atau kamu baca dari media televisi, koran, majalah, atau internet. A. Pengertian, Ciri-Ciri, Sifat, dan Contoh Teks Laporan Hasil Observasi 1. Pengertian Teks Laporan Hasil Observasi          Teks laporan hasil observasi adalah teks yang berisi penjabaran umum mengenai sesuatu yang didasarkan pada hasil kegiatan observasi/pengamatan. Kegiatan observasi merupakan kegiatan pengumpulan data atau informasi melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat di lapangan atau lokasi. 2. Ciri-Ciri Teks Laporan Hasil Observasi     Teks laporan hasil observasi memiliki ciri-ciri yang membedakann...

ANEKDOT

A. Definisi. Ciri, dan Jenis Anekdot   1. Definisi Teks Anekdot     Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau orang terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Orang-orang penting yang diceritakan dalam anekdot bermacam-macam, seperti tokoh politik, sosial, dan agama.  Sementara itu, peristiwa yang diceritakan dalam anekdot merupakan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun seiring perkembangan zaman anekdot juga digunakan untuk menceritakan tokoh dan peristiwa fiktif.     Anekdot mengandung humor. Humor dalam anekdot dibentuk dengan kelucuan atau kekonyolan tokoh. Tindakan ataupun ucapan tokoh menimbulkan humor karena adanya peristiwa ganjil yang mendasarinya. Humor juga dapat diciptakan melalui permainan kata, makna, ataupun pelesetan terhadap suatu kata ataupun frasa.     Humor dalam anekdot bukan hanya bersifat menghibur. Bia...